Mohon tunggu...
Dony Kusuma Ariwibawa
Dony Kusuma Ariwibawa Mohon Tunggu...

penyuka kopi dan suka bermain dengan layar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Ingin Beranjak Tidur Lagi, Tapi...

29 Agustus 2013   01:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:40 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_262087" align="aligncenter" width="536" caption="joglodeeshine document"][/caption]

Terasa seperti masih malam. Gelap. Raga masih merebahkan lengannya yang terluka akibat pembantaian kemarin. Menewaskan beberapa jasad yang terkapar begitu saja. Tanpa ada perhatian dari mata-mata langit.

Tapi suasana bukan seperti suasana malam. Tidak ada jangkirk berderik, tidak ada katak mengorek. Hampir seperti pagi. Cit..cit..cit.. suara anak burung gereja berdecit samar. Sarang burung seakan dekat dan bertengger pada pepohonan. Garis sinar tampak menembus atap.

Mata rasa perlahan terbuka, ujung kelopaknya masih basah oleh air mata. Dia masih terlentang bebas, memunggungi kasur. Kaki masih terasa hangat oleh selimut tebal berwana merah muda. Membentang sampai atas pinggang.

Ketakutan masih menyeruak pada benak raga. Disaat beberapa orang menghujaninya dengan peluru tajam. Bukan hanya sendiri, tetapi berami-ramai. Masih jelas, seorang anak laki-laki disampingnya tergeletak. Kepalanya bersimbah darah tercampur pasir, mengalir. Bekas luka tembak menembus kening anak itu. Diam tak bernyawa.

“Aku ingin tidur lagi, bermimpi indah lagi” gumamnya dalam hati.

Seketika terpejam kembali mata Raga. Melesat jauh ke alam mimpi. Tengkuk terasa nyaman dengan bantal empuk. Cahaya putih benderang membawanya menuju ke negeri antah berantah.

Langkahnya terasa ringan, senyumnya mengembang. Pepohonan rimbun mengelilingi dengan buah merah bergelayutan pada dahannya. Ragapun berlari. Mengejar anak-anak kecil yang sedang bermain kucing-kucingan. Jari-jari kaki menyepak embun rerumputan, ikut terbang mengejar kaki-kaki kecil di depannya. Ia amat bahagia.

Terengah-engah sampai di sebuah bibir sungai, batu kali hitam seakan tersenyum pada Raga. Mengkilat diterpa buih air sungai nan sejuk bersambut matahari. Tangannya menjulur ke arus air sungai, membentuk mangkuk poci. Aliran air sebagian tertampung pada telapaknya, dingin. Diangkatnya lengan berisi air menetes pada pungung tangan, menuju ujung bibir membentuk corong.Dahaga lepas begitu saja, bak beludru mengembang ke angkasa ditiup angin.

Tiba-tiba sunyi dan gelap lagi, matanya berat untuk membuka, telinganya terjaga. Sekarang bunyi jangkrik nyaring terdengar, katak berlomba mengorek layaknya orchestra padang persawahan. Kepalanya terasa berat, ubun-ubun seperti ditindih batu gunung yang besar. Kedua lengan Raga terasa dingin. Hampir sekujur tubuhnya nyeri, luka-luka perban berontak sakit. Suaranya parau menahan kepedihan ulah tangan manusia itu. Bagai jarum-jarum kecil tertusuk rapih di tubuh Raga, merata.

Saat mencoba menahan rasa sakit, ia mencoba menyatukan kembali kelopak matanya. Ujung alisnya bertemu, mencoba kembali ke dalam mimpi indah. Ketenangan yang ia rasakan, bukan sakit yang terperi, pedih.

“Aku ingin beranjak tidur lagi”, Raga berbicara pada dirinya dalam hati. “Kehidupan mimpi lebih indah terasa, daripada kenyataan penuh ketakutan”.

“Aku bosan dengan hidup seperti ini, hanya terkapar sakit dengan luka sayatan. Tidur menghalau ketakutan atas kenyatan”. Ia masih bernegosiasi dengan tubuhnya yang belum mau beranjak tidur.

Tiba-tiba suara berdenging pada telinga kiri Raga. Seakan-akan tubuhnya menjawab atas orasi senyap yang ia lontarkan.

“Bukankah mimpi itu hanya bunga tidur. Nyata tapi tak nyata”. Raga mengenal suara itu, sangat tidak asing. Itu suara dirinya sendiri.

“Kau boleh bermimpi panjang, mengecap indahnya peradaban dan kehidupan yang kau dambakan. Tapi bangunlah, karena hidup punya tujuan”.

“Kalau kau tak bangun, bagaimana sejarah akan terukir kembali. Tak punya karya maka mati dilindas peradaban”.

Air mata menganak sungai di pipi Raga. Ia sadar tubuhnya yang terus terkapar di ranjang tidak akan menyelesaikan masalah. Takut itu bagian dasar pada hidup manusia, pasti ada. Luka-luka yang belum mengering bukan pembatas pada jasadnya untuk melangkah lagi. Nanti.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun