Mohon tunggu...
Don Zakiyamani
Don Zakiyamani Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi Senja

personal web https://www.donzakiyamani.co.id Wa: 081360360345

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Yang Dilupakan Jokowi

19 Agustus 2019   17:52 Diperbarui: 19 Agustus 2019   17:56 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum lagi pelanggaran HAM 98 yang hanya dijadikan komditi politik jelang pilpres. Alasan utama pemilih pada pilpres 2014 memilih Jokowi karena Prabowo dianggap pelanggar HAM 98. Tapi isu itu hanya santer ketika jelang pilpres.

Jokowi tampaknya tidak menganggap penting kasus pelanggaran HAM dan kebebasan sipil. Padahal persoalan ini merupakan syarat utama bagi negara penganut demokrasi. Tidak terkecuali Indonesia.

Menariknya lagi, meski PDIP kini berkuasa bersama Jokowi, namun kasus kudatuli (kerusuhan dua puluh tujuh juli) 1996 pun tidak diungkap. Padahal, pada era SBY, aktivis PDIP dengan gencar mempersoalkan kasus tersebut.

Harusnya dengan kekuasaan yang sedang dimiliki kasus ini mudah diungkap. Rasanya mustahil Jokowi mau serius mengungkap kasus pelanggaran HAM Semanggi I dan II, Tangjung Priok, Talang Sari, apalagi tragedi 1965.

Lah, urusan pelanggaran HAM yang dialami anggota partai sendiri sampai sekarang tidak diungkap. Itu artinya kasus pelanggaran HAM hanya jadi komoditas di tahun politik. Buset.

Terima atau tidak, begitulah sikap politik Jokowi dan partainya terhadap pelanggaran HAM di masa lalu. Mereka lupa bahwa keluarga korban kudatuli, Semanggi I dan II, bahkan keluarga korban konflik Aceh masih menuntut keadilan.

Lebih luas lagi, pelanggaran HAM masih kerap terjadi di tengah masyarakat. Misalnya soal kekerasan terhadap penganut agama dan kepercayaan yang berbeda. Kasus pelanggaran HAM ini tidak bisa dianggap sepele.

Data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS, sepanjang 2014-2018, menyebutkan sedikitnya 488 peristiwa pelanggaran kebebasan beribadah dan berkeyakinan terjadi. Ini menarik karena terjadi di periode pertama Jokowi.

Data menarik lainnya disampaikan data SETARA Institute. Menurut mereka, setidaknya 40 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan melibatkan aparat. Harusnya Jokowi lebih memperhatikan persoalan ini.

Kasus pelanggaran atas nama agama dan keyakinan perlu penanganan khusus. Sebabnya konflik horizontal ini berpotensi memecah keutuhan negara. Mereduksi peran dan eksistensi negara.

Arus globalisasi tak mungkin dihindari. Digitalisasi memudahkan informasi dan provokasi didapat. Karenanya, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf harusnya paham situasi ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun