Relasi sosial menjadi kebutuhan kita sebagai makluk sosial. Kita ingin membangun relasi dengan sesama. Kita ingin mempunyai banyak teman. Kita pun ingin mempunyai teman yang bisa dipercayai. Â
Kenyataannya, mendapatkan seorang atau banyak teman itu terbilang gampang. Apalagi kalau kita mempunyai sumber daya tertentu yang mudah menarik orang untuk menjadi teman.Â
Tetapi, membangun dan menjaga relasi itu sendiri tidak segampang mendapatkan teman. Kita boleh saja berteman dengan banyak orang. Tetapi kita tidak tahu persis siapa saja teman yang setia dan tulus dari antara mereka. Jadi, dalam membangun dan menjaga sebuah relasi, kita mesti betul-betul tahu dan mengenal kepribadian teman kita.
Memang, ada orang yang betul-betul setia dan tulus berteman. Tanpa pertimbangan dan bebas dari kepentingan. Tetapi, tidak sedikit pula yang berteman hanya karena situasi dan kepentingan tertentu.
Berteman karena kepentingan
Barangkali berteman karena kepentingan sangat familiar terjadi di dunia politik. Banyak orang mengatakan jika relasi dalam di dunia politik itu tidak ada teman abadi, yang ada hanya kepentingan abadi.
Tidak heran, banyak politikus yang lompat dari satu pihak ke pihak lainnya. Kawan bisa berubah menjadi lawan, begitu pun sebaliknya. Salah satu motif utamanya adalah faktor kepentingan tertentu.
Selain di dunia politik, teman karena faktor kepentingan juga terjadi dalam relasi sosial pada umumnya. Ini bisa terjadi di sekolah, di tempat kerja, dan di lingkungan di mana kita berada. Berteman hanya karena kepentingan tertentu, tetapi saat kepentingan itu diraih dan diperoleh, pertemanan itu pun berakhir.
Pernah seorang teman meminjam uang kepada saya. Jumlahnya tidak kecil. Beberapa pekan sebelum dia meminjam uang, dia membangun relasi yang dekat dengan saya. Sering kirim pesan dan telpon, walau hanya berbicara tentang hal-hal sepeleh. Kadang berkunjung ke tempat saya.
Hingga, dia mengutarakan niatnya. Karena faktor percaya, tanpa berpikir panjang saya memenuhi pinjamannya. Namun, situasi berubah setelah beberapa bulan. Selain dia tidak menepati janji, dia juga menjauh pergi bersama dengan utangnya itu.
Berteman hanya karena motif meminjam uang. Saat pinjaman diperoleh, pertemanan ikut berakhir. Hemat saya, banyak contoh dalam relasi sosial di mana orang membangun dan mengukur sebuah relasi karena faktor kepentingan tertentu.
Teman rasa kepentingan ini tidaklah kekal. Ini akan selalu berakhir bersama dengan kepentingan itu sendiri.
Rupa-rupa kepentingan itu beraneka macam. Kepentingan itu bisa berupa barang, pelayanan, waktu dan tenaga. Pada saat seseorang mendapatkan apa yang diinginkan itu, kecenderungan yang terjadi adalah pergi tanpa kabar atau juga melupakan relasi itu sendiri.
Sakit hati pasti menjadi akibat dari pertemanan seperti ini. Pasalnya, kita merasa ditipu dan dikelabui. Kepercayaan kita juga dikhianati. Bahkan tidak sedikit orang yang mengalami trauma dan tidak mau menjalin relasi dengan orang-orang tertentu.
Solusinya Apa?
Jujur saja, saya tidak mempunyai solusi yang ampuh pada persoalan ini. Hemat saya, ini sebenarnya mulai dari kita sendiri. Kita menjadi teman yang tulus dan setia bagi orang lain. Kita membebaskan diri dari aneka kepentingan saat kita bertemanan dengan orang lain.
Dengan kata lain, kita menjalin relasi pada segala musim kehidupan. Suka maupun susah, kita tetap berteman. Sejatinya, suka dan susah dari seorang teman menjadi suka dan susah kita. Memang terlihat ideal, tetapi hal ini bukan mustahil untuk dilakukan. Â
Selain itu, saat berteman dengan orang lain, kita juga tidak terlalu cepat percaya dan terjebak pada janji-janji muluk. Tidak semua yang keluar dari mulut seseorang dan apa yang diberikan seseorang menggambarkan sebuah ketulusan dari sebuah pertemanan.
Boleh jadi, apa yang diberikannya itu hanya sebagai umpan agar kita bisa memberikan apa yang diinginkan. Terlebih lagi, dia menginginkan sesuatu yang berharga dari diri kita.
Dalam teman angkatan kami sewaktu kuliah, kami mempunyai teman yang ringan tangan dalam memberi jika dia ada maunya. Kami sudah tahu itu. Bagi yang belum tahu, mereka bisa menjadi korban kepentingannya.
Salah satu contoh kebiasaannya. Dia tiba-tiba mentraktir seorang teman. Setelah itu, pastinya dia akan meminta teman itu untuk melakukan sesuatu untuk dirinya. Misalnya, menggantikan dirinya pada jadwal tertentu yang diatur di sekolah atau di asrama.
Tentunya, jawaban "tidak" sangatlah sulit untuk diberikan. Suka atau tidak, permintaan itu diiakan. Setelah itu, teman ini lagi peduli pada apa yang terjadi. Â
Pelajarannya, kita tidak boleh percaya begitu cepat pada setiap kebaikan. Apalagi kebaikan yang datang tiba-tiba dan dibuat oleh orang yang tidak biasa melakukannya.
Tidak gampang percaya menjadi salah satu cara bagi kita agar tidak terjebak pada pertemanan rasa kepentingan. Perlu kita menimbang dan mengevalusi setiap motif yang datang kepada kita. Apakah itu tulus ataukah ada intensi lain di balik itu.
Di satu sisi, susah untuk mendeteksi pertemanan berdasar pada faktor kepentingan tertentu. Banyak orang pandai menyembunyikan kepentingan di balik setiap kata-kata dan perilaku. Karenanya, kita selalu berwaspada.
Sikap waspada dengan tidak gampang memberikan apa yang berharga dari diri kita, terlebih lagi itu berkaitan dengan harga diri. Berwaspada pada setiap kebaikan yang datang tanpa melukai hati orang yang melakukan kebaikan itu.
Saya yakin dalam perjalanan waktu dan seturut proses relasi itu sendiri, kita bisa merasa dan menyadari sebuah pertemanan benar-benar tulus atau tidak. Jadi, bangunlah relasi itu perlahan-lahan hingga ketulusan dan kejujuran bisa menjadi fondasi dari relasi tersebut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI