Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Dukun Lebih Dipercayai daripada Pemuka Agama

2 Juni 2020   10:36 Diperbarui: 2 Juni 2020   10:43 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi praktik perdukunan. Sumber foto: Pos Belitung. Tribunnews.com

Praktik perdukunan masih menjadi bagian dari realitas sosial kita sekarang ini. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi rupanya belum bisa menggerus keberadaan dukung sekaligus keyakinan masyarakat pada kemampuan mereka.  

Dukun kerap kali diasosiasikan dengan penyembuh. Ada dukun penyembuh sakit fisik, dan ada penyembuh sakit non-fisik. Ada pula dukun penyembuh kedua dari penyakit tersebut.

Keberadaan dukun ini berlaku universal. Ini tidak hanya terjadi di konteks Indonesia, tetapi juga di banyak negara. Bahkan masih ada tempat yang masih memercayai dukun daripada tim medis dan pemuka agama.    

Ini kisah dari salah seorang teman saya. Pemuka agama di sini, Filipina. Kisah pengalaman teman ini bersama tetangganya. Paling tepat, kisah tentang tetangganya, yang mana teman saya ini menjadi saksi dari pola hidup tetangganya itu.

Suatu waktu, hari Minggu, tetangganya itu meminta tumpangan pada teman saya. Tanpa berpikir panjang, teman itu mengiakan permintaannya itu. Apalagi dia sendiri melakukan perjalanan ke salah satu desa.

Dalam perjalanan, dia baru tahu jika tetangganya itu ingin pergi bertemu dengan seorang dukun. Dukun penyembuh sakit fisik dan mental. Kebetulan arah dan tujuan dari teman saya berdekatan dengan desa dari dukun itu.


Tetangganya itu menderita penyakit gatal-gatal yang menimbulkan kebengkakan pada bagian kakinya. Menurutnya, apa yang terjadi itu merupakan hasil kerja jahat dari orang tertentu.

Di sini, mereka menyebutnya upaya jahat orang lain dengan menciptakan sakit pada orang tertentu dengan praktik "mangkukulam." Atau kita mengenalnya dengan praktik santet.

Tetangga teman saya itu meyakini dia adalah korban santet dan perlu mendapat pengobatan dari seorang dukun.  

Jadilah, teman dan tetangganya itu pergi bersama. Desa dari dukun yang ditujui terletak sebelum desa dari tujuan teman saya. Sempat tetangganya itu meminta tumpangan pulang karena faktor keterbatasan transportasi. Teman saya tidak menolak.

Mereka pun pulang bersama. Teman saya pulang dari pelayanannya sebagai seorang pemuka agama yang mewartakan tentang keberadaan dan peran Tuhan, Sang Khalik. Juga, peran Tuhan yang mengatasi kuasa kegelapan dan kejahatan.

Sementara itu, tetangganya itu pulang dari seorang dukun yang dipercayai sebagai penyembuh dari sakit akibat roh jahat. Dia ikut pemuka agama pergi ke dukun. Dua situasi yang cukup ironis.

Teman pemuka agama itu hanya heran. Pasalnya, dalam perjalanan, tetangganya itu tidak memintanya untuk berdoa pada keadaan dirinya. Tugas teman saya itu memang untuk berdoa, termasuk berdoa untuk orang-orang yang mengalami sakit karena gangguan roh-roh jahat.

Sebaliknya, tetangganya itu malah lebih banyak berbicara tentang kehebatan dukun yang ditujuinya.

Menurut teman saya, pada satu sisi perannya tersudutkan. Di tengah upayanya untuk menyadarkan orang-orang pada pentingnya beriman dan beragama, banyak orang yang masih hidup dengan dua cara hidup yang berbeda. Beriman lewat beragama dan masih percaya pada kemampuan dukun.

Ya, dua realitas yang berbeda. Realitas percaya kepada Tuhan lewat perantaran pemuka agama dan percaya pada kekuatan adikodrati lewat kemampuan dukun.

Sampai saat ini, realitas ini masih sulit dijelaskan. Tetangga teman saya itu bukannya tidak percaya pada Tuhan.

Tiap hari Minggu, dia selalu menghadiri perayaan agama. Meski demikian, saat dia merasa sakit, dia malah memilih dukun sebagai penyembuh.

Realitas seperti ini tidak lepas dari lingkungan dan konteks di mana kita tinggal dan berada. Latar belakang formasi membentuk cara pandang sebagian besar dari kita.

Barangkali kita juga percaya kepada kemampuan dukun karena faktor lingkungan kita berasal. Begitu pun sebaliknya, kita begitu terikat pada iman dan agama yang kita anuti dan meragukan kemampuan dukun karena faktor lingkungan tempat kita tinggal.

Salah satunya, tetangga saya di sini. Pernah kami bercerita tentang realitas praktik dukun dan mitis-magis yang terjadi di beberapa tempat. Sempat dia bertanya apakah saya memercayai hal itu?

Saya tidak menjawabnya secara pasti. Saya hanya menjelaskan tentang situasi kami di Manggarai, Flores. Dalam mana, masih ada orang yang percaya pada kemampuan dukun, walau mereka juga beriman pada agama tertentu.

Sebaliknya, tetangga itu menolak keras kepercayaan pada praktik perdukunan. Secara agak moderat, tetangga ini menjelaskan jika dia menolak praktik itu karena dia terbentuk dalam kehidupan agama yang kuat.

Orangtuanya sangat religius dan menghidupi kehidupan agama dengan setia tanpa bersentuhan dengan praktik perdukunan. Kalau sakit, ya ke dokter dan bukan ke dukun, menurutnya,

Selain itu, dia juga bersekolah dan mengajar di sekolah berpayung agama. Lebih jauh, dia selalu terlibat aktif dalam kegiatan keagamaan.

Karena lingkungan ini, dia mempunyai pandangan yang berbeda tentang realitas perdukunan. Malah, dia lebih memilih agama (imannya kepada Sang Khalik) sebagai solusi dalam menjawabi persoalan yang kadang sulit dipahami secara akal sehat daripada dukun.  

Saya kira ini juga berlaku untuk semua. Konteks di mana kita dibentuk bisa membentuk pola pikir dan tindakan kita.

Bahkan, ini juga membentuk kita dalam memilih antara iman seturut ajaran agama atau percaya pada kekuatan dukun. Atau juga meyakini keduanya, tanpa peduli mana yang lebih benar.

Tidak gampang untuk mengubah pola pikir kita. Perubahan boleh mungkin terjadi jika hal ini dibarengi dengan perubahan formasi di lingkungan sosial.

Gobin Dd   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun