Hemat saya, tagar seperti ini, pada satu pihak, terlahir karena keinginan masyarakat kehadiran dan suara pemimpin mereka di tengah situasi sulit seperti bencana. Saat seorang pemimpin yang dipilih oleh suara mereka tidak datang, pada saat itu mereka kecewa. Bahkan kekecewaan itu bisa berujung pada sikap apatis kepada pemimpin yang sama apabila melaju lagi ke kontestasi berikutnya.
Pada pihak lain, tagar ini  menunjukkan keterbukaan ruang publik untuk terlibat dalam politik. Sebagaimana Indonesia, Filipina juga merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi.
 Suara-suara seperti ini sah-sah saja asalkan hal itu bukan fitnah dan menghadirkan perpecahan. Lebih jauh, ini bisa menjadi bentuk kontrol sosial masyarakat kepada pemimpin. Toh, dalam iklim demokrasi, pemimpin selalu terpilih oleh, dari, dan untuk rakyat sendiri. Maka dari itu, tagar seperti perlu dicermati dan dikritisi dari dua sisi berbeda, entah itu negatif maupun positif.
Tagar seperti ini juga bisa menjadi pelajaran kepada para pemimpin umumnya. Mereka memimpin karena kebutuhan rakyat. Kebutuhan itu menyata lewat arah dan cara kerja seorang pemimpin menuntun masyarakat pada kehidupan yang layak. Jadi, agar tagar seperti ini tidak terjadi, para pemimpin perlu peka melihat situasi masyarakat yang dipimpinnya.
Â