Bagaimana pun, rasa (nafsu) untuk makan bisa berjalan dengan baik apabila kondisi tubuh berada dalam keadaan tenang. Sebaliknya, nafsu makan menjadi rusak terjadi ketika ada kata-kata kasar dari orangtua atau pasangan untuk pasangan. Pastinya, momen makan bersama menjadi rusak.
Saya pernah melakukannya. Gegara kemarahan tak tertahankan dengan anggota rumah, saya memberikan nasihat kepada anggota rumah yang melakukan kesalahan tersebut.
Tak disangka nasihat saya malah menyebabkan yang bersangkutan terluka. Sejak itu, dia tak lagi mau makan bersama dengan saya. Itu menjadi pelajaran bagi saya bahwa momen makan bersama seyogianya tak menjadi kesempatan untuk mengoreksi teman yang lagi makan bersama.
Oleh sebab itu, kesakralan meja makan tak boleh dirusak oleh kritik dan koreksi pada pribadi seseorang. Lebih baik hal itu (nasihat dan koreksi) tersampaikan ketika sudah selesai makan bersama.
Â
Ketiga, agama dan politik.
Dua topik yang juga sekiranya tak dibicarakan di meja makan, hemat saya, adalah urusan agama dan politik. Pernah saya menyaksikan dua orang berdebat tentang pilihan politik mereka sewaktu berada di meja makan.
Gegara perdebatan itu tak sampai pada titik temu, keduanya pun bersilat lidah hingga menyerang secara pribadi. Perdebatan itu tak hanya mempengaruhi selera makan di antara kedua belah pihak, tetapi juga orang-orang yang meyaksikan perdebatan tersebut.
Hal itu menjadi salah satu contoh bahwa diskusi dan debat tentang politik dan agama seyogianya tak terjadi di meja makan. Itu bisa merusak situasi dan momen makan bersama. Juga itu bisa menghancurkan kesakralan meja makan sebagai tempat untuk berbagi kisah dan merasakan kebersamaan sebagai keluarga.
Meja makan menjadi bagian tak terpisahkan dari konstruksi rumah kita. Itu bisa berarti bahwa meja makan bukanlah sekadar tempat dalam arti fisik, tetapi itu juga bisa berarti momen untuk berbagi kisah bermakna yang saling menguatkan dan memberi inspirasi.
Â