Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Hal yang Sulit Digantikan oleh Kecerdasan Buatan

22 Februari 2023   18:59 Diperbarui: 27 Februari 2023   12:33 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto Berpikir Kritis. Foto: Thinkstock via Kompas.com

Artificial Intellengence (AI) atau kecerdasan buatan menjadi topik pembicaraan saya dan beberapa teman beberapa hari lalu. Pembicaraan kami bermula dari pengamatana atas perbedaan pengetahuan dan kompetensi yang dimiliki generasi ke generasi tentang dunia teknologi dan informasi. 

Terlihat ada gap yang sangat jauh antara satu generasi dengan generasi. Saya pun memberikan sebuah contoh dari pengalaman pribadi.

Beberapa bulan lalu, saya membandingkan pengetahuan saya dalam membuat sebuah video pendek dengan seorang anak kelas 6 SD. Saya membutuhkan waktu berjam-jam menghasilkan sebuah video. 

Namun, anak yang baru duduk kelas 6 SD itu hanya membutuhkan lebih kurang dari sejam untuk menghasilkan sebuah video.

Kualitasnya pun sangat berbeda. Video yang saya hasilkan tampak begitu "kuno" dan tak menyentuh tuntutan jaman. Sebaliknya, yang dihasilkan oleh seorang anak SD begitu menarik dan sangat cocok untuk menjadi hiburan. 

Pengalaman ini pun melebar pada fenomena adanya kecerdasan buatan berkat perkembangan teknologi dan informasi saat ini. Walau belum memakai aplikasi ChatGPT, saya melihat beberapa hal yang bisa muncul.

Perkembangan di dunia teknologi kian pesat. Hal ini pun memacu siapa saja untuk beradaptasi. 

Proses adaptasi itu melibatkan niat untuk belajar setiap hal yang ditawarkan dalam perkembangan yang terjadi. Tidak gesit dalam belajar atau pun tidak mau belajar sama sekali bisa ketinggalan. 

Selain itu, gap antara generasi bisa kian kentara. Kembali pada pengalaman saya di atas, saya kelahiran di tahun 1980--an sudah memiliki gap yang cukup lebar dengan mereka yang baru lahir di tahun 2010-an. 

Gap itu menyangkut pengetahuan mereka di bidang teknonlogi. Secara pribadi, saya merasa begitu tertinggal dari apa yang mereka ketahui dan lakukan dari generasi saat ini. 

Kemunculan kecerdesan buatan kian menantang banyak pihak. Seturut pengetahuan saya, kecerdasan buatan akan memberikan kemudahan dalam hal informasi 

Lewat aplikasi chatGPT, kita bisa mengetahui dan mendapatkan banyak informasi. Informasi itu bahkan seturut dengan apa yang kita inginkan. 

Kabarnya juga, kecerdesan itu bisa membantu kita membuat tulisan tertentu seturut topik apa yang mau kita kupas. 

Ini artinya manusia dimudakan, tetapi beberapa aspek bisa menjadi lemah, misalnya, kemampuan berpikir dan berefleksi.

Untuk itu, di tengah wabah hadirnya kecerdasan buatan, satu hal yang pasti bahwa kemampuan berefleksi sangat sulit tergantikan oleh keceredesan buatan. Pasalnya, kemampuan berefleksis tak hanya melibatkan kemampuan informatif manusia, tetapi juga pikiran rasional,  perasaan dan pengalaman pribadi.

Kombinasi antara pikiran, perasaan, dan ditambah akumulasi pelbagai pengalaman hidup kerap menopang kapasitas manusia berefleksi. Makanya, satu peristiwa yang satu dan sama kerap ditimbang dari sisi yang berbeda-beda oleh setiap individu. 

Belum tentu, kecerdasan buatan melihat hal itu. Satu peristiwa yang sama cenderung dipandang dengan sudut pandang yang seragam.

Berefleksi merupakan hal yang sulit tergantikan oleh kecerdasan buatan. Tiap orang mempunyai kemampuan pribadi dalam melihat, menilai, dan mengevaluasi sebuah peristiwa secara pribadi.

Maka dari itu, dalam menyikapi kehadiran kecerdesaan buatan, kita pun tertantang bagaimana meningkatkan dan memanfaatkan kemampuan berefleksi agar kelak kita tak menjadi budak dari kecerdasan buatan.

Misalnya,  di sekolah, alih-alih memberikan tugas yang membutuhkan kemampuan informatif, para peserta didik diminta untuk melihat keseharian hidup dan kemudian dikaitakan dengan pelajaran di sekolah. Peserta didik diminta untuk mengupas masalah secara kritis dan bermakna kontekstual.

Lalu, upaya pendidik untuk mengurangi program belajar yang menekankan aspek pehafalan semata. Yang lebih dipentingkan adalah melatih peserta didik untuk berpikir kritis dan rasional.

Berpikir kritis di sini berarti tak sekadar menerima setiap kejadian sebagai apa adanya, tetapi melihat itu dari pelbagai isisi kehidupan dan seturut daya analasi yang dimiliki.

Juga, peserta didik dilatih untuk menyatakan setiap argumen dengan pendasaran yang jelas dan bahkan mempertahankan argumen itu dengan premis-premis yang bisa dipertanggungjawabkan.

Di keluarga bisa dimulai dengan upaya orangtua menciptakan iklim diskusi dengan anak di keluarga. Anak diberi keleluasaan untuk memberikan dan menyatakan ide mereka. 

Bahkan mereka juga dilatih untuk berargumen apabila tak menyetujui pendapat orangtua. Tujuannya, agar bisa berpikir dan merenungkan ide-ide yang mereka sampaikan. 

Kemampuan berefleksi,memang, akan ditantang oleh perkembangan kecederasan emosional. Kendati demikan, kemampuan manusia untuk berefleksi sangat sulit tergantikan dan itu pun yang bisa menjadi kesempatan kita untuk menangkal efek negatif dari kehadiran kecerdesan buatan. 

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun