Peran orangtua dalam pembentukan anak sangat signifikan. Orangtua itu, tak hanya mencakup salah satu pihak saja, tetapi melibatkan dua pihak. Ayah/bapa dan ibu/mama.
Harus diakui bahwa ketika hanya salah satu pihak yang terlibat, pastinya ada tantangan yang sulit dihindari. Tantangan itu tak terjadi pada orangtua single dalam mendidik dan mendukung pendidikan anak, tetapi juga pada kondisi anak sendiri.
Tantangan itu bisa mempengaruhi pola perkembangan anak hingga pola pikir serta mentalitas anak. Tak sedikit, mentalitas anak yang timpang terbentuk lantaran pada pola asuh yang timpang di rumah. Ketimpangan itu terjadi karena ketidakhadiran salah satu pihak dalam pendidikan anak.
Untuk itu, kehilangan salah satu sosok, misalnya sosok ayah dalam pembentukan anak cukup berdampak pada pola pikir dan mentalitas anak. Kendati sosok ibu bisa memberikan segalanya untuk memenuhi kebutuhan anak, namun tetap saja ada hal yang hilang dari peran tersebut.
Boleh saja, seorang wanita memainkan peran ibu dan sekaligus ayah dalam waktu yang bersamaan. Namun, ada peran ibu yang tak bisa mengisi kerinduan anak pada sosok ayah yang sesungguhnya.
Juga, ada pekerjaan di mana sosok wanita tak bisa memainkan peran laki-laki (ayah) dalam keluarga. Hal itu pun bisa menciptakan persepsi tertentu pada anak. Dalam mana, anak menghadirkan pengandaian "seandainya" ada sosok ayah/bapa, pastinya pekerjaan yang tak terselesaikan bisa dituntaskan dengan baik,
Oleh sebab itu, selalu muncul kerinduan bagi seorang anak yang terbentuk pola pendidikan single parent dari pihak ibu pada kebutuhan kehadiran ayah. Mereka merindukan sosok ayah yang bisa menopang dan menguatkan. Mereka mencari sosok yang bisa diandalkan ketika menghadapi tantangan.
Salah satu teman kami dalam satu pekerjaan sudah lama merindukan sosok ayah. Menurut kisahnya, orangtuanya sudah berpisah lebih dari dua puluh tahun.
Sampai menamatkan bangku kuliah, dia belum secara spesifik menanyakan kepada ibunya tentang latar belakang ayahnya. Yang diketahuinya dari ibunya bahwa orangtua bercerai. Ayahnya pergi dan membangun keluarga baru, dan ibunya yang mengasuhnya dia dengan saudara-saudarinya sejak perceraian tersebut terjadi.
Hingga suatu waktu, teman itu mengikuti seminar penyembuhan luka batin. Setelah melewati proses yang cukup mendalam dalam seminar tersebut, dia menemukan bahwa kerinduannya pada sosok ayah yang sudah tertanam lebih dari dua puluh tahun ternyata ikut mempengaruhi perilakunya.
Salah satunya, sikap minder dan ketertutupannya dalam berelasi dengan sesama tak lepas dari kerinduan tersebut. Itu bermula dari kenyataan dia malu bergaul dengan teman sebayanya karena dia tak mempunyai orangtua yang lengkap sebagaiman teman-teman tersebut.
Belum lagi ketika ada teman sekolahnya yang pernah melakukan perundungan lantaran ketidaklengkapan orangtuanya. Jadinya, dia lebih cenderung memilih untuk menyendiri daripada bergaul dengan sesama. Akibat lanjutnya, dia menjadi pribadi yang lebih tertutup, bermental inferior hingga tak percaya diri untuk bergaul.
Proses penyembuan luka batin itu mendorongnya, atau lebih tepatnya menuntutnya untuk bertanya kepada ibunya tentang latar belakang ayahnya. Mulai dari situ dia pun berupaya mencari ayahnya. Awalnya sulit, namun berkat keteguhan hatinya dan bantuan dari keluarganya, pencariannya itu berbuah hasil.
Pada akhirnya dia menemukan sosok ayah yang lama dirindukan. Walau ayahnya sudah mempunyai keluarga berbeda, paling tidak dia secara langsung melihat dan menemukan ayah yang sudah lama dirindukan dan dicari.
Pengalaman penemuan itu rupanya mengawali proses penyembuhan batin. Teman itu berubah menjadi sosok yang lebih terbuka untuk bergaul. Bahkan, dia tak ragu bercerita tentang ayah yang baru saja dijumpainya.
Kehilangan sosok ayah, baik karena perceraian orangtua maupun ditinggalkan, pastinya menyimpan beban batin untuk anak. Beban batin itu menjadi berat tatkala berhadapan dengan teman-teman lain yang mempunyai ayah atau bapak.
Lebih jauh, ini mengingatkan signifikansi peran orangtua, baik ayah maupun ibu. Tentu saja, relasi orangtua tak luput dari keterbatasan dan tantangan.
Namun, sebelum tantangan itu merengut dan menghancurkan persatuan yang terjadi, yang paling penting dan utama adalah pada bagaimana orangtua berpikir dan mempertimbangkan pendidikan mental anak apabila orangtua tak menjaga persatuan dalam berelasi.
Bagaimana pun, peran kedua orangtua sangat penting dalam proses pendidikan anak. Ketika anak kehilangan salah satu sosok/pihak dalam permainan peran tersebut, mentalitas anak pun bisa ikut terpengaruh. Apalagi, jika lingkungan sosial ikut memberikan persepsi negatif pada situasi anak.
Untuk itu, orangtua perlu menjaga relasi dengan baik. Tujuannya agar anak pun bisa belajar dari kesatuan orangtua sekaligus perkembangan anak pun bisa berada pada jalur yang tepat.
Â
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI