Mohon tunggu...
Farhandika Mursyid
Farhandika Mursyid Mohon Tunggu... Dokter - Seorang dokter yang hanya doyan menulis dari pikiran yang sumpek ini.

Penulis Buku "Ketika Di Dalam Penjara : Cerita dan Fakta tentang Kecanduan Pornografi" (2017), seorang pembelajar murni, seorang penggemar beberapa budaya Jepang, penulis artikel random, pencari jati diri, dan masih jomblo. Find me at ketikanfarhan(dot)com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Tombol Kembali

22 Februari 2019   06:51 Diperbarui: 22 Februari 2019   07:27 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : dokumentasi pribadi

Cerita tentang masa lalu memang tidaklah menyenangkan. Ah, mungkin sudah saatnya mencari pelarian. Akhir-akhir ini, aku sering ke warung kopi untuk sekedar menenangkan diri. Masa tugas wajibnya di Gresik lah yang menjadikan itu kebiasaan untuknya. Aku sudah mulai akrab dengan sensasi pusing setelah minum segelas.

Sembari mengerjakan tugas laporan kerja, gawaiku pun berdering. Ada pesan singkat dari seorang teman. Saat dibuka, muncul dari Siwi, teman kelompok saat koass dulu. Kami akrab sekali karena jarak absen kami berdekatan. Kami sering bertukar cerita tentang apapun. 

Tentang permasalahan selama koass, tentang keluhan di tempat tertentu, bahkan sampai tentang cinta. Ya, kita hanya sebatas teman, kok. Tidak ada pikiran untuk menjauh, berhubung Siwi sendiri lebih tua dariku.

"Halo, Gani! Gimana kabarnya di sana?"

Dari pesan itu pun, aku mulai kembali merajut tali silaturahmi yang sempat putus karena jarak. Ya, memang kami sempat membenci di stase-stase awal. Itu terjadi karena kebodohanku untuk bersikap. Meskipun, akhirnya, kami akhirnya kembali mengulang itu dan semakin akrab selama koass berlangsung. 

Muncul berbagai pertanyaan, tentang pacar barunya yang dia kenal saat pindah kosan, atau tentang suka duka selama tugas wajibnya di Jogja. Jadwal tugas wajibnya 3 bulan lebih dulu dari aku, karena permasalahan yang aku alami di satu stase selama koass.

Percakapan selama hampir 10 menit itu membuka memori lama yang aku sempat hapus selama berbulan-bulan setelah uji kompetensi. Kebanyakan dari memori itu memanglah buruk, sehingga aku sudah berniat untuk tidak mau mengingatnya lagi. Bahkan, aku sendiri sampai keluar dari grup percakapan khusus kelompok koass dulu. 

Awalnya, sempat sedih dan merasa bodoh karena keluar dari grup itu. Namun, perlahan-lahan, aku berpikir bahwa itu jalan yang terbaik bagiku. Toh, jika memang kangen, aku bisa interaksi personal ke beberapa anggota dari kelompok itu.

Rekaman memori itu semakin muncul ketika Siwi menanyakan tentang rinduku akan dua nama, Lintang dan Sani. Dua orang yang menggelapkan masa koassku. Yang satu, memang dijauhi kebanyakan cowok di kelompokku meski sayangnya, aku yang jadi tumbal terbesar karena sering dapat jatah untuk jaga bareng dia. Belum lagi, kata-katanya yang sering membuatku tersinggung. 

Ataupun, sosok Sani yang terkenal sebagai raja gosip atau lebih tepatnya, dari bahasa a la dianya, ghibah. Dia memang kenal aku sebelum masa koass, dan selalu menceritakan beberapa tingkah bodohku kala itu. Belum lagi, keburukan yang aku lakukan saat itu, membuatku berpikir untuk marah saja. Faktanya, jika aku punya keberanian untuk main fisik, dua orang itu bisa menjadi tumbal.

Memang sih, ada bagian memori yang indah tentang koass. Buktinya, aku sampai beranikan diri untuk berfoto bareng dengan mereka satu hari sebelum mereka pelantikan dokter. Aku pun masih akrab dengan beberapa orang di kelompok itu. Namun, melihat kembali rekaman memori itu, aku kebanyakan melihat hal yang buruk. 

Melihat dari stase ke stase, sudah tak terhitung berapa kali aku merasa tidak berguna, berapa kali juga aku merasa tidak nyaman bersama mereka. Dan, jika ditarik lagi, memang semuanya itu bukan salah mereka. Bukan salah Lintang, bukan juga salah Sani. Namun, salah orang yang aku hadapi di cermin samping kursiku itu. Ya, aku sendiri. Atau lebih tepatnya, sifat inersia yang tinggal di diriku dengan kuatnya.

Aku jadi ingat sindiran keras dari Yani saat jaga bareng di satu stase.

"Jangan pernah bilang kita yang membencimu, Gan. Kamu memang yang tidak nyaman dengan kita, kan?"

Tidak disangka, rekaman memori tadi membuat air mata sedikit menetes. Sampai mas-mas pelayan warung kopi pun sempat heran saat menyajikan gelas kopi kedua yang aku pesan lagi. Harus aku akui, kali ini, segelas kopi belum cukup untuk menghapus kenangan itu semua. 

Di saat gelas kedua itu aku seduh, baru aromanya aku biarkan menyentuh langit-langit mulut. Dan, dari situ, aku mulai muncul satu pikiran tentang masa lalu itu.

Aku mulai berpikir bagaimana jika di dunia ini memang ada tombol untuk kembali. Aku ingin kembali ke waktu di saat kita buka puasa bareng di sebuah restoran. Itu adalah momen dimana kita pertama kali bertemu dan mengakrabkan diri sendiri. Saling mengenal satu sama lain, dari kelebihan ataupun kekurangannya masing-masing. Bagaimana jika di kala itu aku yang mulai mengubah pikiran buruk itu? Dari yang awalnya beranggapan negatif ke beberapa orang, justru tidak berpikir apapun dan menganggap semuanya hanyalah masa lalu.

Mungkin, di saat itu, aku harus berpikir seperti Yani, masa bodoh dengan apapun. Atau, sudah punya prinsip kayak David. Ah, memang banyaklah yang ingin aku ubah kala itu.

Bisa saja masa koassku selama 2 tahun akan berubah drastis. Aku dan Lintang justru tidak saling membenci lagi. Atau, justru, bisa saja aku dan Tika malah pacaran seperti apa yang aku bayangkan dulu di awal koass. Aku sempat suka dengannya karena auranya yang mengingatkanku akan sosok Nanako. Ya, sebelum direnggut oleh Sani yang dengan kurang ajar membocorkan segalanya. Bisa saja hubunganku dengan beberapa residen malah semakin akrab karena aku yang semakin percaya diri saat itu. 

Tapi, kembali ke prinsip yang aku pelajari di kampungku dulu, alam takambang jadi guru. Semuanya terjadi supaya aku bisa belajar dari itu. Setidaknya, aku sudah cukup nyaman dengan apa yang aku alami sekarang ini. Menikmati hidupku selama setahun di Gresik, sembari masih berjuang untuk pelan-pelan menghilangkan sifat inersia ini dan belajar dari berbagai macam situasi yang muncul. Aku gunakan pengalaman itu untuk menjalani sisa hidupku yang sekarang.

Itulah kenapa hidup ini tidak punya tombol untuk kembali.

Karena, tidak semua orang justru ingin kembali. Optimisme adalah alasan mereka untuk itu. Sedangkan, pesimislah yang selalu berharap tombol itu muncul.

Setelah menikmati gelas kopi keduaku, Siwi meminta izin pamit dulu karena ada panggilan dari tempatnya. Tiba-tiba, rekaman memori itu juga menghilang. Aku juga kembali ke rutinitasku semula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun