Mohon tunggu...
Dwi Rahmadj Setya Budi
Dwi Rahmadj Setya Budi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku Suara Rakyat, Suara Tuhan; Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak?

Jangan risih jika berbeda, tapi waspadalah jika semua terlihat sama.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kebut Semalam dan Dugaan Surat Telegram Kapolri Bungkam Buruh, RUU Ciptaker "Titipan" Siapa?

5 Oktober 2020   16:15 Diperbarui: 5 Oktober 2020   16:21 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi RUU Cipta Kerja vs Demokrasi & Kesejahteraan Rakyat, Sumber: Change.org

Sejak awal kemunculannya, RUU Ciptaker menuai penolakan. Karena di awal namanya RUU Cipta Lapangan Kerja, maka RUU yang tidak menyerap aspirasi kelompok buruh ini diberi singkatan oleh teman-teman buruh dengan RUU "Cilaka" (celaka). Bertindak sigap merespon dan tidak ingin RUU ini menjadi bahan olok-olokan, pemerintah akhirnya mengganti namanya dengan RUU Cipta Tenaga Kerja (Ciptaker).

Namun dalam proses perjalanannya, RUU ini masih tetap saja "cilaka". Bagaimana tidak, di tengah situasi pandemi RUU ini dikebut. Seolah Covid-19 dijadikan tameng agar buruh tak bisa melakukan unras ke jalan. Lawan tak berimbang pun terjadi di dewan. Tujuh parpol koalisi pemerintah mengeroyok dua parpol lainnya, yakni Partai Demokrat dan PKS.

Dalam sikapnya, Fraksi Partai Demokrat yang waktu itu diwakili Hinca Pandjaitan membeberkan lima alasan penolakan atas RUU Ciptaker. Pertama, RUU Ciptaker tidak memiliki urgensi dan tidak berada dalam kegentingan memaksa di tengah krisis pandemi saat ini. Kedua, perumusan suatu kebijakan yang kompleks dengan cara tergesa-gesa dinilai bukanlah suatu langkah yang bijak.

Ketiga,RUU Ciptaker dianggap berpotensi meminggirkan hak-hak dan kepentingan kaum buruh. RUU Ciptaker mencerminkan pergeseran semangat Pancasila, utamanya sial keadilan sosial ke arah ekonomi "kapitalistik" dan neo-liberalistik. Terakhir, RUU Ciptaker dinilai cacat substansi dan prosedural karena kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pembahasannya. Atas alasan ini, anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa mengaku sepakat dengan Partai Demokrat.

Beredar Dugaan Surat Telegram Kapolri, Bungkam Buruh?

Melalui laman website Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dikabarkan telah beredar dugaan Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020. YLBHI membeberkan lima permasalahan dalam surat telegram tersebut:

  • Pada bagian satu Kapolri memerintahkan dilaksanakan "giat fungsi intelijen dan deteksi dini serta deteksi aksi terhadap seluruh elemen buruh dan masyarakat guna mencegah terjadinya aksi unras dan mogok kerja yang dapat menimbulkan aksi anarkis dan konflik sosial".
  • Pada bagian tiga Kapolri memerintahkan "cegah, redam dan alihkan aksi" unjuk rasa yang dilakukan kelompok buruh maupun elemen aksi lainnya guna mencegah penyebaran Covid-19.
  • Pada bagian lima Kapolri memerintahkan "lakukan cyber patrol pada medsos dan manajemen media untuk bangun opini publik". Kemudian poin enam Kapolri memerintahkan "lakukan kontra narasi isu-isu yang mendeskreditkan pemerintah".
  • Pada bagian tujuh Kapolri memerintahkan "secara tegas tidak memberikan izin kegiatan baik unjuk rasa maupun izin keramaian lainnya". Kemudian pada bagian delapan Kapolri memerintahkan "upaya harus dilakukan di hulu (titik awal sebelum kumpul) dan lakukan pengamanan (PAM) terbuka dan tertutup".
  • Pada bagian sepuluh Kapolri memerintahkan melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum dengan menggunakan UU Kerantinaan Kesehatan.

Terkesan, dari lima permasalahan ini ada "impossible hand" yang sedang berupaya mengacak-acak netralitas Polri demi mengamankan RUU Ciptaker dapat dilanjutkan dan disahkan melalui Rapat Paripurna DPR. Lima permasalahan ini juga mengindisikan penerapan hukum berat sebelah dan hanya menyasar kaum lemah.

YLBHI menganggap Polri tidak punya hak mencegah unras karena hak penyampaian pendapat di muka umum dilindungi UU 9/1998 Pasal 13 yang berbunyi "dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum".

Selain itu, upaya Polri meredam aksi buruh dinilai diskriminatif karena sebelumnya juga banyak terjadi keramaian yang tidak mematuhi protokol kesehatan tapi tidak terlihat tindakan tegas. Selanjutnya, tafsiran "mendeskreditkan" merupakan tafsiran subjektif yang berpotensi menghambat kritik publik, serta "kampanye" Polri terhadap pemerintah menyalahi wewenang yang diatur dalam pasal 30 UUD 1945 & amandemennya.

RUU Ciptaker untuk Siapa?

Besarnya pengaruh "impossible hand" dalam pembuatan, perancangan, hingga pengesahan RUU Ciptaker membuat publik bertanya-tanya. Untuk siapa sebenarnya RUU Ciptaker ini di buat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun