Mohon tunggu...
Doni Uji Windiatmoko
Doni Uji Windiatmoko Mohon Tunggu... -

Manusia belajar adalah yang terbaik. Terbaik dari yang terbaik adalah manusia berilmu dan bermanfaat bagi kehidupannya. Dan, Menulis semoga jadi hobiku.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bush Cuma Sekarat!

27 Juli 2011   17:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:19 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Dok, bagaimana kondisinya? Apa dia bisa tertolong dok?” kataku mencecar setelah dua jam menunggu. Dokter Micky menghela napas dan berkata, “Masih kritis mas”. Kepalaku berputar-putar. Terenyak mendengar kabar kronis itu. Aku tak mau, jika harus ditinggal sendirian. Kejadiannya sungguh begitu cepat. Aku tak mau kehilangannya. Tidak!

###

Saat matahari baru beranjak sejengkal, Aku terbangun. Seperti kucing, aku menggeliat di atas kasur lusuhku. Aku menguap bebas. Tak peduli bau sengak menebar berasal dari mulutku. Kugenggam handphone Nokia-ku. Jam digitalnya tercekat di angka 09.45. Masih pagi ternyata, pikirku.

Kusetel teve tuner. Klik. Dua presenter yang cantik dan rupawan tak malu-malu bercerita tentang gosip teman sesama artis yang selingkuh itu. Ganti saluran. Klik. Acara musik di kotak-kotak itu. The Virgin mengentak panggung dengan lagu terbaru. Disusul Syahrini, tampak syahdu dan sensual ia berdendang lagu Aku Tak Biasa. Klik, saluran diubah. Acara masak-memasak. Klik. Off!

Aku bangkit. Melongok keluar dari jendala kamar indekosku. Di luar, daun-daun pisang melambai-lambai diterpa angin. Dua ekor ayam babon mematuk daun pisang yang masih kecil-kecil. Mereka tampak lahap dan menikmati. Perutku berbunyi. Kelaparan menyerang. Di warung Bu Marsin, aku santap semangkuk soto panas dan es lemon tea. Menyegarkan, dan kenyang. Aku mandi, terus berangkat ke kampus. Kuliah siang.

“Gimana kabar si Bush? Udah segede apa dia?” tanya Rano menjejeriku di kantin.

“Udah segede ini.” Seraya aku melebarkan telapak tangan.

“Telaten benar kamu. Dia bagimu ibarat apa?”

“Dia bagiku seperti kekasih. Teman di kala sendiri. Mirip perempuanku.” begitu jelasku menerawang. Sok puitis. Temanku itu, kulihat cuma geleng-geleng kepala. Pikirnya, aku sudah tak waras. Tapi apa peduliku!

Ketika mentari sedikit condong ke barat, Aku bergegas ke parkiran. Astrea, seonggok tua kuda besi, kustarter. Kukendarai motor itu keluar kompleks. Menyusuri jalan Ki Hajar Dewantara. Sampailah aku di indekos. Anak tetangga indekos, Zahro bilang menyapaku dengan kata-kata terbata-bata “Mas….mas….mas”.

Kuangkat balita itu. Kutimang-timang dia sambil menyanyi lagu Balonku. Ia tertawa gembira. Jemari tangan kanannya memainkan jenggot tipisku. Tangan kirinya menunjuk sesuatu. Mengarah ke kamarku. Aku paham, ia minta aku cepat-cepat membuka kamarku. Sepertinya ia ingin bermain. Seperti tempo itu, ia ketakutan sekaligus senang. Karena Zahro dapat mainan baru, pikirnya. Aku cuma ngekek melihat tingkah lucunya.

Seusai puas bermain, aku akan mengantarkannya pulang. Tapi ia mengelak, saat kugendong. Masih pengin bermain-main, sorot matanya berbicara padaku. Tapi menurutku, hari sudah sore benar, waktunya ia kembali ke rumah. Kumpul bareng abi dan uminya, juga kakak-kakak perempuannya.

###

Sementara di sudut kamar itu, Bush napasnya tersengal-sengal. Soalnya tadi sesosok raksasa perempuan mengejak-ngejar dirinya. Di sampingnya, menurutnya, seperti ayah dari raksasa itu. Ah sama saja! Keduanya membuatku takut. Jantungku berdebar hebat. Seluruh tubuh dan sendi-sendi lolos semua. Syukurlah mereka telah pergi. Meski aku tahu itu hanya sementara. Tapi setidaknya aku bisa bersantai. Mencucup udara bebas dengan damai. Begitu, pikirku.

Ah, raksasa itu sebenarnya baik hati padaku. Tapi entah kenapa aku selalu panas-dingin di dekatnya. Tiap pagi ia sediakan sarapanku. Begitu juga waktu siang dan malam, ia tak lupa hidangkan padaku. Begitu saatku susah bergerak, ia singkirkan penghalang jalanku. Atau ketika aku lupa belum makan, pasti kudicari-carinya. Susah payah ia menemukanku. Bukannya aku ngumpet namun karena aku suka bergerak.

Tapi di lain hati, aku merasa takut. Jiwaku selalu khawatir akan dicelakai olehnya. Kadang-kadang aku lihat ia teriak-teriak. Marah. Tak jarang ia mempermainkanku. Disenggol-senggolnya aku. Disepak-sepaknya aku. Dijungkirbalikkan pun aku pernah merasakan. Raksasa itu usil tapi tak pernah aku marah padanya. Ia penolong dan sahabatku. Aku sayang padanya.

###

“Fan, besok minggu kamu ada acara enggak?” Sabtu sore Rano berkunjung ke indekosku. Ia membawa dua bungkusan. Jus jambu kesukaanku, ia menyeruput jus mangga. Setelah mereka-reka, kuberikan jawaban.

“Sepertinya tidak ada acara No. Ada apa?” jawabku.

“Gimana kalau kita berlibur ke Gua Gong Pacitan?”

“Wah mau banget. Berapa orang No? naik motor?” kataku kegirangan.

“Iya. Kita Touring to de Pacitan! Aku nebeng kamu ya?” bujuk Rano sambil menyeka pinggir bibirnya karena serat mangga es jus tadi.

“Tak masalah” jawabku sekenanya.

Azan magrib membahana. Cakrawala dipenuhi panggilan suci. Garis-garis langit melintang jauh. Sinar merah senja meliputi luas lembaran tempat bulan dan gemintang menampakkan diri. Dua jam kemudian, sehabis isya, aku pulas tidur. Sesaat hendak ke peraduan, aku sempatkan bercerita ke Bush.

“Bush, besok aku pergi sebentar. Kau baik-baik ya. Sebaiknya kau tak usah banyak bergerak. Tentu kau tak mau tertindih kardus berat lagi kan?” begitu nasihatku pada Bush. Lampu kututupi koran. Redup. Remang-remang.

###

Di kamar ini, aku sendirian. Ditinggal sahabatku. Sesaat teman raksasaku itu berlalu bersama temannya itu, aku merangkak naik. Menuju ke sudut kamar. Tempat favoritku menghabiskan waktu-waktu sepi. Berpikir tentang masa depan. Sering kali, saat sahabatku memutar lagu romantisnya Yovie & Nuno. Hatiku melayang-layang. Bunga sakura berguguran. Angin sepoi-sepoi. Aku sadar, aku tahu, aku merindukan sang belahan jiwa. Saat-saat kesepian seperti ini, sebenarnya aku lebih butuh lebih dari sekadar teman.

Biar tak jenuh, aku pun berkeliling. Jalan lambat-lambat menyisir seluruh ruangan. Ups! Ada bola tenis, sahutku girang. Ah, setidaknya aku bisa bermain-main bola. Kuhampiri bola berwarna kuning hijau. Kusundul bola itu dengan kepalaku. Bola menggelinding liar. Kukejar-kejar dengan perasaan riang. Kugenggam lalu kulempar lagi. Memantul-mantul rendah. Hingga di dekat jendela, bola itu berhenti di atas sesuatu berbentuk balok plastik berwarna putih. Di atapnya menjuntai kabel-kabel listrik hitam pekat. Berjejer ujung kabel itu menancap di balok putih itu. Di situ, roll listrik teronggok sendiri. Mungkin ia tak mengerti bahwa bahaya mengancam jiwanya di atas sana. Nyawanya bisa meregang jika berani mendekatinya. Malaikat pencabut roh pun mungkin telah siap. Namun, Bush tak begitu paham apa itu listrik dan bahayanya. Ia juga tak tahu kalau salah satu kabel sobek dan terbuka. Sekarang, keadaannya genting. Sementara, Bush tetap ingin bermain karena tak tahu apa-apa.

“Sepertinya bola itu senang bermain denganku. Buktinya, ia selalu menggodaku. Dan aku pun tergoda. Wah ada kabel-kabel. Bisa dipakai buat panjat-panjatan.” Pikirnya tanpa mengerti bahaya mengancamnya. Ia semakin mendekat. Dekat tinggal beberapa sentimeter. Bush terus melangkah. Tinggal beberapa langkah. Tiga langkah. Dua dan satu langkah. Tiba-tiba, serangan mahadahsyat menggempa dirinya. Bumi gonjang-ganjing. Ia terus bergemetar hebat. Terus, dan terus. Hingga detik ke sekian, ia lemas dan pingsan. Dunia gelap. Menutup terang dengan ruang hitam pekat. Bush kesetrum.

###

Kupandangi terus tingkah Bush. Takut-takut ia melangkah melewati sela-sela dua kakiku. Kepalanya seketika disembunyikan meski jemari kaki bergerak sedikit. Ia amat sensitif pada gerakan. Gerakannya sedikit melambat, tak selincah dulu. Kuangkat Bush. Mengelus-elusnya dari atas ke bawah. Tentu, ia ketakutan dengan kepala diumpetkannya. Dua pasang kakinya bergerak-gerak. Memberontak ke jari-jariku, ia ingin melepaskan diri. Aku pun seperti paham maksudnya. Kulepaskan Bush. Matanya tampak berkedip-kedip berbicara. Seperti mau bilang, ‘Terima kasih’. Bush berjalan tergesa menuju sudut kamarku. Pergi ke tempat yang sering ia berdiam diri. Dari melamun, menguap, hingga buang hajat ia tunaikan saja di situ. Aku sangat khawatir padanya. Untungnya, ia cuma koma. Perlu perawatan seminggu. Dan hari ini, ia tampak membaik. Bush, kura-kuraku. Sahabat kecilku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun