Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Arca Kunta Bima dan Arca Tidak Sempurna di Candi Borobudur

17 Desember 2016   08:58 Diperbarui: 17 Desember 2016   09:12 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pengunjung berusaha menyentuh arca Kunta Bima (Dokpri)

Sejak dikenalnya kembali Candi Borobudur pada 1814, rupa-rupanya tidak ada sedikit pun berita akurat mengenai arca tersebut. Akibatnya N.J. Krom menolak arca itu sebagai arca asli penghuni stupa induk. Alasannya, arca tersebut lebih mirip arca yang tidak terpakai atau barang apkiran.

Crawford juga pernah mengatakan bahwa di dalam stupa induk, satu-satunya bagian yang ada biliknya, sama sekali tidak terdapatkan arca. Bahkan landasan untuk penempatannya pun tidak ada. Informasi menarik kemudian diperoleh dari Residen Yogya, Valck. Setelah berkunjung ke Borobudur pada 1840 dia mengatakan bahwa Dewa Utama yang menjadi penghuni stupa induk sudah hilang sehingga tidak diketahui lagi dewa siapa yang menjadi sasaran pemujaan.

Pendapat lain dikemukakan van Hoevell yang juga mengunjungi Borobudur pada 1840. Dia malah menyatakan, “Mungkin di dalam stupa induk itu dulunya ada sebuah arca Buddha besar sekali, sesuai dengan ruangannya”.

Mungkin ini kesalahan Hartmann karena ketika melakukan penelitian pada 1835-1842, dia tidak sedikit pun meninggalkan catatan tentang pekerjaan apa saja yang pernah dilakukannya. Keadan semakin “aneh” ketika juru gambar Borobudur, Wilsen (1849-1853) melaporkan adanya arca Buddha di dalam stupa induk.

Namun setahun kemudian Friedrich mengatakan di dalam stupa induk tidak pernah ditemukan arca Buddha. Dia pun bertanya-tanya, “Mungkinkah ada orang yang memasukkan arca itu ke dalam stupa?” Brumund ikut “memperkeruh keadaan” ketika dia meyakini adanya sebuah arca Buddha di dalam stupa induk yang kedua tangannya diletakkan di depan (dhyanimudra).

Pada 1864 Hoepermans, berdasarkan cerita dari penduduk setempat, membuka sedikit tabir bahwa Residen Kedu, Hartmann, pernah mengambil suatu benda yang segera dia bungkus dengan saputangan. Setelah itu dia tidak lagi melepaskannya dari pangkuannya dalam perjalanan pulang ke Magelang naik kereta. Diduga, temuan itu adalah arca emas yang berasal dari stupa induk.


Maka untuk menutupi peristiwa itu Bupati Magelang memerintahkan anak buahnya untuk menempatkan sebuah arca Buddha dari batu ke dalam stupa. Arca itu diambil dari bawah, dari sekumpulan arca lepas (Soekmono, hal. 12).

Dari tulisannya yang lain Soekmono (1993) berpendapat bahwa sebelum 1853 tidak ada berita sama sekali tentang adanya arca di dalam stupa induk. Hal ini dipertegas dalam buku karya Raffles, History of Java. Di dalam buku itu, menurut Soekmono, terlihat gambar irisan yang dibuat berdasarkan laporan Cornelius, yakni stupa induk dalam keadaan kosong.

Serat Centhini

Pembahasan yang amat filosofis pernah dilakukan oleh W.F. Stutterheim, berdasarkan kitab Jawa Kuno Sang Hyang Kamahayanikan, yaitu kitab tentang Buddha Mahayana. Dia menyimpulkan bahwa jumlah arca Buddha pada Candi Borobudur seharusnya 505 buah. Sedangkan arca yang ada sekarang berjumlah 504 buah. Jadi karena kurang satu, maka arca yang kurang sempurna itulah sebagai pelengkapnya. Menurut Stutterheim, arca demikian menggambarkan manifestasi dari Sang Bhatara Buddha.

Pada 1970-an arkeolog Belanda, van Lohuizen de Leeuw, meneliti kembali naskah yang disusun oleh Sieburgh, seorang pelukis yang pernah tinggal di Borobudur pada 1837-1839. Di dalam naskah tersebut Sieburgh justru melaporkan bahwa di dalam stupa besar di puncak Candi Borobudur terdapat sebuah arca batu yang belum selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun