Mohon tunggu...
Donny rumagit
Donny rumagit Mohon Tunggu... Petani - Saya saat ini beraktivitas sebagai petani

Lahir di langowan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pilkada di Era Pandemi, Pestanya Dinasti Politik

31 Juli 2020   10:14 Diperbarui: 31 Juli 2020   10:18 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Apa Itu Politik Dinasti???

Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indenik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari orang tua kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.

Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, Tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural." Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur procedural.

Politik Dinasti Sempat Dilarang

Tertangkapnya beberapa kepala daerah oleh KPK di era Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menjadi fenomena yang menarik dan menjadi kegelisahan publik sehingga dikaitkan dengan dinasti politik. Banyak kalangan menilai dinasti politik ikut memicu budaya koruptif dalam pemerintahan. Mungkin ini alasan pemerintah kala itu, melarang dinasti politik untuk ikut Pilkada lagi. Hal itu dituangkan dalam Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Dalam Pasal 7 huruf r disebutkan: "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Lalu, apa yang dimaksud dengan 'kepentingan dengan petahana'? Dalam penjelasan UU itu disebutkan:

Yang dimaksud dengan "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan. Tapi pasal 'dinasti politik' itu digugat anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan 2014- 2019, Adnan Purichta Ichsan, ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 lalu. Di depan 9 hakim konstitusi, pemerintah berargumen perlunya pasal 'dinasti politik' di atas.

"Upaya yang dilakukan Pemerintah dengan merumuskan norma Pasal 7 huruf r UU 8/2015 semata-mata untuk upaya memutus mata rantai dinasti politik, tindakan koruptif, dan tindakan penyalahgunaan wewenang. Namun hal ini disadari oleh Pemerintah bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan karena banyak sekali upaya-upaya yang ingin tetap melestarikan politik dinasti dan upaya-upaya untuk melaksanakan Pilkada tidak dalam keadaan yang fairness," kata pemerintah sebagaimana dikutip dari putusan MK Nomor 33/PUU-2015. 

Menurut pemerintah, dalam relasi di masyarakat, kedudukan antara keluarga petahana dan kedudukan calon yang lain tidaklah berada dalam kondisi yang equal. Kedudukan petahana dipandang memiliki akses dan sumber daya yang lebih tinggi terhadap keadaan atau potensi yang dimiliki negara dan potensi yang dimiliki oleh swasta karena kedudukannya.

Maka petahana beserta keluarganya dapat memperoleh keuntungan yang lebih. Baik dari aspek fasilitas maupun dukungan dari kelompok-kelompok serta baik dari institusi negara maupun swasta, walaupun secara hukum, hal ini kadang-kadang sulit dibuktikan.

"Ketentuan untuk menjalankan atau melaksanakan Pilkada secara fairness inilah yang mendorong Pemerintah untuk mengatur ketentuan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 agar kontestasi politik berjalan secara equal. Agar dapat berjalan equal, maka diaturlah dengan ketentuan satu periode berikutnya baru boleh untuk mengajukan diri di dalam Pilkada di wilayah yang sama," papar pemerintah.

Pemerintah merujuk survei yang dilakukan oleh IFES dan Lembaga Survei Indonesia terhadap dinasti politik. Hasilnya, masyarakat memberikan respons 64 persen menyatakan politik dinasti berdampak negatif, 9 persen menyatakan berdampak positif, 7 persen menyatakan tidak berdampak, dan 38 persen menjawab tidak tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun