Mohon tunggu...
Donny rumagit
Donny rumagit Mohon Tunggu... Petani - Saya saat ini beraktivitas sebagai petani

Lahir di langowan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pilkada di Era Pandemi, Pestanya Dinasti Politik

31 Juli 2020   10:14 Diperbarui: 31 Juli 2020   10:18 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Om Tani Pe Cerita (09)

Pilkada Saat Pandemi//

Pesta Para Dinasti Politik//

Selamat pagi, Om Tani pe sahabat-sahabat semua. Apa kabar hari ini? Semoga kita semua dalam keadaan sehat walafiat.  Khusus buat para sahabat Muslim  Om Tani mengucapkan selamat merayakan Idul Adha, hari raya penyembelihan yang memperingati ujian paling berat yang menimpa Nabi Ibrahim. Salam Sehat for torang samua yang masih dianugerahkan hari yang baru, nafas kehidupan serta anugerah kesehatan ditengah wabah corona yang terus mengancam.

Kamis (30/7) kemarin, selama hampir 3 jam Om Tani mengikuti diskusi yang digagas oleh Kornas Komite Pemilih (TEPI) Indonesia Om Jeirry Sumampouw dengan tema Pilkada serentak 2020 : Pesta dinasti Politik via Zoom Meeting online, aplikasi yang di populerkan oleh Eric Yuan.

Keluarga Presiden, Wapres, Menteri, Kepala Daerah Maju Pilkada

Isu dinasti politik kembali ramai dibicarakan dan menjadi topik diskusi yang hangat dibahas pasca PDIP mengusung putra Sulung orang nomor satu Indonesia Gibran Rakabuming sebagai calon Walikota Solo pada Pilkada serentak 2020.

Berdasarkan data dan informasi yang dihimpun Om Tani dari berbagai sumber, bukan hanya Raka yang akan bertarung di Pilkada 2020, tapi sederet nama keluarga Presiden, Wapres, para Menteri sampai Kepala Daerah dipastikan akan bertarung pada Pilkada ditengah pandemi yang pemungutan suaranya pada tanggal 9 Desember 2020 nanti. Sebut saja, Bobby Nasution menantunya Presiden Jokowi kandidat Walikota Medan, Siti Nur Azizah anak dari Wapres Maruf Amin kandidat Walikota Tangerang Selatan bakal bertarung dengan Rahayu Djojohadikusumo Ponakan dari Mentan Prabowo Subianto, Hanindhito Pramana, putra Sekkab Pramono Anung di Kediri, Titik Masudah adik Mennaker Ida Fausiah di Mojokerto, Iman Yason Limpo, adik dari Menteri Pertanian Syahrul Limpo maju di Pilkada Makassar. Bukan hanya level keluarga pejabat dilingkaran istana Negara yang ingin merebut kursi empuk kepala daerah tapi keluarga penguasa daerahpun tak mau ketinggalan dengan mencalonkan Anak, Istri, adik dan keluarga.

Bagaimana Sulawesi Utara??

Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh Om Tani dari tujuh Kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan Pilkada serentak 2020 plus Pemilihan Gubernur Sulut, ada sekitar 71,4 persen keluarga Kepala daerah bakal bertarung untuk merebut kursi nomor satu, yaitu Paula Runtuwene Istri dari Walikota Manado Veky Lumentut telah mengantongi tiket dari Nasdem untuk bertarung pada Pilwako berpasangan dengan Harley Mangindaan, Sintia Rumumpe anak dari Bupati Vonny Panambunan akan bertarung di Pilbup Minahasa Utara, Mika Paruntu, adik dari Bupati Tetty Paruntu di Minsel, Jillie Eman anak dari Walikota Jimmi Eman di Kota Tomohon dan Fuad Landjar anak dari Bupati Sehan Landjar di Bolaang Mongondow Timur. Lima daerah ini, incumbentnya sudah tidak bisa mencalonkan lagi karena sudah dua periode berkuasa dan sisanya masih ada dua daerah yaitu Kota Bitung Walikota yang menjabat saat ini  Max Lomban akan berhadapan dengan Wakil Walikota Maurits Mantiri dan Bolaaang Mongondow Selatan Bupati Iskandar Kamaru bakal bertarung lagi.

Lebih ramai lagi, Perebutan kursi nomor satu Sulut, para kepala Daerah bakal bertarung, yaitu Olly Dondokambey yang berpasangan dengan Steven Kandouw yang sedang berkuasa saat ini, Vonny Panambunan Bupati yang sedang berkuasa di Minahasa Utara yang masih menyimpan pasangannya dan Tetty Paruntu penguasa Minahasa Selatan berpasangan dengan Sehan landjar yang sedang berkuasa di Boltim.

Apa Itu Politik Dinasti???

Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indenik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari orang tua kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.

Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, Tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural." Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur procedural.

Politik Dinasti Sempat Dilarang

Tertangkapnya beberapa kepala daerah oleh KPK di era Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menjadi fenomena yang menarik dan menjadi kegelisahan publik sehingga dikaitkan dengan dinasti politik. Banyak kalangan menilai dinasti politik ikut memicu budaya koruptif dalam pemerintahan. Mungkin ini alasan pemerintah kala itu, melarang dinasti politik untuk ikut Pilkada lagi. Hal itu dituangkan dalam Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Dalam Pasal 7 huruf r disebutkan: "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Lalu, apa yang dimaksud dengan 'kepentingan dengan petahana'? Dalam penjelasan UU itu disebutkan:

Yang dimaksud dengan "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan. Tapi pasal 'dinasti politik' itu digugat anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan 2014- 2019, Adnan Purichta Ichsan, ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 lalu. Di depan 9 hakim konstitusi, pemerintah berargumen perlunya pasal 'dinasti politik' di atas.

"Upaya yang dilakukan Pemerintah dengan merumuskan norma Pasal 7 huruf r UU 8/2015 semata-mata untuk upaya memutus mata rantai dinasti politik, tindakan koruptif, dan tindakan penyalahgunaan wewenang. Namun hal ini disadari oleh Pemerintah bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan karena banyak sekali upaya-upaya yang ingin tetap melestarikan politik dinasti dan upaya-upaya untuk melaksanakan Pilkada tidak dalam keadaan yang fairness," kata pemerintah sebagaimana dikutip dari putusan MK Nomor 33/PUU-2015. 

Menurut pemerintah, dalam relasi di masyarakat, kedudukan antara keluarga petahana dan kedudukan calon yang lain tidaklah berada dalam kondisi yang equal. Kedudukan petahana dipandang memiliki akses dan sumber daya yang lebih tinggi terhadap keadaan atau potensi yang dimiliki negara dan potensi yang dimiliki oleh swasta karena kedudukannya.

Maka petahana beserta keluarganya dapat memperoleh keuntungan yang lebih. Baik dari aspek fasilitas maupun dukungan dari kelompok-kelompok serta baik dari institusi negara maupun swasta, walaupun secara hukum, hal ini kadang-kadang sulit dibuktikan.

"Ketentuan untuk menjalankan atau melaksanakan Pilkada secara fairness inilah yang mendorong Pemerintah untuk mengatur ketentuan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 agar kontestasi politik berjalan secara equal. Agar dapat berjalan equal, maka diaturlah dengan ketentuan satu periode berikutnya baru boleh untuk mengajukan diri di dalam Pilkada di wilayah yang sama," papar pemerintah.

Pemerintah merujuk survei yang dilakukan oleh IFES dan Lembaga Survei Indonesia terhadap dinasti politik. Hasilnya, masyarakat memberikan respons 64 persen menyatakan politik dinasti berdampak negatif, 9 persen menyatakan berdampak positif, 7 persen menyatakan tidak berdampak, dan 38 persen menjawab tidak tahu.

"Politik dinasti ini diatur sedemikian rupa karena petahana mempunyai akses terhadap kebijakan dan akses terhadap alokasi anggaran, sehingga dapat memberikan keuntungan pribadi untuk memenangkan pemilihan kepala daerah atau memenangkan kelompok-kelompoknya. Dalam praktik, hal yang paling banyak dilakukan oleh petahana adalah memperbesar dana hibah, dana bantuan sosial, program kegiatan yang diarahkan ke dalam upaya memenangkan salah satu pasangan calon," terangnya.

Petahana secara alamiah memiliki berbagai fasilitas dan tunjangan yang melekat kepada dirinya, sehingga untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, fasilitas dan tunjangan itu melekat terus-menerus. Jadi, dalam banyak hal, sering dilihat ada banyak spanduk yang menuliskan program-program dan kegiatan-kegiatan yang di dalamnya ada gambar incumbent atau nama incumbent yang terkait dengan pemilihan pada saat itu.

"Karena sedang menjabat, maka petahana memiliki keunggulan terhadap program-program, terhadap kegiatan-kegiatan yang seluruhnya atau sebagian dapat didapat diarahkan untuk memenangkan dirinya atau memenangkan dinastinya," katanya.

"Yang banyak pula terkait dengan netralitas PNS, maka petahana mempunyai akses yang lebih besar untuk memobilisasi PNS untuk memberikan dukungan yang menguntungkan kepada dirinya," sambung pemerintah.
Banyaknya argumen itu dimentahkan tim hukum penggugat, yang terdiri dari Heru Widodo, Supriyadi Adi, Novitriana Arozal, Dhimas Pradana Aan Sukirman, Mappinawang, Sofyan Sinte, dan Mursalin Jalil. MK menghapus pasal 'dinasti politik'.

"Bukan berarti MK menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana (incumbent) memiliki berbagai keuntungan. Namun, pembatasan demikian haruslah ditujukan kepada kepala daerah petahana itu, bukan kepada keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu tersebut," putus MK.

Vonis itu diketok oleh sembilan hakim konstitusi secara bulat. Yaitu Arief Hidayat, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Patrialis Akbar, Aswanto, Suhartoyo, dan Manahan MP Sitompul.
"Sebab, keuntungan-keuntungan itu melekat pada si kepala daerah petahana sehingga kemungkinan penyalahgunaannya juga melekat pada si kepala daerah petahana," ujar majelis dengan suara bulat.

Atas dasar putusan MK itu, maka terbitlah UU Nomor 10 Tahun 2016 yang berlaku saat ini. Di pasal 7 setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai kepala daerah. Secara konstitusi tak ada yang dilanggar dengan majunya calon dinasti politik saat ini. Om Tani pe tamang Bae Winsi Kuhu dalam status FBnya menegaskan konten politik dinasti sudah basi jika dibicarakan sekarang. "Ada hal yang lebih urjen dari pada itu, sebab tidak ada regulasi yang mengatur secara mendalam tentang pembatasan politik dinasti,"tulis Kuhu yang saat ini sebagai tim ahli salah satu anggota DPR RI dari partai Nasdem.

Harus Ada Gerakan Perlawanan Politik Dinasti

Kembali ke diskusi online, para Narasumber yang secara bergantian memaparkan materinya mulai dari Analisis Politik Exposit Strategic Arif Susanto, Dekan FISIPOL UKI, Angel Damayanti, Akademisi Unsrat Ferry Liando, Direktur Lima Ray Rangkuti dan Kornas JPPR Jeirry Sumampouw mengakui untuk saat ini tidak ada regulasi yang melarang politik dinasti tapi prakteknya di era demokrasi saat ini sangat berdampak negative. " Politik dinasti itu bersifat tertutup, lebih memilih saudara bukan karena dia punya kemampuan lebih baik. Politik dinasti tidak punya pertanggungjawaban ke public," ujar Arif Susanto.

" Banyak penumpang gelap, tidak lewat kaderisasi yang matang, hari ini pendaftaran satu hari sebelum langsung keluar kartu anggota parpol. Kita tahu kalau anak pejabat modelnya seperti apa, hidup dalam kemewahan, hidup dalam zona nyaman. Nah tiba-tiba ingin jadi pemimpin, sehingga kebutuhan publik sulit dijangkau, ini yang menjadi persoalan.

Ray Rangkuti menegaskan politik dinasti diera Jokowi saat ini sudah masuk level merah. "Konstitusi tidak melarang tapi kita lihat prakteknya tidak baik. Kita tidak boleh main-main saat ini, sekarang politik dinasti baik eksekutif maupun legislative  grafiknya naik terus. Jadi jangan melemah untuk memberikan kesempatan pada langgengnya dinasti politik, pembatasan dinasti politik tidak melanggar HAM sama dengan pembatasan dua periode kepala daerah, tidak masalah istri, anak, sudara yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah tapi harus jeda lima tahun, baru bisa maju," tandas Rangkuti.

Sementara itu, Jeirry Sumampouw menegaskan harus ada gerakan perlawanan terhadap praktek politik dinasti saat ini. "Kita tidak sedang melarang konsepsi HAM yang melarang orang untuk dipilih, tapi kita juga harus menyadari ada bahaya dengan politik dinasti, jadi kita harus membangun sebuah gerakan perlawanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun