Mohon tunggu...
Dwi Rahmadj Setya Budi
Dwi Rahmadj Setya Budi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku Suara Rakyat, Suara Tuhan; Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak?

Jangan risih jika berbeda, tapi waspadalah jika semua terlihat sama.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Satu Tahun "Melawan" Rakyat?

20 Oktober 2020   12:20 Diperbarui: 20 Oktober 2020   13:50 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joko Widodo (Jokowi), Ilustrasi | Twitter @HBOAsia via Tempo.co

Pada September 2019, tepatnya satu bulan sebelum pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) jilid II dilantik, aksi unjuk rasa dari berbagai tumpah ruah ke jalanan. Tak hanya di ibu kota, Jakarta, tapi juga terjadi dibeberapa daerah lainnya di Indonesia. Aksi unjuk rasa itu bukanlah penolakan rakyat terhadap presiden terpilih, tapi penolakan terhadap RKUHP dan revisi UU KPK yang terkesan dipaksakan menjelang pergantian legislatif hasil pemenang Pileg 2019.

Dari demonstrasi penolakan RKUHP dan revisi UU KPK tersebut akhirnya memakan korban luka dan jiwa. Total ada lima korban meninggal pasca demo yang berujung ricuh dengan aparat berbaju coklat. Mereka dalah Maulana Suryadi (23), Akbar Alamnsyah (19) dan Bagus Putra Mahendra (15) di Jakarta dan dua mahasiswa Universitas Haluoleo yakni Immawan Randi (21) serta Muhammad Yusuf Kardawi (19).

Akhirnya, pada (20/9/2019) Jokowi yang berada di Istana Bogor meminta DPR RI untuk menunda pengesahan RKUHP dan meminta dewan mempertimbangkan tuntutan masyarakat. Tetapi arahan Jokowi kepada DPR tak serta-merta diterima bagi massa aksi. Mereka juga meminta Jokowi untuk melakukan hal yang sama pada revisi UU KPK.

Tapi Jokowi menolak untuk membatalkan revisi UU KPK yang telah disahkan menjadi UU oleh DPR dan pemerintah dalam rapat paripurna, Selasa (17/9/2019). Seperti biasanya, untuk meredam demonstrasi, stempel demonstrasi ditunggangi dan demonstrasi merusak digelindikan. Namun, para demonstran menolak narasi pemecah semangat tersebut. Mereka menganggap punya dasar atas penolakan atas RUU KUHP dan revisi UU KPK tersebut.

Selain itu, beberapa kalangan juga mengungkapkan adanya pembatasan akses bagi pengguna media sosial. Hal ini serupa dengan pembatasan media sosial dan aplikasi pesan berbasis internet ketika pecahnya demonstrasi di sekitar Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat pada Mei 2019 dan pemblokiran internet di Papua pada Agustus 2019. Terkesan, stempel demonstrasi ditunggangi dan pembatasan media sosial serta internet dijadikan salah satu cara meredam demonstrasi di tanah air.

Meskipun secara kasat mata demontrasi menolak UU KPK telah berakhir, tapi pada hakekatnya penolakan demi penolakan pada undang-undang ini terus dilakukan dalam berbagai forum. Baik itu dalam forum diskusi yang disiarkan secara nasional, forum diskusi/kajian ilmiah di institusi-institusi pendidikan, maupun diskusi-diskusi di berbagai platform media sosial.

Kendati hal ini seolah merawat api di dalam sekam, tapi sepertinya pemerintah cukup senang dengan kesuksesan meredam aksi demonstrasi. Cara yang hampir serupa juga terkesan diterapkan pada setiap kebijakan yang diambil pemerintah selanjutnya. Misalnya terkait kenaikan iuran BPJS yang dianggap bertentangan dengan keputusan MA, UU Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan yang tidak bisa "diaudit", UU Minerba yang dianggap merugikan alam dan lingkungan, dan Pilkada 2020 tetap lanjut meskipun pandemi Covid-19 masih menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat Indonesia.

Bahkan, selain meredam aksi dengan stempel ditunggangi dan pembatasan internet, sebagian kalangan juga berpendapat pemerintah menggunakan buzzer/influencer untuk memuluskan kebijakan pemerintah dan menghajar pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Hal ini dipaparkan lembaga swadaya masyarakat, Indonesia Corruption Watch (ICW), yang menemukan temuan pada situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di 34 kementerian dan non-kementerian termasuk dua lembaga hukum, yang hampir keseluruhannya menggunakan jasa buzzer/influencer.

Peneliti ICW Egi Primayogha mengatakan, penggunaan jasa buzzer/influencer oleh instansi pemerintah akan membuat pemerintah terbiasa mengambil jalan pintas untuk mempengaruhi opini publik terkait sebuah kebijakan yang kontroversial. Selain itu, langkah ini juga dianggap sebagai indikasi tidak sehatnya proses demokrasi, karena dianggap bisa mengaburkan substansi kebijakan yang telah disusun, dan pada akhirnya berakibat pada tertutupnya ruang percakapan publik tentang kebijakan yang kontroversi tersebut.

Hadiah 1 Tahun Kepemimpinan Jokowi

20 Oktober 2020, genap usia pemerintahan Jokowi satu tahun. Dikabarkan, hari ini mahasiwa, buruh, dan elemen masyarakat lainnya akan melakukan "festival" demokrasi, turun ke jalan, dan menyampaikan aspirasi. Aksi hari ini terkait dengan penolakan terhadap UU Cipta Kerja yang sebenarnya sudah berlansung selama 2 minggu belakangan. Ini tentunya bukanlah kado terbaik yang didapatkan pemerintahan Jokowi dari rakyat.

Diketahui, pihak pengamanan juga telah menyiakan beberapa "jurus" untuk mengantisipasi aksi demonstrasi tidak berujung anarkis. Selain melakukan beberapa rekayasa lalu lintas, pihak kepolisian juga berupaya memusatkan massa aksi di area Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Selain itu, dialnsir dari portal berita CNN Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) juga dikabarkan tengah menyiapkan Peraturan Menteri (Permen) yang akan mengatur tahapan pemblokiran media sosial.

Lalu kenapa aksi penolakan UU Cipta Kerja bisa bertahan lama dibandingkan penolakan-penolakan sebelumnya? Sebenarnya, ada tiga alasan mendasar mengapa protes rakyat terhadap penolakan UU Cipta Kerja hari ini seakan tidak ada habisnya. Sudah berjalan dua minggu, tapi aksi penolakan terus terjadi, semakin membesar, dan hampir terjadi di seluruh daerah di nusantara.

Pertama, seperti yang dijelaskan di awal, keresahan publik terhadap pemerintah berkuasa pasca demo besar penolakan RKUHP dan revisi UU KPK ibarat api di dalam sekam. Keresahan yang menumpuk inilah yang membuat sekam tanah liat ini menjadi pecah, ternganga, dan api menyambar kesana-kemari.

Apalagi, selama pandemi berbagai persoalan menyeruak kepermukaan. Strategi work from home (WFH) membuat banyak masyarakat lebih melek dengan informasi dan perkembangan yang ada. Mulai dari sengkarut penanganan pandemi, kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontroversi, tidak satu nafasnya implementasi kebijakan, hingga tidak terealisasinya target pertumbuhan ekonomi Indonesia dan bahkan menyandang status resesi.

Kedua, tanggapan pemerintah atas penolakan UU Cipta Kerja tidak menyentuh persoalan dasar. Selain tuduhan Tenaga Ahli KSP Ali Mochtar Ngabalin yang mengatakan para pendemo sebagai "sampah demokrasi", reaksi pemerintah terhadap tuntutan massa aksi juga turut memperkeruh suasana. Contohnya reaksi yang ditunjukkan oleh Menkominfo Johnny G Plate yang seolah mengesankan pemerintahan Jokowi diktator dan bertangan besi. Dalam kesempatan di acara Mata Najwa (14/10/2019), Johnny menanggapi beberapa alasan aktivis dan buruh menolak UU Cipta Kerja dengan mengatakan "KALAU PEMERINTAH SUDAH BILANG HOAKS, YA HOAKS".

Selain itu, pemerintah yang terkesan menitikberatkan persoalan antara permasalahan ekonomi dan investasi merupakan kesalahan dalam memahami kehendak rakyat. Penolakan terhadap UU Cipta Kerja tak hanya sebatas memperjuangkan hak buruh dan menolak investasi. Jauh lebih dalam, penolakan atas UU Cipta Kerja juga menyorot adanya indikasi cacat prosedur dalam pembuatan/pengesahannya, adanya beberapa pasal yang dianggap dapat memperparah kerusakan lingkungan, dan juga pasal-pasal yang dianggap dapat "menghilangkan" hak masyarakat adat yang diakui oleh pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 akibat sentralisasi kebijakan.

Terakhir, alasan yang membuat demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja bertahan dalam jangka waktu yang lama adalah adanya permasalahan "ketimpangan" keadilan yang dirasakan rakyat Indonesia. Dalam konteks state dan demokrasi, bapak bangsa Ir. Soekarno pernah mengingatkan, "Janganlah kita lupakan demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat, dan bukan berada atas rakyat". Artinya, rakyat hari ini merasa bahwa kedaulatan tertinggi yang katanya berada di tangan rakyat sudah tak lagi menjadi acuan.

Tiga hal inilah yang harusnya menjadi landasan pemerintah dalam menuntaskan keresahan publik. Ruang-ruang dialog harus dibuka selebar-lebarnya. Pemerintah tak boleh "mengukuhkan" ego bahwa setiap kebijakan adalah yang terbaik untuk rakyat. Karena, Indonesia terbentuk bukan hanya berlandaskan konsep negara yang memiliki pemerintahan, rakyat, dan daerah administratif. Jauh lebih khidmat, Indonesia terbentuk karena adanya kesepakatan kebangsaan untuk menjadi sebuah negara yang berdaulat demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan pembukaan UUD 1945.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun