"Maka setiap kali menyadari diri kita dihadapan kebesaran dan keagungan Tuhan. Betapa kecil, tak berdaya dihadapan ke Mahaan-Nya, harusnya mengukir kerendah hatian kita sehingga tak jumawa dan sombong diri."
Terlahir 1990. Setelah berumur 30 tahun lebih, dan dikenal luas perannya menemani banyak "orang" bernyanyi memuji Tuhan, suatu hari saya dengar komentar negatif tentangnya, tentang lagu "Kasih Setia Mu", ciptaan Pdt. Niko Njotorahardjo.
Negatif! Bisa dibilang demikian, bila mendengar komentar bahwa, "Lagu itu diciptakan oleh orang yang tak belajar teologi." Lalu disusul semacam fatwa, "Sekarang setelah tahu teologi, jangan lagi nyanyikan lagu itu! Tapi ..." Â
Ternyata ada tapinya. Tapi dimaksud menurut sang komentator, jika hendak menyanyikannya maka ada bagian lirik yang perlu diubah. Lalu diusulkannya bagaimana perubahan lirik itu.
Apa persoalannya? Sang komentator tak setujuh lagu itu digunakan seorang pemimpin pujian saat mengawali ibadah. Sebelum berkhotbah, ia berkomentar demikian.
Titik persoalan baginya terletak pada lirik, "Siapakah aku ini Tuhan?". Katanya tak tepat jemaat bertanya pada Tuhan siapakah aku ini? Harusnya tuntas mahfum siapa dirinya di hadapan Tuhan. Seharusnya bukan bertanya, tapi bersyukur jadi biji mata Tuhan. Singkatnya, kalau Anda bertanya demikian berarti tidak paham teologi! Benarkah?
Memang benar bahwa pengenalan yang benar akan Allah - teologi yang benar - bermuara pada pengenalan diri yang benar sebagai manusia ciptaan Nya. Seorang hamba Tuhan bernama John Calvin dalam bukunya Institutes of the Christia Religion berkata, "Tidak seorang pun yang dapat mengenal dirinya sampai ia kemudian berpaling pada perenungan akan Allah, yang didalamnya ia memiliki dan menjalani kehidupannya."
Namun, benarkah lirik lagu itu harus diculasi demikian? Apakah komentar bahwa lagu itu diciptakan orang yang tak belajar teologi adil bagi pengarangnya?
Menilai sebuah lagu rohani Kristen dari liriknya, butuh prinsip yang benar. Sang komentator mungkin bermaksud baik dengan komentarnya. Mungkin maksudnya, kita perlu menilai dengan baik sebuah lagu rohani dari liriknya. Bahwa lirik harus menjadi pertimbangan utama sebelum aspek musikalitas yang lain. Ini prinsip penting. Mempertahankan sebuah lagu hanya karena alunan nadanya enak didengar, tapi mengabaikan lirik yang baik dan benar menurut alkitab bukanlah sikap yang bijaksana. Namun tak cukup hanya itu.
Prinsip lain yang juga penting diperhatikan adalah bahasa puitis dalam sebuah lagu. Setiap jenis sastra (genre) memiliki karakteristik tersendiri dan menuntut cara penafsiran tersendiri. Ini sepertinya tak diperhatikan sang komentator.