Pada sisi lain, mengapa rangkap tugas banyak pula meresahkan hati para pekerja ? Pada konteks ini, jangan-jangan itu karena kita sebagai pekerja, belum menemukan dampak positif dari dedikasi kita secara personal.Â
Pertimbangan pragmatis otomatis akan muncul ketika kita tidak menemukan bentuk apresiasi dari perjuangan di kantor. Tentu itu menjadi wajar.Â
Sebagaimana ketika terdapat siswa yang berpikir misalnya " loh ngapain belajar mata pelajaran banyak- banyak? Nanti ketika lulus emangnya akan kepake semua?" Timbulah keterpaksaan dalam belajar, sekolah pun jadi ogah-ogahan. Alhasil nilai rapot buruk.
Pertanyaan serupa pun muncul di perkantoran, mengenai bentuk apresiasi  untuk kita sebagai pekerja yang rela melakukan pekerjaan tambahan.Â
Celakanya, kita akan sulit lepas dari belenggu apresiasi berupa salary. Padahal, di luar itu mungkin saja masih ada alternatif lain. Pihak atasan, bos, supervisi, HRD atau pihak kantor yang terkait, sangat berperan untuk memberi jawaban alternatif perihal apresiasi itu.Â
Kalau pertanyaan  mengenai dampak dedikasi secara personal itu belum terjawab, maka pekerja akan cenderung tenggelam dalam makna administratif.Â
Bekerja menjadi tidak menyentuh makna perjuangan. Pekerja akan cenderung memilih mengerjakan hal-hal pokok saja, sebagaimana kontrak kerja, ketimbang menyelesaikan hal lain yang bukan tanggung jawabnya.Â
Kesadaran tersebut yang kemudian menimbulkan rasa keterpakasaan ketika pekerja menerima rangkap tugas dari atasan atau dari kantor.Â
Pekerja akan pelan-pelan menjauh dari kodratnya sebagai makhluk multiple intlellegences, dan membiarkan dirinya bekerja monoton,melakukan itu-itu saja bertahun-tahun lamanya.Â
Lantas, apakah kita akan betah seperti itu?
Marendra Agung J.W_ 12-13 Agustus. 2021