Beberapa pekan terakhir, Filipina dilanda oleh badai. Setelah badai Rolly (nama internasionalnya Goni), badai Ulysses masuk wilayah Filipina sejak dua hari lalu hingga kemarin. Badai Ulysses merusaki beberapa tempat di Filipina. Banjir dan kerusakan serius fasilitas publik dan rumah masyarakat tak bisa dihindari.
Bencana alam selalu menjadi tanggung jawab bersama. Umumnya, pemerintah menjadi alat negara untuk bisa bekerja semaksimal mungkin agar masyarakat bisa terselamatkan di tengah situasi bencana. Suara dan kehadiran pemerintah menjadi dukungan moral bagi masyarakat.
Makanya, saat seorang pemimpin absen di tengah persoalan dan bencana, masyarakat akan mempertanyakan keabsenannya itu. Di mana pemimpin?
Andaikata pertanyaan itu tidak melahirkan jawaban, muaranya, masyarakat menjadi tidak simpati dan berlaku apatis terhadap pemimpin.
Masyarakat tidak ketinggalan cara. Apalagi di tengah perkembangan media sosial saat ini. #NasaanAngPangulo menjadi salah satu trending topik di Filipina di tengah bencana badai Ulysses datang ke Filipina.
Secara harfiah, tagar ini berarti "Di mana Presiden." Sejauh ini, tagar ini sudah dua kali muncul di media sosial. Yang paling pertama sewaktu badai Rolly melanda Filipina di awal bulan ini.
Tagar "di mana presiden" menjadi trending topik ketika super taifun Rolly menghantam beberapa daerah di Filipina. Badai ini dinilai sebagai badai yang paling kuat pada tahun 2020 ini. Presiden Filipina tidak hanya merespon tagar ini. Beliau juga berkunjung ke tempat-tempat yang berdampak serius karena terjangan badai.
Tagar "di mana Presiden" ini awalanya terlahir ketika Presiden Filipina, Duterte tidak menghadiri acara wawancara di TV mengenai tanggapan dan persiapan pemerintah menghadapi super taifun (Inquirer.net 1/11/20).
Tagar yang sama kembali hadir ketika taifun Ulysses menghantam beberapa wilayah di sekitar kota Manila. Memang taifun ini tidak sekuat taifun Rolly, namun ini cukup merepotkan masyarakat.
Banjir dan kerusakan di beberapa tempat di kota Metropolitan Manila membuat masyarakat sedih dan kecewa. Terang saja, di tengah situasi seperti ini, masyarakat membutuhkan pengayom, yakni pemimpin. Presiden menjadi sasaran tembak. Tagar "di mana presiden" pun hadir ke permukaan media sosial. Â
Padahal, Presiden Duterte sementara sibuk menghadiri pertemuan ASEAN secara virtual. Baru setelahnya, beliau melihat situasi yang diakibatkan oleh badai ini.
Hemat saya, tagar seperti ini, pada satu pihak, terlahir karena keinginan masyarakat kehadiran dan suara pemimpin mereka di tengah situasi sulit seperti bencana. Saat seorang pemimpin yang dipilih oleh suara mereka tidak datang, pada saat itu mereka kecewa. Bahkan kekecewaan itu bisa berujung pada sikap apatis kepada pemimpin yang sama apabila melaju lagi ke kontestasi berikutnya.
Pada pihak lain, tagar ini  menunjukkan keterbukaan ruang publik untuk terlibat dalam politik. Sebagaimana Indonesia, Filipina juga merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi.
 Suara-suara seperti ini sah-sah saja asalkan hal itu bukan fitnah dan menghadirkan perpecahan. Lebih jauh, ini bisa menjadi bentuk kontrol sosial masyarakat kepada pemimpin. Toh, dalam iklim demokrasi, pemimpin selalu terpilih oleh, dari, dan untuk rakyat sendiri. Maka dari itu, tagar seperti perlu dicermati dan dikritisi dari dua sisi berbeda, entah itu negatif maupun positif.
Tagar seperti ini juga bisa menjadi pelajaran kepada para pemimpin umumnya. Mereka memimpin karena kebutuhan rakyat. Kebutuhan itu menyata lewat arah dan cara kerja seorang pemimpin menuntun masyarakat pada kehidupan yang layak. Jadi, agar tagar seperti ini tidak terjadi, para pemimpin perlu peka melihat situasi masyarakat yang dipimpinnya.
Â