Kadang, ketika sinar matahari mulai menembus celah-celah atap genting, sering kita dengar tangisan lirih dari anak kucing yang sedang mencari ibunya.Â
Tapi tidak jarang tangisan itu hanyalah gema dari nasib tragis, ditinggal sendiri di jalanan, terlunta-lunta tanpa pelukan hangat atau makanan.Â
Fenomena membuang anak kucing telah menjadi kenyataan pahit di beberapa daerah di Indonesia, dari kawasan pemukiman padat hingga pinggiran kota.Â
Meskipun angka pastinya sulit ditelusuri dengan akurat, cerita-cerita dari shelter lokal dan relawan menunjukkan, kasus pembuangan ini bukan insiden tunggal, melainkan indikasi krisis kesejahteraan hewan yang butuh perhatian luas.
Di sebuah kota kecil, misalnya, seorang relawan menyebutkan bahwa dalam satu minggu saja ada 5-7 anak kucing dibuang di tepi jalan atau di depan rumah warga.Â
Di daerah lain, komunitas penyayang hewan mengisahkan bahwa setelah hujan lebat, mereka menemukan puluhan kitten (anak kucing) basah kuyup dan menggigil, tak tahu harus ke mana.Â
Salah satu shelter di kota besar menyebut kondisi keuangannya kerap menipis karena harus menampung banyak kucing terlantar yang datang secara tiba-tiba.Â
Kejadian-kejadian seperti ini menjadi sinyal bahwa perilaku membuang anak kucing sudah terlanjur hidup dalam bayang-bayang masyarakat, baik karena ketidaktahuan, ketidakpedulian, atau motivasi pragmatis semata.
Mengapa tindakan membuang anak kucing itu tidak baik? Menurut penulis, ada lima alasan mendalam, yang juga berakar dari perspektif tanggung jawab sebagai pemilik kucing, mengapa praktik ini harus dihentikan. Alasan tersebut adalah:
Pertama, dampak langsung terhadap kesehatan dan keselamatan anak kucing.
Kucing bayi yang dibuang di lingkungan terbuka sangat rentan terhadap kelaparan, dehidrasi, cuaca ekstrem, serangan predator, atau kecelakaan lalu lintas.Â
Tidak semua anak kucing kuat bertahan sendirian. Banyak yang mati kelaparan, terserang parasit, atau mengalami luka berat tanpa perawatan.
Kedua, Meningkatnya risiko penyakit zoonosis dan penularan hewan-ke-hewan
Kucing liar maupun terlantar cenderung tidak mendapat vaksinasi atau perawatan medis. Bila dibuang tanpa kontrol, mereka bisa menjadi vektor penyakit seperti cacing, jamur kulit, atau infeksi bakteri yang bisa menular ke kucing lain maupun (dalam kasus tertentu) manusia.Â
Lingkungan padat pemukiman sangat rawan menyebarnya penyakit dari populasi hewan tidak sehat.
Ketiga, Beban sosial dan ekonomi bagi masyarakat dan lembaga peduli hewan
Masyarakat harus menanggung konsekuensi, sampah, bau, kencing, berceceran, serta konflik warga yang menolak keberadaan kucing liar di lingkungan mereka.Â
Shelter dan relawan menjadi pihak yang harus menyerap lonjakan jumlah hewan terlantar, padahal sumber daya mereka terbatas. Biaya pakan, obat-obatan, tempat kandang menjadi beban yang luar biasa.
Keempat, Menambah populasi kucing liar yang tidak terkendali
Tanpa intervensi, anak kucing yang dibiarkan hidup akan tumbuh dewasa dan berkembang biak sendiri, memperparah populasi kucing liar di lingkungan.Â
Semakin banyak kucing liar, semakin sulit pengendalian ke depan.Â
Ini menciptakan siklus yang tak berujung, semakin banyak pembuangan, semakin banyak populasi liar, semakin banyak konflik lingkungan, semakin banyak pembuangan.
Kelima, Bertentangan dengan prinsip kepemilikan yang bertanggung jawab
Jika seseorang memutuskan untuk memelihara kucing, maka sejatinya ia menanggung nasib, kesehatan, dan kesejahteraan hewan itu serta keturunannya.Â
Membuang anak kucing adalah bentuk pengingkaran terhadap ikatan moral tersebut. Pemilik bertanggung jawab bukan hanya untuk kucing saat sehat dan lucu, tetapi juga ketika ia menghasilkan keturunan.Â
Tanggung jawab itu mencakup melakukan sterilisasi, memberikan perawatan, dan mencari solusi etis (adopsi atau penyerahan ke shelter), bukan melepaskan begitu saja.
Dalam kerangka kepemilikan bertanggung jawab, salah satu langkah praktis dan etis yang harus digalakkan adalah sterilisasi (spaying/neutering) untuk kucing.Â
Sterilisasi adalah metode terbukti untuk menekan laju reproduksi yang tidak terkontrol. Banyak kota di Indonesia kini mulai menjalankan program kekal (sterilisasi massal, gratis atau bersubsidi). Misalnya, beberapa kota menyediakan klinik keliling atau bekerja sama dengan organisasi kesejahteraan hewan untuk mensteril kucing jalanan dan milik warga.Â
Program semacam ini efektif mengurangi angka kelahiran keturunan tanpa pemilik, sehingga populasi hewan terlantar makin bisa dikendalikan.
Namun, sterilisasi saja tidak cukup jika perilaku masyarakat tetap memberikan pakan secara bebas kepada kucing liar tanpa pengendalian.Â
Ada pendapat luas bahwa "memberi pakan" adalah tindakan baik, tapi sebenarnya bisa menambah populasi.Â
Ketika kucing liar diberi makanan secara rutin, itu memfasilitasi kelangsungan hidupnya dan mendukung reproduksi lebih banyak anak kucing.Â
Jika kemudian anak-anak itu dibiarkan hidup tanpa pemilik, mereka akan menjadi tambahan beban lingkungan. Karena itu, sebaiknya masyarakat yang peduli memilih untuk mengadopsi langsung atau mengirim ke shelter atau relawan, bukan sekadar memberi makan liar tanpa batas.
Adopsi adalah pilihan etis, seseorang yang bersedia menerima anak kucing ke rumah mereka, merawatnya dan bertanggung jawab hingga akhir hayatnya.Â
Jika tidak mampu, maka cobalah berkoordinasi dengan shelter atau komunitas pecinta hewan agar mereka menyerap hewan tersebut.Â
Dengan demikian, anak kucing yang seharusnya dibuang dapat diselamatkan dan dipelihara dalam lingkungan yang layak.
Kini saatnya kita bergerak bersama, bukan hanya menyuarakan, tetapi juga bertindak nyata.Â
Doronglah revisi Undang-Undang daerah atau regulasi Pemda agar urusan kesehatan hewan menjadi urusan wajib di tingkat kabupaten/kota, bukan lagi urusan pilihan.Â
Saat ini masih ada kebijakan daerah yang menganggap kesehatan hewan sebagai urusan pilihan, akibatnya banyak kabupaten/kota tidak memiliki program keswan terstruktur atau anggaran memadai.Â
Jika regulasinya mengharuskan Pemda menyediakan pelayanan kesehatan hewan, sterilisasi, vaksinasi, penanganan hewan terlantar, maka tanggung jawab bersama menjadi bagian dari sistem pemerintahan.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian pun menyadari hal ini. Pada Desember 2023, Kementan menggodok revisi UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan agar lebih relevan terhadap kondisi mutakhir. Â
Revisi ini diharapkan memperkuat hak dan kewajiban daerah dan mengurangi celah kebijakan teknis yang rentan tumpang tindih.
Kata Mahatma Gandhi, "kebesaran suatu bangsa dan kemajuan moralnya dapat dinilai dari cara hewan-hewannya diperlakukan." Tidaklah berlebihan jika kita mengambil kutipan ini sebagai panggilan moral, negara besar bukan hanya soal kekuatan militer atau ekonomi, melainkan juga seberapa manusiawi kita bersikap terhadap makhluk kecil tak bersuara.Â
Jika bangsa ini ingin maju tak hanya secara material, tetapi juga secara etik, maka penghentian pembuangan anak kucing hanyalah salah satu tolok ukurnya.
Kita tidak bisa lagi berdiam diri menyaksikan kasus demi kasus pembuangan anak kucing.Â
Mari edukasi keluarga, tetangga, sekolah, dan media agar memahami bahwa hewan adalah makhluk hidup, bukan benda konsumsi. Program sterilisasi massal (baik dengan dukungan pemerintah, yayasan, atau komunitas), sosialisasi adopsi, pembuatan shelter lokal, serta regulasi Pemda yang menaungi kesehatan hewan menjadi rangkaian strategi tak terpisahkan.
Kita punya kewajiban moral, menghentikan pembuangan anak kucing, melebarkan jalinan kepedulian di masyarakat, dan memperkuat regulasi agar hewan terlantar tidak lagi menjadi beban individu semata, melainkan persoalan publik yang ditanggapi dengan serius.Â
Apabila setiap warga bertindak sedikit lebih bijak, memilih adopsi daripada dumping, mendukung sterilisasi, mendorong regulasi, maka satu hari nanti kita bisa menyaksikan perubahan nyata, jalanan yang tidak lagi sunyi oleh tangisan anak kucing, melainkan penuh wujud hidup yang diperlakukan dengan kasih.
Mari kita hentikan membuang anak kucing sekarang juga, demi bangsa yang lebih besar dalam hal moral, jiwa, dan rasa kemanusiaan. Semoga!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI