Mohon tunggu...
Dr PrantiSayekti
Dr PrantiSayekti Mohon Tunggu... Dosen Universitas Negeri Malang

Saya adalah dosen dari Departemen Seni dan Desain pada Program Studi Desain Komunikasi Visual. Saya menyukai keilmuan terkait Desain Komunikasi Visual serta ilmu-ilmu sosial humaniora lainnya yang dalam implementasinya saya ekspresikan pada tulisan-tulisa/karya ilmiah terkait keilmuan tersebut

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Melek HOTS di Kelas Seni Budaya: dari Hafalan Menuju Analisis, Evaluasi dan Kreasi

5 September 2025   18:52 Diperbarui: 5 September 2025   19:05 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dr. Pranti Sayekti, S.Sn. M.Si

Seni Budaya sebagai Ruang Kreativitas, Analisis, dan Empati

"Pak, kenapa sih kita harus belajar tari tradisional? Bukannya lebih seru kalau langsung dance K-pop saja?" Pertanyaan polos seorang siswa di kelas Seni Budaya itu membuka ruang diskusi yang lebih dalam. Guru tidak buru-buru menjawab. Ia lalu memutar video Tari Saman dari Aceh dan menantang murid-muridnya:

"Coba analisis, mengapa tari ini begitu kompak? Nilai apa yang terkandung dalam gerakannya? Dan bagaimana tari ini bisa dikembangkan agar tetap relevan di zaman digital?"

Pertanyaan sederhana itu mengubah suasana kelas. Murid-murid mulai mengamati detail, mendiskusikan nilai kekompakan, spiritualitas, hingga mencoba membayangkan adaptasi tari tersebut di panggung modern. Itulah wujud nyata Higher Order Thinking Skills (HOTS) di kelas Seni Budaya.

Mengapa Guru Zaman Now Wajib Melek HOTS?

HOTS yang mencakup analisis, evaluasi, dan kreasi bukanlah sekadar tren pendidikan, melainkan kebutuhan nyata untuk menghadapi tantangan abad ke-21. Menurut Anderson dan Krathwohl (2001), keterampilan berpikir tingkat tinggi menuntut siswa tidak hanya mengingat dan memahami, tetapi juga mampu menafsirkan, menilai, dan mencipta.

Di era globalisasi dan disrupsi digital, peserta didik tidak cukup hanya menguasai hafalan. Mereka dituntut memiliki keterampilan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif (Saavedra & Opfer, 2012). Mata pelajaran Seni Budaya sesungguhnya adalah laboratorium alami untuk menumbuhkan semua keterampilan tersebut.

Seni Budaya sebagai Lahan Subur HOTS

Sering kali Seni Budaya direduksi hanya menjadi pelajaran keterampilan praktis: menggambar, menari, menyanyi. Padahal, jika digarap dengan pendekatan HOTS, Seni Budaya dapat menjadi wadah pembelajaran yang menantang, reflektif, sekaligus menyenangkan.

  1. Analisis (C4):
    Siswa membandingkan dua karya seni misalnya lukisan Affandi dan ilustrasi digital kontemporer---untuk mengungkapkan perbedaan teknik, konteks sosial, dan pesan visual.
  2. Evaluasi (C5):
    Siswa menilai aransemen musik tradisional dan modern dari lagu daerah. Mereka diajak mempertimbangkan, apakah perubahan aransemen memperluas jangkauan budaya atau justru mengaburkan makna aslinya.
  3. Kreasi (C6):
    Siswa menciptakan tari kontemporer dengan memadukan gerakan tradisional daerah asal mereka dan elemen modern. Proses ini melatih kreativitas, keberanian berinovasi, sekaligus kecintaan pada budaya sendiri.

Dengan demikian, Seni Budaya menjadi wahana bukan hanya untuk menguasai keterampilan artistik, melainkan juga untuk mengasah kemampuan berpikir kritis dan kreatif (Wahyuni, 2022).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun