Menjadi pekerja lepas dengan bekerja di "Tempo", artinya tempo-tempo dapat duit tapi sering kali tidak dapat duit, sungguh memerlukan jiwa, hati, dan raga yang kuat. Makan sih masih bisa, pokoknya asalkan ada kerupuk, mie instan, kecap, dan sambal botol.
Kata pepatah, jika muncul di saat kita sedang susah, maka itulah teman sejati. Selama masa pandemi, beberapa teman mengirimkan makanan kering dan bahan makanan. Beberapa lagi minta nomor rekening saya. Terus terang, saya menjadi terharu atas kebaikan dan ketulusan mereka.
Teman-teman itu tahu rekam jejak saya. Misalnya, saya aktif membumikan arkeologi dan museum sejak 1980-an lewat media cetak, blog pribadi, dan Kompasiana. Lalu saya sering membuat gerakan literasi dengan dana pribadi melalui Kubu (Kuis Buku) dan Gemar (Gerakan Menulis Arkeologi).
Beberapa teman juga membeli koleksi uang lama (numismatik) saya. Kebetulan saya punya beberapa koleksi dobel. Yah, lumayanlah untuk menyambung hidup di masa tidak menentu ini. Koleksi numismatik saya lumayan banyak, meskipun harganya tidak 'wah'. "Harta karun' saya lainnya juga lumayan banyak, seperti koleksi filateli dan koleksi cincin. Â
Ternyata yang menjadi 'penjual dadakan' bukan hanya saya. Beberapa teman pernah menjual buku, elektronik, kamera, sampai motor. Yah, demi menyambung hidup keluarga.
Hidup memang penuh perjuangan. Saya dan teman-teman sudah "berjuang habis-habisan". Semoga perjuangan itu tidak akan habis. Kita tunggu SOS (Solidaritas Orang Susah).**