Pada zaman dahulu, di sebuah desa hiduplah satu keluarga. Mereka hidup bahagia walaupun kehidupan mereka sangatlah miskin. Kemiskinan tidak membuat mereka menjadi jahat dan membuat onar. Mereka hidup dengan penuh kebahagian dan senantiasa bersyukur dengan apa yang mereka dapat. Setelah beberapa tahun, lahirlah seorang bayi yang membuat kebahagian mereka bertambah dan si bayi pun diberi nama oleh orang tuanya, Sikantan. Tahun berganti tahun Sikantan pun tumbuh menjadi anak yang berwajah tampan dan mempunyai sifat yang baik hati. Walaupun kehidupan keluarganya tidak berubah, tetapi mereka selalu merasakan kebahagiaan hidup bersama dalam keadaan susah dan miskin. Pada suatu hari, sang ayah bergumam dalam hatinya, "Kasihan sekali anakku ini, belum juga mendapatkan pekerjaan. Padahal dia sudah menjadi seorang pemuda."
Pada malam harinya sang ayah bermimpi. Di dalam mimpinya sang ayah melihat ada bongkahan emas di rumpun bambu. Sang ayah pun menggali-gali bambu itu dan ternyata yang didapatkannya bukanlah bongkahan emas tetapi benda yang mirip dengan emas warnanya. Ayah Sikantan kecewa dibuangnya benda mirip emas itu di pinggir sawah. Bambu muda tempat benda mirip emas tadi diambilnya dan dibawa pulang. "Wahai Ayah, apakah saya boleh merantau ke negeri orang untuk mengubah nasib kita?" "Apakah kamu sudah memiliki bekal wahai anak ku?" tanya ayah Sikantan dengan perasaan sedih. Sikantan pun hanya menundukkan wajahnya. "Wahai anakku, ke manakah engkau ingin merantau?" "Aku ingin merantau ke Malaka, wahai Ayahku, "jawab Sikantan.Sang ayah pun mengizinkan Sikantan pergi merantau ke negeri seberang, meninggalkan kedua orang tuanya. Walau dengan perasaan sedih, sang ayah dan ibu mengikhlaskan putra semata wayang mereka pergi meninggalkan mereka, dengan harapan sang anak berhasil di rantau orang. Singkat cerita, orang tua Sikantan pun mengantarkan kepergian putra mereka ke pinggiran sungai. Dengan menggunakan perahu kecil Sikantan mulai mengayuh perahunya untuk menuju negeri Malaka. Sesampainya di negeri seberang Sikantan pun bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya di negeri yang baru di kenalnya itu. Hari berganti hari, tahun pun ikut berganti. Pada suatu hari datanglah seorang saudagar kaya ke tempat Sikantan bekerja. Sang saudagar terkesan melihat kerja keras Sikantan. Ingin rasanya dia mengajak Sikantan untuk dapat membantunya menjalankan usahanya. "Dari mana asalmu wahai anak muda?" "Saya berasal dari negeri yang jauh di seberang pulau, Tuan."Sang saudagar bertanya tentang keluarganya di kampung. Sikantan pun menjawab bahwa ayahnya telah lama meninggal dan dia pun tidak mengenali wajah ayahnya lagi. Sedangkan ibunya sudah sangat tua tinggal sendirian di kampung. Entah mengapa Sikantan yang belum begitu kaya tega berbohong dengan mengatakan bahwa ayahnya sudah meninggal dunia. Sang saudagar mengajak Sikantan datang ke rumahnya. Sikantan menyanggupi permintaan sang saudagar. Sesampainya di rumah sang saudagar, Sikantan terdiam seribu bahasa karena melihat kemewahan rumah sang saudagar dan juga melihat kecantikan seorang gadis yang lewat di depannya yang ternyata adalah anak sang saudagar. Akhirnya, singkat waktu saudagar tersebut mengangkat Sikantan menjadi menantunya sekaligus memberi kepercayaan kepada Sikantan untuk meneruskan usahanya.
 Pada hari yang telah ditentukan oleh sang saudagar, menikahlah Sikantan dengan anak gadis sang saudagar kaya itu. Pernikahan itu pun dilaksanakan dengan pesta yang meriah. Seluruh warga di negeri Malaka diundang. Beberapa bulan kemudian sang istri bertanya kepada Sikantan, "Wahai suamiku, bagaimana kalau kita menjenguk ibu dan ayahmu? Aku ingin sekali berjumpa dengan mereka." Sikantan langsung teringat dengan kedua orang tuanya. "Oh iya, ayah dan ibuku di Pane bagaimana kabar mereka ya?" Dia tidak menjawab pertanyaan istrinya. Hanya kata itu saja yang diucapkannya. Sikantan merasa malu dengan keadaan kampung halamannya. Kampung halaman istrinya jauh lebih maju dibandingkan dengan kampung halamannya sendiri. Sikantan sebenarnya merindukan kedua orang tuanya tetapi dia malu membawa istrinya ke kampung halamannya. Beberapa tahun setelah ditinggalkan Sikantan merantau ke negeri Malaka, ayahnya sakit keras dan tidak lama kemudian meninggal dunia. Sikantan tidak tahu tentang perkembangan kampung halamannya dan orang tuanya. Tidak seorang pun menyampaikan kabar duka itu karena semua orang tidak tahu di mana dia tinggal di Malaka.Sang istri selalu menanyakan perihal kampung halaman suaminya. Dia ingin sekali mengunjungi mertuanya. "Di manakah letak kampung halamanmu, wahai suamiku?" "Aku tidak ingin kembali ke kampung halamanku,"jawab Sikantan ketus.
Istrinya yang baik hati dan manja terus meminta suaminya untuk membawanya ke kampung halamannya di Sumatera. Akhirnya, dengan berat hati Sikantan menuruti kata istrinya tetapi dengan syarat mereka tidak akan merapat ke dermaga, hanya di tengah laut dekat kampung halaman Sikantan. Sikantan mempunyai anak buah yang jumlahnya banyak dan selalu siap untuk melakukan tugas yang diperintahkannya. Pada saat itu pergilah Sikantan dengan sang istri menuju kampung halamannya bersama-sama dengan anak buahnya. Kapalnya diberi nama Sikantan sama dengan namanya sendiri. Beberapa hari kemudian sampailah mereka di tengah laut yang dekat dengan kampung halaman Sikantan. Seorang kawan lama Sikantan melihatnya beserta rombongannya. Dia langsung berlari untuk memberitahukan kedatangan Sikantan kepada ibunya. "Wahai Bibik, Sikantan datang, Bibik.
Dia datang membawa rombongan, Bibik." Dengan perasaan senang dan haru ibu Sikantan berjalan ke pinggir pantai dengan badan yang sudah bungkuk terseok-seok dan ia tidak menghiraukan lagi sakit di badannya karena sudah menahankan rindu kepada anaknya. Dia juga tidak peduli dengan daun pisang yang terbuka sebagai penutup obat yang menempel di dadanya. Dia tidak menghiraukan sakitnya lagi. Dia merasa sehat walaupun dia berjalan bertumpu pada sebuah tongkat. "Sikantan balek ya," ujar ibu Sikantan. "Iya bik, Sikantan balik ke kampung kita," jawab teman Sikantan. "Di mana anakku Sikantan?" "Mari bik, biar saya antar ke dekat kapalnya." Lalu ibu Sikantan dibantu oleh temannya menuju kapal besar Sikantan. Dikarenakan ibu Sikantan sudah tua dan sakit keras, maka si anak muda menawarkan untuk mengantarnya dengan sampannya ke kapal Sikantan yang melempar sauh di laut lepas. Rasa haru dan rindu akan terobati dengan kedatangan anaknya. Pergilah mereka menaiki sampan menuju kapal Sikantan. Jarak sampan dan kapal Sikantan semakin dekat. Dilihatnya Sikantan dengan gagah dan tampan sedang menunjuk-nunjuk bagian dari kampung mereka, seakan menceritakan masa kecilnya yang bahagia kepada istrinya tercinta. Hati ibunya semakin bahagia melihat anaknya yang sudah sukses dan sudah menikah. Namun ketika sampan sang ibu akan mendekati kapal Sikantan, dengan nada keras dan lantang nada seorang pemimpin,
