Mohon tunggu...
H.D. Silalahi
H.D. Silalahi Mohon Tunggu... Insinyur - orang Tigarihit

Military Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Leg Kedua Pemerintahan Jokowi, Deja Vu Sindrom 2 Periode SBY

29 Oktober 2020   14:22 Diperbarui: 30 Oktober 2020   03:03 1301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SBY & Jokowi (sumber : Kompas.com)

Bulan ini, tepatnya pada tanggal 20 Oktober 2020, Pemerintahan Presiden Joko Widodo genap berusia 1 tahun. Kendatipun tidak ada aturan tertulis, sepertinya sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia melakukan evaluasi performa seorang pemimpin Negara maupun kewilayahan seperti Presiden, Gubernur dan Bupati. 

Tidak ada bedanya dengan tradisi mengevaluasi pencapaian seorang Presiden dalam 100 hari pertama pemerintahannya.

Ada asumsi menarik yang dapat ditarik untuk menilai pencapaian Jokowi di periode ke-2 ini. Melihat pencapaian dan kinerja Jokowi saat ini, rasa-rasanya seperti melakukan napak tilas perjalanan Pemerintahan Presiden SBY di periode ke-2. 

SBY dan Jokowi yang merupakan Presiden produk hasil pemilihan langsung ini, menjejakkan kaki di periode ke-2 Kepresidennya dengan kemenangan yang meyakinkan. 

SBY dengan perolehan suara di angka 60 persen dan Jokowi di angka 55 persen. Boleh dibilang kedua Presiden ini dianugrahi legitimasi yang meyakinkan dari masyarakat Indonesia.

Bukan hanya itu, di periode keduanya, SBY dan Jokowi mampu menggalang dukungan mayoritas di parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).

Artinya dengan modal yang sedemikian besar, menjadi hal yang wajar apabila masyarakat mengharapkan kedua Presiden ini mampu melakukan langkah-langkah besar untuk mewujudkan visi dan janjinya kepada masyarakat Indonesia.

Kendatipun para politikus dan pengamat politik sering memposisikan SBY dan Jokowi sebagai pihak yang berseberangan, tetapi tidak dapat dipungkiri, seringkali manuver politik, pilihan kebijakan dan performa pemerintahan kedua Presiden sangat mirip. 

Entah disengaja atau tidak, kemiripan ini, dipandang dari perspektif pembangunan nasional jangka panjang merupakan satu hal yang positif, membuktikan bahwa meskipun rezim berganti, eksekusi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) yang sudah ditetapkan untuk 25 tahun kedepan tetap berkesinambungan.

Dalam periode pertama pemerintahannya, SBY dan Jokowi cukup beruntung dianugrahi sosok seorang Jusuf Kalla sebagai wakil Presiden. 

Dengan latar belakang sebagai politikus yang disegani di Partai Golkar, ditambah lagi modal pengalaman di birokrasi kala menjabat sebagai Menteri di era Pemerintahan Gus Dur dan Megawati, membuat Jusuf Kalla tampil percaya diri sebagai Wakil Presiden. 

Saat dibutuhkan, Jusuf Kalla mampu berperan sebagai problem solver dan menambal kekurangan Presiden SBY dan Jokowi.

Memiliki Wakil Presiden yang mumpuni cukup mengungkit performa SBY dan Jokowi di 5 tahun pertama pemerintahannya. Tidaklah mengherankan, periode pertama SBY ditandai dengan pencapaian yang mengesankan. 

Proses perdamaian di Aceh, penanganan pasca bencana Tsunami yang berhasil di Aceh dan tidak lupa, program konversi BBM jenis minyak tanah ke LPG adalah beberapa legacy yang ditorehkan SBY di periode Pertama dalam pemerintahannya.

Tidak mau ketinggalan, di periode pertama Jokowi menjabat sebagai Presiden, JK mampu menunjukkan kapasitasnya sebagai politikus ulung. Mengawali pemerintahan dengan modal minoritas di parlemen, JK berperan sebagai bumper Presiden Jokowi dalam menghadapi jebakan-jebakan politik di DPR. 

Kepiawaian ini membuat Jokowi mampu mencatatkan performa hebat di periode pertama. Pembangunan infrastruktur yang masif seperti bandara, pelabuhan, bendungan dan infrastruktur jalan menjadi pencapaian yang dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia.

Performa di Periode Kedua Jokowi dan SBY

Pencapaian hebat di periode pertama SBY dan Jokowi sepertinya hilang tidak berbekas di periode kedua pemerintahannya. 

Menghadapi berbagai hambatan dan tekanan dari DPR di periode pertama ketika menjabat sebagai Presiden, membuat SBY dan Jokowi memilih jalan aman di periode kedua jabatannya yakni berkompromi dengan partai koalisi demi menggalang kekuatan mayoritas partai di parlemen. 

Beberapa di institusi penting di negara ini serta posisi Menteri diberikan kepada kader partai. Tentu publik belum lupa, di periode kedua pemerintahannya SBY menggalang koalisi partai di parlemen dalam forum yang dinamakan Setgab (Sekretariat Gabungan). 

Penggalangan koalisi besar membuat posisi SBY sangat kuat di parlemen. Barisan oposisi praktis hanya diisi oleh partai Gerindra dan PDIP.

Hal yang sama juga diikuti oleh Jokowi setelah mencatatkan kemenangan di Pemilihan Presiden Tahun 2019. Presiden Jokowi memilih berkompromi dengan partai. 

Koalisi mayoritas yang didapatkan Jokowi di DPR harus dikompensasi dengan menyediakan posisi Menteri bagi kader partai pendukung. Tidak cukup hanya dengan itu, Jokowi juga menempatkan barisan pendukungnya di posisi Wakil Menteri dan jabatan jabatan strategis di BUMN. 

Tidak mengherankan, pilihan kompromistis ini menyingkirkan nama-nama profesional mumpuni seperti Susi Pudjiastuti, Ignatius Jonan, Archandra Tahar dan Darmin Nasution yang memang mampu mencatatkan performa hebat kala dipercaya sebagai menteri.

Kendatipun demikian, memiliki koalisi mayoritas di parlemen, ternyata tidak memberi jaminan kinerja yang hebat. Di periode keduanya SBY dan Jokowi malah kelihatan seperti dipaksa bekerja sendirian. 

Ada hal yang membedakan Menteri yang berlatar belakang profesional dengan menteri yang berasal dari partai. Tidak seperti Menteri yang berasal dari kalangan profesional atau birokrat, loyalitas Menteri yang berasal dari partai politik terlihat terpecah dan tidak fokus untuk memenuhi target kinerja yang sudah ditetapkan Presiden, antara mematuhi target Presiden atau kepentingan Ketua partai yang menaunginya.

Perebutan kepentingan di kabinet berdampak dengan performa pemerintah yang melorot. Tambahan pula, performa melorot ini makin lengkap dengan keberadaan Wakil Presiden yang tidak banyak membantu performa kedua presiden ini. Sosok Boediono dan Maaruf Amin terlihat pasif dan tidak memiliki inisiatif menanggung sebagian beban Presiden.

Performa yang melorot di periode kedua SBY dan Jokowi ditandai dengan kritik hebat dari masyarakat. 

Masyarakat menyindir lambatnya respon pemerintahan SBY di periode keduanya dalam menangani berbagai isu dan masalah nasional dengan sebutan Negeri Auto Pilot. Kehebatan dan performa gemilang di periode pertama Presiden seperti hilang tidak berbekas di periode keduanya.

Periode Kedua Jokowi

Kendatipun begitu, menilai buruk setahun pemerintahan Presiden Jokowi rasa-rasanya merupakan kesimpulan yang buru-buru. 

Pandemi Covid-19 yang menerpa seluruh dunia dan tidak terkecuali Indonesia, membuat Pemerintah harus mengalihkan sejenak prioritas pembangunan ke sektor kesehatan dan ekonomi yang terdampak langsung.

Sumber : Litbang Kompas
Sumber : Litbang Kompas

Tetapi seperti yang dicatat Litbang Kompas dalam rilis survey setahun pemerintahan Jokowi-Maruf, Pemerintah harus waspada terhadap fakta yang terungkap bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah Jokowi menurun.

Dalam survey tersebut, hanya menyisakan 45,2 persen responden yang puas terhadap pemerintah. Menurun drastis dibandingkan hasil-hasil survey sebelumnya.

Selain itu, penanganan pandemi covid19 yang cukup buruk dan prosedur pembentukan UU Cipta Kerja yang dirasa banyak pengamat menabrak kaidah ketatanegaraan, cukup menyumbang persepsi buruk terhadap kinerja pemerintah. 

Presiden Jokowi sendiri sudah mulai gerah dengan pola komunikasi para pembantunya dalam menjelaskan gambaran kebijakan pemerintah terhadap masyarakat. 

Tambahan juga, legitimasi yang kuat di parlemen sedikit banyak membuat Pemerintahan Jokowi kelihatan "over convidence" dalam memilih opsi kebijakan. Perilaku ini seperti mengulangi apa yang dilakukan SBY di periode keduanya. 

Padahal sebagai produk hasil pemilihan langsung, Presiden Jokowi harus lebih memprioritaskan kepentingan masyarakat sebagai pemberi amanah terhadap Presiden.

Tetapi, penulis masih optimis, disisa 4 Tahun Periode Keduanya, Presiden Jokowi mampu melaksanakan konsolidasi di kabinet dan mengulangi performa hebat di periode pertama. Saat ini, reformulasi anggota kabinet dan menjaga kebebasan demokrasi adalah kunci meraih kepercayaan masyarakat. 

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun