Sebelah timur Sleman, di dusun Dalangan, Tirtomartani, Kalasan, diantara candi candi tegak berdiri, aroma kopi dari lereng Sumbing menembus sore yang lembap. Di balik kepulan asap sangrai, tersimpan kisah tentang tangan-tangan yang bekerja sunyi di gunung dan kesadaran yang tumbuh pelan di kota.
Aroma yang Menguar di Dalangan
Pada petak ukuran delapan kali delapan dapur panggang Sasana Krida Dongeng Kopi Roastery, Ayuri Murakabi menatap jarum suhu yang merangkak pelan, seperti nasib petani di gunung yang naik sedikit demi sedikit selepas kenaikan harga kopi beberapa waktu belakangan. Beberapa detik lagi, biji-biji kopi dari Sumbing mencapai titik sempurna antara matang yang pas atau bablas.
Ia menarik tuas, dan letupan kecil terdengar, mengabarkan bahwa perjalanan panjang biji kopi dari lereng kini berakhir di tungku rendang Kalasan.
"Petani sudah mandi keringat di gunung," katanya perlahan. "Tugas kami memastikan peluh itu tidak menguap begitu saja."
Ayuri bukan cuman peracik rasa. Ia perantara antara tanah dan cangkir, antara kerja keras dan kesadaran.
"Kalau salah sangrai," katanya lagi, "dedikasi hari hari mereka bisa tamat di sini."
Petani dari Lereng yang Tak Pernah Mengeluh
Di kaki Sumbing, Bardiman sudah bangun sebelum ayam berkokok. Kabut masih menempel di daun kopi, dingin seperti sisa doa malam. Ia memeriksa ranting satu per satu, mengusap daun seolah berbicara dengan makhluk hidup yang mudah tersinggung.
"Kopi ini sangat aleman," katanya sambil tersenyum. "Sehari saja tak disiram, rasanya bisa berubah."
Negeri ini punya lebih dari sejuta hektar kebun kopi, tapi hampir semuanya ditanam oleh petani kecil seperti Bardi.
Mereka menanam, memetik, mengeringkan, lalu menunggu tengkulak datang dengan harga yang tak bisa mereka tentukan.
Harga biji basah sempat naik sampai lima belas ribu per kilogram. Tapi setelah disangrai dan dikemas di kota, harganya melonjak menjadi dua ratus lima puluh ribu. Di kedai yang sekarang banyak mendaku sebagai slow bar, secangkirnya bisa dijual tiga puluh lima ribu. Angka-angka itu seperti lelucon yang tak lucu, tapi Bardi tetap tersenyum, mungkin karena hanya itu yang tersisa untuk ia miliki.