Sikantan berteriak, "Turunkan layar, kita akan kembali berlayar!" Terkejut si pemuda teman Sikantan mendengar teriakan tersebut. Lalu si pemuda pun berteriak dengan nada yang sangat keras, "Kantan!!! Apakah kau tidak mengenalku? Aku ini tetanggamu, teman bermain semasa kecilmu. Apakah kau tidak ingat?" Sikantan hanya diam dan memperhatikannya, si pemuda pun kembali berteriak, "Ini ibumu Kantan. Dia ingin berjumpa denganmu. "Aku ibumu, Nak, aku membawakan kelelawar panggang kesukaanmu," kata ibunya. Berkata Sikantan dengan nada lantang, "Tidak! Dia bukan ibuku, aku seorang saudagar kaya raya mana mungkin punya ibu yang miskin dan renta seperti dia, ibuku sudah mati."Kata-kata Sikantan bagaikan sambaran petir yang sangat keras membuat semua orang terkejut terutama sang ibu. Badannya bergetar, jantungnya berdegup kencang, hatinya hancur. Air mata menetes di pelupuk mata si ibu. Dia menundukkan wajahnya menahan sakitnya perkataan anaknya, ia tidak menyangka anaknya yang ia rindukan dan ia cintai selama ini akan tega berkata seperti itu. Sikantan berkata seperti itu dikarenakan dia malu untuk mengakuinya sebagai ibunya di hadapan sang istri.
"Abang jangan seperti itu. Kalaupun memang itu ibumu, ia harus kita hormati. Aku siap menerima dan mengakuinya sebagai ibuku juga, Bang," lirih sang istri. "Tidak! dia tetap bukan ibuku. Hei wanita tua renta, jangan pernah kau mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu yang miskin dan penyakitan seperti engkau," jawab Sikantan lantang dan dengan nada tinggi. Si istri hanya terdiam mendengar perkataan Sikantan, karena mau tidak mau dia harus bisa memercayai perkataan Sikantan sebagai suami. Dengan perasaan yang bergemuruh dan hancur, ibu Sikantan dan si pemuda kembali menuju ke rumah mereka. Ketika sampai di Pane di daerah Tanjung Lumbalumba, si ibu turun dari sampan dan berdiri melihat kapal Sikantan yang siap berlayar kembali ke negeri Malaka. Menetes kembali air mata di pelupuk matanya.
Pupus sudah harapan rindu yang akan terbalaskan antara anak dan ibu yang sudah lama terpisah. Bayangan masa lalu yang indah seakan hilang diterpa angin pantai begitu saja. Suara ombak seakan menambah kehancuran hati si ibu. Si ibu pun berkata dengan nada bergetar.
"Durhakalah anakku ini." Mendengar kata itu si pemuda pun berkata, "Sudah berubah Sikantan, Bik. Sebaiknya jangan dilaknat menjadi durhaka anakmu, Bik. Mana tahu esok hari hatinya berubah," tutur si pemuda "Tidak!" kata si ibu dengan nada keras. "Jika kau adalah anakku, dan jika kau benar-benar Sikantan anakku, walaupun aku sudah tua, dadaku ini akan memancurkan air susunya. Dari sinilah kau dibesarkan," lirih sang ibu dengan nada keras dan mengutuk. Terpancurlah seketika air susu si ibu. Langit menjadi gelap dan kilat sambarmenyambar. Ombak mulai kencang menghadang kapal Sikantan. Kapal Sikantan terombangambing diterpa badai laut yang siap melahap kapal itu. Seakan-akan alam tahu Sikantan adalah anak yang durhaka pada ibunya. Seketika itu pula kapal Sikantan karam tenggelam ditelan laut. Ibu Sikantan hanya bisa terduduk dan menangisi perbuatan Sikantan yang telah durhaka terhadapnya. Pada akhirnya kapal Sikantan pun menjadi pulau yang sekarang ini disebut pulau Sikantan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI