Sementara itu, tetangganya itu pulang dari seorang dukun yang dipercayai sebagai penyembuh dari sakit akibat roh jahat. Dia ikut pemuka agama pergi ke dukun. Dua situasi yang cukup ironis.
Teman pemuka agama itu hanya heran. Pasalnya, dalam perjalanan, tetangganya itu tidak memintanya untuk berdoa pada keadaan dirinya. Tugas teman saya itu memang untuk berdoa, termasuk berdoa untuk orang-orang yang mengalami sakit karena gangguan roh-roh jahat.
Sebaliknya, tetangganya itu malah lebih banyak berbicara tentang kehebatan dukun yang ditujuinya.
Menurut teman saya, pada satu sisi perannya tersudutkan. Di tengah upayanya untuk menyadarkan orang-orang pada pentingnya beriman dan beragama, banyak orang yang masih hidup dengan dua cara hidup yang berbeda. Beriman lewat beragama dan masih percaya pada kemampuan dukun.
Ya, dua realitas yang berbeda. Realitas percaya kepada Tuhan lewat perantaran pemuka agama dan percaya pada kekuatan adikodrati lewat kemampuan dukun.
Sampai saat ini, realitas ini masih sulit dijelaskan. Tetangga teman saya itu bukannya tidak percaya pada Tuhan.
Tiap hari Minggu, dia selalu menghadiri perayaan agama. Meski demikian, saat dia merasa sakit, dia malah memilih dukun sebagai penyembuh.
Realitas seperti ini tidak lepas dari lingkungan dan konteks di mana kita tinggal dan berada. Latar belakang formasi membentuk cara pandang sebagian besar dari kita.
Barangkali kita juga percaya kepada kemampuan dukun karena faktor lingkungan kita berasal. Begitu pun sebaliknya, kita begitu terikat pada iman dan agama yang kita anuti dan meragukan kemampuan dukun karena faktor lingkungan tempat kita tinggal.
Salah satunya, tetangga saya di sini. Pernah kami bercerita tentang realitas praktik dukun dan mitis-magis yang terjadi di beberapa tempat. Sempat dia bertanya apakah saya memercayai hal itu?
Saya tidak menjawabnya secara pasti. Saya hanya menjelaskan tentang situasi kami di Manggarai, Flores. Dalam mana, masih ada orang yang percaya pada kemampuan dukun, walau mereka juga beriman pada agama tertentu.
Sebaliknya, tetangga itu menolak keras kepercayaan pada praktik perdukunan. Secara agak moderat, tetangga ini menjelaskan jika dia menolak praktik itu karena dia terbentuk dalam kehidupan agama yang kuat.