Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Fenomena Rangkap Tugas di Kantor: Antara Keniscayaan dan Keterpaksaan

13 Agustus 2021   17:36 Diperbarui: 15 Agustus 2021   21:37 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rangkap Tugas( Gambar oleh mohamed Hassan - Pixabay.com)

Suatu ketika salah seorang teman mengeluh, " kerjaanku jadi  disain pamflet mulu nih, bukan cuma pegang kamera." Di lain sisi, di lingkungan yang berbeda,  seseorang  malah kegirangan,  "Untungnya, sekarang aku tidak hanya di depan laptop, tapi juga dipercaya untuk menjumpai klien, jadi gak jenuh."  

Fenomena rangkap tugas seperti pada ilustrasi tersebut dapat dialami oleh siapa saja dalam wilayah pekerjaan kantor. Fenomena tersebut mengandung makna yang menyiratkan dua sifat.  Dapat dianggap buruk,  di lain sisi dapat menjadi pengalaman baik yang patut disukuri oleh pekerja.

Rangkap tugas  yang kerap menjadi pengalaman menyenangkan bagi pekerja, mengingatkan kita pada istilah "sampingan".  Tentu, jika yang bersangkutan mendapat "pemasukan" dari pekerjaan tambahannya. Kendati demikian, rangkap tugas juga kerap kali mengganjal hati kecil para pekerja, ketika itu tidak berujung pada bertambahnya "pemasukan".

Lantas, bagaimana dua perasaan dalam keadaan rangkap tugas di kantor itu dapat terjadi ? Apakah hal itu wajar?

***

Rangkap Tugas sebagai keniscayaan

Istilah "rangkap tugas" memang belum baku atau belum lazim tertulis dalam wacana literasi publik sebagaimana istilah "rangkap jabatan". Namun, kita sudah terlanjur memaknai rangkap tugas sebagai pekerjaan  yang di luar jobdesk atau tanggung jawab posisi individu di kantor. 

Oleh karena itu, kerap kali apa yang dikerjakan oleh individu menjadi beyond dari jabatannya secara resmi di kantor.

Pada dasarnya, sebagai manusia kita memang terkepung oleh ragam kegiatan atau aktivitas. Apalagi, kita telah mengenal kecenderungan masyarakat modern yang "multitasking".  

Sejumlah kajian ilmiah menyebut multitasking sebagai kondisi tugas berganda, atau beberapa tugas yang tidak berhubungan, yang dilakukan dalam waktu  bersamaan atau pun relatif berdekatan.

Tugas berganda, bahkan berlipat-lipat ganda,  itu sebetulnya telah dialami individu sejak kecil. Kalau kita flashback, pada ranah pendidikan sekolah di Indonesia, aktivitas kita sehari-hari menyiratkan lintas displin ilmu, atau pun mengerjakan hal-hal yang begitu beragam. 

Pada tingkat SMP misalnya, kita mengeyam kurang lebih 11 mata pelajaran. Belum lagi, ketika SMA, kita mempelajari kurang lebih 17 mata pelajaran. 

Kita dapat bayangkan bagaimana otak kita bekerja. Terlebih, setiap guru memiliki bentuk penugasan masing-masing, yang cenderung berbeda-beda. Ajaibnya, kita dapat melewati itu semua hingga lulus, walau terkadang kita juga terbebani. 

Artinya, kita memiliki kemampuan untuk dapat melakukan banyak hal dalam disiplin yang berlainan sekalipun.  Pertanyaannya adalah, mengapa saat itu kita dapat lakukan ragam tugas dengan wajar-wajar saja? 

Secara psikologi, kita sebagai pribadi memang memiliki potensi skill yang majemuk. Howard Gardner, dalam pembahasan psikologi pendidikan telah merumuskan, bahwa manusia memiliki  9 kecerdasan  yang disebut sebagai Multiple Intelligences. 

Potensi  diri berupa kemampuan logika matematika, linguistik, verbal, kinestetika, musikal, visual, spasial dan lain sebagainya itu sudah menjadi benih kecerdasan dalam diri kita sejak lahir. 

Hal tersebut yang membuat kita sebagai siswa di sekolahan dapat melahap banyak mata pelajaran dan bentuk-bentuk penugasan dari banyak bidang pelajaran.

Di luar itu, ketika masih menjadi siswa, boleh jadi kita memandang tumpukan tugas belajar yang beragam itu adalah keniscayaan dari perjuangan dalam  proses pendidikan. Sehingga kita dapat melahap semua mata pelajaran bertahun-tahun lamanya tanpa protes dan mengelak sedikit pun.

Pada konteks perkantoran, kata "kerja" dapat kita tarik maknanya ke dalam makna "perjuangan" sebagaimana fenomena di sekolah tadi. Terlepas dari pertimbangan administratif seperti jobdesk dan salary, maka apa yang kita lakukan di kantor menjadi bukan sekedar tugas dan kewajiban formalitas semata.

Dengan kesadaran tersebut, pekerjaan kita di kantor yang bertumpuk dan mengganda itu adalah bentuk dedikasi, untuk membesarkan pencapaian atau kualitas kantor kita. Sehingga melakoni tugas hingga berkali-kali lipat pun terasa sebagai keniscayaan dari sebuah perjuangan, apalagi  tugas tersebut ada pada kapasitas keterampilan kita.

Rangkap Tugas sebagai keterpakasaan

Pada sisi lain, mengapa rangkap tugas banyak pula meresahkan hati para pekerja ? Pada konteks ini, jangan-jangan itu karena kita sebagai pekerja, belum menemukan dampak positif dari dedikasi kita secara personal. 

Pertimbangan pragmatis otomatis akan muncul ketika kita tidak menemukan bentuk apresiasi dari perjuangan di kantor. Tentu itu menjadi wajar. 

Sebagaimana ketika terdapat siswa yang berpikir misalnya " loh ngapain belajar mata pelajaran banyak- banyak? Nanti ketika lulus emangnya akan kepake semua?" Timbulah keterpaksaan dalam belajar, sekolah pun jadi ogah-ogahan. Alhasil nilai rapot buruk.

Pertanyaan serupa pun muncul di perkantoran, mengenai bentuk apresiasi  untuk kita sebagai pekerja yang rela melakukan pekerjaan tambahan. 

Celakanya, kita akan sulit lepas dari belenggu apresiasi berupa salary. Padahal, di luar itu mungkin saja masih ada alternatif lain. Pihak atasan, bos, supervisi, HRD atau pihak kantor yang terkait, sangat berperan untuk memberi jawaban alternatif perihal apresiasi itu. 

Kalau pertanyaan  mengenai dampak dedikasi secara personal itu belum terjawab, maka pekerja akan cenderung tenggelam dalam makna administratif. 

Bekerja menjadi tidak menyentuh makna perjuangan. Pekerja akan cenderung memilih mengerjakan hal-hal pokok saja, sebagaimana kontrak kerja, ketimbang menyelesaikan hal lain yang bukan tanggung jawabnya. 

Kesadaran tersebut yang kemudian menimbulkan rasa keterpakasaan ketika pekerja menerima rangkap tugas dari atasan atau dari kantor. 

Pekerja akan pelan-pelan menjauh dari kodratnya sebagai makhluk multiple intlellegences, dan membiarkan dirinya bekerja monoton,melakukan itu-itu saja bertahun-tahun lamanya. 

Lantas, apakah kita akan betah seperti itu?

Marendra Agung J.W_ 12-13 Agustus. 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun