Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gibran Lagi Mendaki Gunung, AHY Harus Turun Gunung?

3 Maret 2021   09:53 Diperbarui: 3 Maret 2021   10:02 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Walikota Solo, Gibran Rakabumi Raka setelah pelantikannya menjadi Walikota Solo bersama wakilnya. Sumber foto: Kompas com/Labib Zamani

Pelantikan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka bersama pasangannya Tegu Prakoso menjadi walikota dan wakil walikota Solo ikut menarik perhatian publik. Tentunya, Gibran yang berstatuskan anak presiden menjadi magnet dari pelantikan ini.

Pelantikan ini pun menjadi langkah awal dari Gibran untuk menunjukkan kinerjanya sebagai seorang politikus sekaligus seorang pemimpin. Kota Solo menjadi arena bagi putra sulung presiden itu untuk menunjukkan kualitasnya.

Sebagaimana pepatah yang mengatakan bahwa kesuksesan kerap dimulai dari langkah pertama, hemat saya, Gibran sementara membangun langkah pertama menuju kesuksesan sebagai seorang pemimpin. Boleh jadi, kepemimpinan di kota Solo merupakan langkah pertama untuk naik ke puncak kesuksesan seperti ayahnya, presiden RI saat ini.

Langkah pertama harus diwarnai oleh kinerja yang positif. Tidak cukup memboncengi status sebagai putra presiden. Karenanya, Gibran perlu menunjukkan kinerja yang bisa meyakinkan publik bahwa dia merupakan seorang pemimpin yang jauh dari bayang-bayang kesuksesan sang ayah.

Melepaskan bayang-bayang kesuksesan sang ayah merupakan cara untuk menempah diri menjadi seorang pemimpin dan politikus. Tak bisa dipungkiri, untuk menaiki dan mencapai gunung kesuksesan seperti Presiden Jokowi, Gibran harus siap menghadapi pelbagai tantangan dan kesulitan.

Tantangan dan kesulitan sebagai seorang pemimpin di kota Solo bisa ikut mengasa kualitasnya. Berbarengan dengan langkah menaiki gunung untuk mencapai puncak kesuksesan, Gibran sekiranya berjalan seturut jati dirinya sendiri. Tak terlalu bersandar pada keberadaan sang ayah yang merupakan presiden. Toh, pada akhirnya ketika Gibran mencapai puncak, dia sendiri yang akan menjadi aktor utama yang disoroti dan bukannya sang ayah.

Berbeda dengan langkah Gibran, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mempunyai jalan politik yang berbeda. Berhenti dari militer, AHY memilih untuk mengikuti kontestasi Pilgub DKI Jakarta. Kalah dari Pilgub DKI Jakarta, AHY terus menekuni profesi sebagai politikus. Tak tanggung-tanggung, AHY dipilih sebagai ketua umum Partai Demokrat.

Pencapaian ini terbilang luar biasa. Betapa tidak, langkah politik AHY terbilang cepat. Tidak hanya menjadi ketua umum, nama AHY juga beberapa kali muncul dalam bursa calon menteri dan calon presiden. Dengan ini, nama AHY mempunyai daya tarik dari kaca mata politik.

Akan tetapi, karir politik AHY berhadapan dengan situasi yang sangat rumit beberapa hari terakhir. Berawal dari isu kudeta yang terjadi di dalam tubuh Partai Demokrat hingga berujung pada pemecatan ke-7 kader Partai Demokrat.

Pemecatan bukanlah akhir dari kemelut partai. Para mantan kader partai melakukan "serangan balik" karena kekecewaan pada keputusan partai.

Dalam serangan balik itu, Jhoni Allen yang merupakan salah satu mantan kader yang dipecat Partai Demokrat menyatakan kalau "AHY berada di puncak gunung, tapi tidak pernah mendaki," (Kompas 1/3/2021).

Lebih jauh, Jhoni Allen menyatakan bahwa keterpilihan AHY di Kongres V Partai Demokrat yang menetapkan AHY sebagai ketum partai merupakan rekayasa Ketua Majelis Tinggi Partai, yang merupakan ayah dari AHY, Susilo Bambang Yudhoyono.

Menurut Allen, SBY ikut berperan dalam melapangkan anaknya naik ke puncak ketum partai. Karenanya, Allan menilai jika AHY berada di puncak kekuasaan, tetapi AHY tidak pernah mendaki.

Tudingan ini tentunya perlu diklarifikasi oleh pihak partai. Tujuannya, agar situasi partai tidak terpecah karena pelbagai perspektif yang muncul. Juga, ini bertujuan agar posisi AHY pun tidak goncang apalagi hilang dari puncak partai AHY.

Andaikata tudingan Allen benar, maka ini bisa menjadi introspeksi diri bagi partai dan AHY sendiri. Haruskah AHY turun gunung dan memulai untuk mendaki gunung itu?

Hemat saya, apa pun karir seseorang mesti berlangkah dari langkah pertama. Langkah pertama itu bisa diumpamakan dengan seseorang yang mendaki gunung dengan pelbagai tantangan dan kesulitan. Tantangan dan kesulitan itu bisa menjadi bekal berharga saat mencapai puncak gunung.

Selain itu, publik pun mengakui keberhasilan seseorang karena itu terlahir lewat upaya atau kerja keras. Keberhasilan itu bukanlah produk instan, yang mana diberikan karena kepentingan tertentu, seperti misal, kepentingan relasi keluarga.

Gibran sementara menapaki jalan untuk menjadi seorang pemimpin. Jalan dari kota Solo bisa menjadi awal untuk menuju gunung kesuksesan. Jalan ini akan penuh tantangan dan kesulitan. Namun dengan itu, Gibran akan bisa belajar dan memperkaya dirinya.

Sementara itu, AHY sebagai ketum sementara berhadapan dengan kemelut di dalam partai yang dipimpinnya. Statusnya sebagai ketum mendapat soroton. Sorotan-sorotan itu pun adalah bagian dari jalannya untuk menuju kesuksesan. Kalau tidak kokoh, barangkali AHY mengambil langkah berbeda untuk menempa karir politiknya. Termasuk untuk kembali mendaki jalan politik yang lain.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun