“Lukah”
Kearifan lokal dalam menjaga kelestarian fauna
Kegiatan berburu hewan sudah dilakukan oleh manusia sejak zaman prasejarah mulai dari zaman Paleolithikum hingga Mesolithikum. Peralatan yang digunakan dapat berupa kapak genggam, kapak perimbas, sumatralith, serta mata panah dari batu dan tulang. Dengan berkembangnya zaman, alat yang digunakan untuk berburu terlihat semakin baik. Dapat kita contohkan pada zaman perundagian, yang mempergunakan alat-alat yang sudah berteknologi tinggi, diantaranya: alat-alat toalean, alat-alat Toalean, alat mikrolit, kapak perunggu, mata panah dll.
Kontiunitas berburu tidak hanya terjadi pada zaman prasejarah namun, berlanjut pada zaman sejarah hingga saat sekarang. Namun, konsep, motivasi dan pola perburuan yang terjadi pada masa prasejarah sangat berbeda dengan zaman sekarang. Konsep dan motivasi perburuan yang terjadi saat sekarang hanya sebagai penyaluran hobi dan bukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Hal ini, dapat kita lihat daerah di Sumatera Barat, pada umumnya tiap daerah memiliki sebuah forum atau komunitas pecinta buru babi yang sering disebut dengan Forkobi. Namun, tidak hanya hewan babi yang sering diburu oleh masyarakat Sumbar adalah fauna lain diantaranya: ikan, kijang, burung, belut, dll. dalam tulisan ini kita akan sedikit mengulas mengenai perburuan belut atau nama lokal di Sumatera Barat “baluik”.
“Baluik” atau belut adalah hewan yang hidup dilumpur/tanah yang berwarna hitam dengan bentuk menyerupai ular. Belut menurut ilmu gizi memiliki kandungan protein yang sangat tinggi yang melebihi kandungan protein yang ada pada ikan. Belut memiliki struktur badan yang mirip dengan ular, permukaan tubuh dilapisi dengan selaput lendir yang berguna sebagai alat untuk melindungi diri dari musuh. Bagi masyarakat Minangkabau belut adalah hewan yang sangat berguna terutama sebagai bahan pokok dalam pembutan rendang belut atau randang baluik bagi masyarakat Minang. Ada sebuah alat yang khusus digunakan untuk menangkapa belut yaitunya luka atau lukah. Lukah adalah sejenis alat yang berbentuk seperti bubu, terbuat dari rotan, bambu, “lidi” yang disusun dan diikat hingga jadi sebuah lukah. Ukuran lukah itu sendiri memiliki panjang lebih kurang 20-30cm. pada bagian ujung lukah terdapat sebuah lubang yang berfungsi jalur masuk ikan. Lubang tempat masuk ikan disusun menjadi seperti “kon” disepanjang jalur masuk ikan. Hal ini, menjadikan jalur tersebut semakin sempit dari lubang yang pertama. Pada lukah juga terdapat sejenis jejari tajam pada bagian ujung lubang yang kedua. Jejari ini bertujuan untuk mengindari agar ikan yang sudah ada dalam lukah tidak lepas.
Lukah bagi orang Miangkabau pada dahulunya merupaka alat yang sangat dekat dengan mereka terutama bagi masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani. Kebiasaan para petani ketika musim tanam selain mengurusi benih padi, petani juga sering melakukan berburu belut diwaktu senggangnya. Motivasi perburuan belut ada yang berupa untuk bahan makanan ada juga yang dijual guna menambah pemasukan. Aktifitas berburu terlihat jelas ketika bulan puasa, dimana permintaan belut yang tinggi. Belut adalah salah satu protein hewani yang sangat diminati oleh masyarakat Minangkabau. Bahkan, pada puasa tahun 2013kemaren harga belut di pasar sampai pada angka 100rb/kg melibihi harga daging sapi yang hanya 90rb/kg.
[caption id="attachment_281753" align="aligncenter" width="300" caption="Lukah (sumber: dherdian.files.wordpress.com)"][/caption]
Lukah adalah bentuk kearifan lokal masyarakat Minangkabau pada masa duhulunya-sekarang. Kearifan lokal secara harfiah adalah usahan manusia yang menggunakan akal budinya untuk betindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Lukah dapat menjadi sebuah tool yang dapat menjaga kelestarian fauna khususnya belut. Ada apa denga lukah?. Nah, sebagai alat perburuan tradisional lukah dapat menjadi material culture yang dapat menjaga kelestarian populasi belut dan keseimbangan alam. Karena lukah dipergunakan hanya pada waktu- waktu tertentu yaitunya pada masa tanam dan setelah panen. Ini dapat menjadi sebuah kontrol darip petani dalam melakukan perburuan belut. Selain itu, teknik yang dipakai ramah lingkungan dan tradisional tanpa memakai bahan kimia dan bahan peledak. Sehingga ekosistem belut dan organism di sekitarnya tetap terjaga dengan baik.
Alam dapat memberikan berkahnya jika kita dapat mengelola dan menjaganya dengan baik. Begitu pula dengan lukah yang secara ilmu arkeologi merupakan benda budaya yang perlu kita jaga kelestatiannya agar tidak menjadi benda budaya yang tidak berbicara untuk masa yang akan datang. Lukah mungkin saat ini adalah hal yang dianggap sepele, namun, 10 tahun atau 20 tahun yang akan datang mungin persepsi ini akan berubah. Untuk itu, dituntut sikap bijak dari kita semua agar warisan nenek moyang kita tidak punah seiring perkembangan zaman..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI