Dalam dunia fiksi, konsep AI yang mendapatkan kesadaran diri dan kemudian berbalik menentang manusia telah sering diangkat. Tetapi dalam konteks kehidupan nyata, ide itu masih menjadi khayalan. Kecerdasan buatan, meskipun semakin canggih, selalu akan bergantung pada pemrograman dan parameter yang ditetapkan oleh manusia yang menciptakannya. Meskipun mungkin bagi para penulis fiksi untuk menyajikan skenario di mana AI mengembangkan kesadaran diri dan mengambil tindakan yang bertentangan dengan manusia, ini tetap di ranah imajinasi dan spekulasi, bukan realitas."
Genisys ataupun apokalips semut merupakan bisikan nurani kita sebagai manusia -- makhluk dengan kecerdasaan hakiki -- bahwa moral dan etika seyogianya dikedepankan saat kita berpengetahuan. Ke arah inilah simpulan artikel Michael R. Gillings et al dalam Information in the Biosphere: Biological and Digital Worlds di jurnal Universitas California menuju:
"Kami berpendapat bahwa kita sudah berada di tengah-tengah transisi evolusi besar yang menggabungkan teknologi, biologi, dan masyarakat. Dari pengalaman pribadi, kehidupan sehari-hari kita penuh dengan contoh kerja sama sinergis kita dengan organisme digital. Dari perspektif sosial, teknologi digital telah menyusup ke dalam tatanan masyarakat manusia sampai pada tingkat yang tak terbantahkan dan sering kali menjadi ketergantungan yang menopang kehidupan. Para ahli ekologi dan evolusi harus bergabung dalam perdebatan ini, dan secara serius dan sistematis memikirkan konsekuensi dari informasi digital bagi lintasan kehidupan."
Bila abai dan semena-mena, maka kita tengah menjalani ramalan yang kita buat sendiri.Â