Mohon tunggu...
Jalu Wintang
Jalu Wintang Mohon Tunggu... Lainnya - A man who always thirst for knowledge

Tuliskan setiap jejak langkah dalam hidupmu atau kau akan hilang dalam pusaran zaman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menghapus Sekat Jurusan di SMA Sama Saja Mengurangi Nalar Kritis Peserta Didik, Benarkah?

20 Januari 2022   22:22 Diperbarui: 22 Januari 2022   12:04 7049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa SMA mengerjakan UNKP. (KOMPAS.com/ALBERTUS ADIT)

Baru-baru ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan suatu kebijakan baru, yaitu menghapus sistem penjurusan di SMA. 

Kebijakan ini juga sebagai bagian dari program kurikulum baru yang akan diterapkan pada tahun ini. Jadi, tidak ada lagi yang namanya kelas jurusan IPA, IPS, maupun Bahasa di lingkungan pendidikan SMA. Dengan adanya kebijakan ini, banyak pro dan kontra yang bermunculan di kalangan masyarakat.

Kubu pro menilai bahwa kebijakan tersebut merupakan suatu langkah yang revolusioner. Sistem penjurusan di SMA selama ini justru menimbulkan berbagai macam stigma negatif yang mencoreng dunia pendidikan, seperti adanya kesan superior di jurusan tertentu. 

Seperti yang diketahui, jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) selama selalu dianggap superior. Banyak orang tua yang meyakini bahwa jika anaknya menyandang status sebagai "anak IPA", maka kesuksesan mereka lebih terjamin daripada jurusan lain seperti IPS atau bahkan Bahasa.

Jadi, dengan adanya kebijakan penghapusan sekat jurusan, stigma tersebut akan menghilang. Selanjutnya, penghapusan jurusan akan semakin memperkecil peluang peserta didik untuk melakukan lintas jurusan pada saat menjelang ujian masuk kampus. 

Banyak peserta didik yang merasa salah jurusan (entah karena gengsi atau terpaksa) dan akhirnya memilih jurusan kuliah yang berbeda dengan jurusan saat di SMA. Selain itu, para peserta didik dapat jauh lebih leluasa dalam belajar dan mengeksplorasi dirinya.

Bagi kubu kontra, sistem penghapusan jurusan ini kurang efektif jika dilihat dari keadaan masyarakat Indonesia sekarang. Apalagi dengan kurangnya pedoman bagi peserta didik untuk memilih mata pelajaran yang sesuai dengan minat, bakat, atau cita-citanya. 

Dilansir dari Kumparan, Senin (27/12/2021) salah satu pakar pendidikan dari Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa (PKBTS), Darmaningtyas, menyatakan bahwa dengan dibebaskannya para peserta didik untuk memilih mata pelajaran justru dapat berpengaruh terhadap daya nalar mereka. 

Sebagai contoh semisal peserta didik hanya memilih mata pelajaran ranah IPS, maka mereka tidak akan mendapat ilmu bagaimana cara berpikir kritis dan analitis seperti yang diajarkan di pelajaran ranah IPA. Dia juga berpendapat bahwa mereka juga akan berpotensi mudah terpapar berita palsu/hoaks.

Apa itu Berpikir Kritis ? 

Sebuah riset yang dilakukan oleh Saputro dkk (2016) menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik di Indonesia masih berada pada angka 28,6%. Belum lagi ini diperparah oleh atmosfer dan metode pembelajaran yang masih belum bisa memaksimalkan kemampuan peserta didik dalam berpikir kritis (Shalihin dkk, 2019). Selain itu, angka literasi yang rendah menjadi faktor yang paling memengaruhi tingkat berpikir kritis masyarakat Indonesia. 

Padahal, menurut Oktarina dan Ekadiansyah (2020), kemampuan literasi yang memadai dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk berpikir kritis. Karena hal-hal inilah, banyak masyarakat kita yang sangat mudah reaktif terhadap suatu isu yang sebenarnya masih dipertanyakan kebenarannya. 

Baru saja baca judul, sudah koar-koar duluan, emang dasar para netizen ini. Sebelum kita masuk ke pembahasan pentingnya bernalar kritis dan pengaruhnya dalam pendidikan di SMA, kita perlu bertanya "Sebenarnya, apa sih berpikir kritis itu? Dan apa korelasinya terhadap jurusan di SMA?"

Sejak dicetuskan pada 2013, Kurikulum 2013 (K-13) selalu menekankan pada penerapan cara berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skill (HOTS) di semua jenjang pendidikan. Kemampuan berpikir kritis termasuk salah satunya. 

Menurut Fahim dkk (2010), berpikir kritis adalah suatu kemampuan yang mendorong kita untuk mempertanyakan, menganalisa, dan mengevaluasi suatu masalah/persoalan. 

Dengan menguasai kemampuan berpikir kritis, kita bisa menanamkan sikap antisipatif di dalam diri kita ketika menghadapi suatu fenomena. 

Ini sangat penting dipelajari oleh anak sejak dini agar mereka tidak gampang "kagetan" ketika mendengar/melihat suatu kejadian yang menghebohkan.  

Ada pepatah yang mengatakan think before you speak (berpikirlah sebelum kamu berbicara). Berpikir kritis juga dapat meningkatkan kualitas argumen yang kita keluarkan (Murtadho, 2021). 

Jangan sampai kita menghakimi atau menyatakan sesuatu tanpa ada landasan yang kuat. Segala sesuatu tidak terjadi secara kebetulan, begitulah hukum alam berlaku. 

Oleh karenanya, kemampuan ini sangat penting untuk diajarkan oleh anak-anak sekolah, mulai dari tingkat dasar (PG-TK) hingga perguruan tinggi.

Konsep Berpikir Kritis | Sumber: marketgames.io
Konsep Berpikir Kritis | Sumber: marketgames.io

Di tingkat SMA, kemampuan seperti ini sangat krusial untuk dikuasai agar mereka bisa memahami realita yang terjadi di lingkungan sekitarnya. 

Selain itu, berlatih berpikir kritis nyatanya memiliki manfaat yang dapat membantu mereka untuk survive di dunia perkuliahan. 

Hal ini karena sebagian besar tugas, ujian, maupun proyek yang mereka kerjakan justru membutuhkan daya analisa yang cukup tinggi. 

Soal-soal yang diujikan biasanya diambil dari studi kasus atau suatu permasalahan yang ditemui di kehidupan sehari-hari. 

Di saat tugas mata kuliah misalnya (berdasarkan pengalaman saya pribadi), jarang sekali saya menemui soal yang berbentuk pilihan ganda atau pertanyaan tipikal "sebutkan blablabla", bahkan hampir tidak ada. Ini baru tugas, belum ujiannya terlebih lagi saat dapat proyek dari dosen.

Rata-rata tipe soalnya sudah masuk ranah analisis. Tentu bagi yang berkeinginan masuk perguruan tinggi atau lapangan pekerjaan nanti misalnya, mengasah kemampuan berpikir kritis bisa menjadi ajang pemanasan agar nantinya tidak shock ketika sudah memasuki dunia tersebut. 

Ketika data menunjukkan bahwa skill kemampuan berpikir kritis anak Indonesia masih sangat kurang, wajar sekali bila sebagian besar mahasiswa merasa sangat stres karena tugas. 

Lah gimana, dari awal nggak diajarkan untuk bikin makalah atau esai (yang notabene butuh analisis), eh ndilalah sewaktu jadi mahasiswa langsung dikasih tugas semacam itu oleh dosennya. Ajur jumm....

Kemampuan berpikir kritis sebenarnya adalah bekal menuju kehidupan di masyarakat kelak, lho. Bukan berarti kemampuan ini hanya dapat membantu kita untuk mendapat nilai bagus atau supaya terlihat pintar aja. 

Contohnya seperti fenomena Ghozali Everyday yang sedang ramai baru-baru ini. Fenomena ini merujuk kepada seorang pemuda bernama Ghozali yang berhasil meraup keuntungan sebesar Rp 1,5 miliar berkat mengunggah ribuan foto selfie-nya ke sebuah platform jual beli online OpenSea. 

Sekedar informasi, OpenSea adalah suatu website yang dapat dimanfaatkan sebagai media untuk berjualan atau membeli suatu barang, seperti musik, ilustrasi, foto, video, lukisan, bahkan game pun juga ada. Semua barang yang diperjualbelikan di situs tersebut disebut sebagai Non-Fungible Token (NFT). 

Dari sinilah Ghozali mengunggah NFT0nya (berupa foto selfie-nya selama lima tahun) dan akhirnya berhasil mengantongi cuan yang berlimpah ruah. 

Karena hal tersebut, banyak orang yang ingin mengikuti jejak si Ghozali tadi dengan mengunggah berbagai macam foto, mulai foto kue lapis, furnitur hingga foto KTP. 

Nah, foto yang saya sebut terakhir ini yang sebenarnya terlihat sepele namun mengandung bahaya yang mengancam.  Seperti yang kita tahu bahwa KTP berisikan data-data pribadi kita, seperti nama, alamat lengkap, golongan darah, dan data pribadi lainnya. Data-data ini tidak boleh dipergunakan secara sembarangan, apalagi kalau disebarluaskan di medsos. 

Tindakan inilah yang akhirnya memunculkan berbagai macam kejahatan dunia maya (cyber crime), seperti pembobolan (hacking), cracking, penipuan online, hingga penyalahgunaan data pribadi untuk kepentingan kejahatan. 

Banyak contoh kasus cyber crime yang ada di sekitar kita,  ada kasus di mana saldo ATM milik seseorang tiba-tiba ludes. Padahal, ia tidak pernah boros dan menggunakannya secara berlebihan. Disinyalir data pribadi orang ini telah tersebar dan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. 

Sebenarnya masih banyak lagi kasus-kasus cyber crime lainnya yang jauh lebih berbahaya. Oleh karenanya, kita harus lebih berhati-hati dalam bertindak. Ingat, think before you act!

Prinsip ini yang harus ditanamkan agar nalar kritis kita lebih berkembang. Selain itu, bersikap bijak dalam memilih konten yang layak diposting atau tidak merupakan salah satu implementasi dari kemampuan berpikir kritis. 

Dengan mengembangkan nalar/kemampuan berpikir kritis, kita akhirnya menjadi tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang sifatnya menghebohkan, atau dengan kata lain, kita menjadi orang yang tidak gampang "kagetan". 

Wacana Kurikulum Prototipe 2022

Kembali ke persoalan awal tentang penghapusan jurusan SMA. Benarkah dengan dihapusnya penjurusan di SMA membuat daya berpikir kritis anak jadi berkurang ? 

Mari kita kupas persoalannya satu per satu. Wacana ini, seperti yang saya kemukakan di awal, adalah salah satu bagian dari program Kurikulum Prototipe 2022. 

Tidak seperti dulu yang pada saat masih ada penjurusan IPA, IPS, maupun Bahasa, mata pelajaran yang dapat diampu peserta didik terbatas sesuai dengan ranah jurusannya. 

Anak IPA akan belajar Fisika dan kawan-kawannya, begitu pula dengan anak IPS yang belajar sejarah dan kawan-kawannya dan anak bahasa. 

Di zaman saya dulu ada program yang disebut Lintas Minat. Konsepnya, setiap anak bisa belajar mata pelajaran di luar jurusannya. Semisal saya yang jurusan IPA bisa belajar mapel ekonomi atau sejarah. Begitu juga di jurusan lainnya. 

Program ini sebenarnya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan wawasannya di bidang studi lain. 

Namun faktanya, program ini justru malah menambah beban bidang studi setiap peserta didik. Pengetahuan memang bertambah, tapi beban serta tuntutan belajarnya juga semakin bertambah.

Akhirnya, keluarlah kebijakan kurikulum prototipe ini. Setiap peserta didik SMA dibebaskan untuk memilih mata pelajaran yang sesuai dengan minatnya. 

Mereka bisa mata pelajaran apapun tanpa memikirkan apakah mata pelajarannya masuk ranah IPA, IPS, atau bahkan Bahasa. 

Setiap peserta didik bisa mengkombinasikannya sendiri. Namun, berdasarkan kebijakan kurikulum yang baru ini, pemilihan mata pelajaran tidak bisa serta merta karena iseng, ikut-ikutan teman, atau dipilih suka-suka saja.

Rencananya, program yang dilakukan secara bertahap ini menekankan bahwa pemilihan mata palajarannya didasarkan pada minat bakat dan pilihan karier peserta didik setelah lulus sekolah nanti. 

Sebagai contoh, si A bercita-cita menjadi dokter, maka mereka bisa mengambil mata pelajaran yang bersinggungan langsung dengan dunia kesehatan, seperti biologi, kimia, dan sejenisnya. 

Lalu, contohnya si B bercita-cita menjadi pebisnis, maka mata pelajaran yang diambil harus bersinggungan dengan dunia bisnis, seperti ekonomi, akuntansi, dan sejenisnya.

Eitss, walaupun peserta didik memiliki kebebasan dalam memilih mata pelajaran, namun di dalam kurikulum baru ini, mereka tetap diwajibkan untuk mengambil mata pelajaran wajib (seperti matematika, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, pendidikan agama dan budi pekerti, seni budaya, pendidikan jasmani dan kesehatan, pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, sejarah). Jadi, total setidaknya ada 8 mapel yang harus diambil oleh peserta didik. 

Rata-rata mata pelajaran wajib berisikan nilai-nilai nasionalisme, budi pekerti, budaya, serta kemampuan berpikir kritis yang penting bagi pengembangan karakter dan pola pikir peserta didik. Kemudian, mata pelajaran sisanya bisa diambil sesuai dengan minat dan bakat peserta didik.

Anak SMA | Sumber: ussfeed.com
Anak SMA | Sumber: ussfeed.com
Penghapusan Jurusan di SMA dan Kemampuan Berpikir Kritis Anak

Sudah menjadi rahasia umum bahwa eksistensi jurusan di tingkat SMA menimbulkan stigma tersendiri di tengah masyarakat. Seperti yang sudah saya singgung di awal, masyarakat hingga saat ini masih "mengkhultuskan" jurusan IPA yang dinilai lebih menjanjikan karier dan masa depan anak. Dari situlah, jurusan IPS dan Bahasa akhirnya terpinggirkan. 

Oleh karena itu, pemerintah mengambil tindakan untuk menghapus sekat-sekat jurusan di SMA yang sudah eksis selama bertahun-tahun itu. 

Namun, yang sebagus apapun suatu kebijakan, pasti ada juga pihak yang merasa kurang puas dan meragukannya. Salah satunya adalah Pak Darmaningtyas. 

Darmaningtyas | Sumber: tribunnews.com
Darmaningtyas | Sumber: tribunnews.com

Beliau membayangkan situasi jika para peserta didik yang lebih memilih mata pelajaran IPS sebagai mata pelajaran peminatan daripada mata pelajaran IPA. Jika hal itu terjadi, maka kemampuan berpikir kritis mereka akan perlahan memudar. 

Tentunya, menurut beliau, itu akan berdampak pada tingkat kualitas pemikiran dan sikap mereka dalam menjalani hidup di masa depan. Klaimnya kurang lebih seperti ini,

"Jika peserta peserta didik ternyata lebih banyak memilih mata pelajaran peminatan IPS saja tanpa mata pelajaran IPA, maka kemampuan berpikirnya menjadi tidak kritis, rasional dan sistematis. Dengan itu, mereka akan dengan mudah terpapar hoaks." Ujarnya.

Sebagai mantan anak IPA, saya merasakan betul bahwa hampir semua mata pelajaran berbau IPA, seperti biologi, fisika, kimia, dan sejenisnya menuntut kita untuk selalu berpikir secara saintifik, kemampuan berpikir yang mendorong untuk mendayagunakan nalar dan rasa pengetahuan kita. 

Kami diajarkan bagaimana ketika menemukan sebuah masalah, yang harus dilakukan adalah dengan mengidentifikasinya memahaminya, mempertanyakannya, lalu menganalisanya. Kemampuan berpikir semacam inilah yang akhirnya selalu diasosiasikan dengan anak-anak jurusan IPA. 

Sayanganya, walaupun berganti kurikulum pun, metode berpikir kita seolah-olah "njomplang". 

Tatkala anak IPA asyik mengotak-atik nalarnya, anak IPS dan jurusan lainnya justru harus merasakan cara berpikir yang hanya berkutat pada hafalan saja. Kalaupun ada soal yang sifatnya analisis, persentase nya jauh lebih kecil dari soal yang bersifat hafalan.

Dulu ketika SMA, saya merasakan mata pelajaran lintas minat IPS dengan mata pelajaran IPA dalam waktu bersamaan. 

Ketika saya belajar praktikum Kimia misalnya, saya diajarkan untuk mengidentifikasi permasalahan dan menganalisisnya berdasarkan rumus dan ilmu yang berkaitan. 

Walaupun ada juga materi yang harus dihafalkan, seperti materi pelajaran biologi atau menghafal tabel periodik, namun semua hafalan itu pada dasarnya bisa "dibongkar" dan dianalisis akarnya secara sistematis. Hal ini berbeda dengan mata pelajaran lintas minat IPS. Contohnya ketika dulu saya belajar ekonomi. 

Guru saya dulu lebih sering mengajarkan materi dengan metode hafalan. Harus hafal motif ekonomi lah, hafal prinsip ekonomi, belum rumus-rumusnya, teori-teorinya, dan masih banyak lagi. 

Di suatu waktu, ada teman saya yang diberi nilai jelek karena jawabannya tidak sama persis dengan teori yang di buku pelajaran. Nggak heran sih kalau peserta didik semakin getol untuk menyontek atau ngerpek buku saat ujian.

Di pelajaran sejarah misalnya, banyak sekali tahun atau peristiwa yang harus dihafalkan. Begitu juga dengan pelajaran IPS lainnya.

Berpikir kritis atau critical thinking adalah sebuah kemampuan berpikir. Sebuah skill. Bukan pelajaran yang hanya dibatasi di disiplin ilmu tertentu. 

Kemampuan tersebut bersifat fleksibel dan bisa diaplikasikan di semua bidang ilmu yang kita pelajari, baik di sekolah, universitas, bahkan di kehidupan sehari-hari. 

Sebagus-bagusnya konsep pembelajaran, tentu juga harus diimbangi dengan penerapan yang masif dan terstruktur pula. 

Penyebab utama dari kemampuan berpikir kritis yang rendah adalah karena kurangnya penerapan nilai-nilai berpikir kritis di dalam pembelajaran. 

Menurut Bassham dkk (2011), ia menyatakan bahwa faktor yang menyebabkan daya berpikir kritis anak rendah adalah karena kurangnya minat baca, terbatasnya wawasan dan pengetahuan, egoisme, cara berpikir jangka pendek, emosi yang tak stabil, dan masih banyak lagi. 

Dari semua faktor tersebut, minat baca menjadi faktor terbesar yang memengaruhi daya berpikir kritis anak. 

Berdasarkan data dari PISA (Programme for International Student Assessment), level membaca Indonesia berada pada level 62 dari 70 negara di dunia. Maka, tak pelak jika daya berpikir kritis kita masih kurang.

Lalu, bagaimana solusi untuk mengatasi masalah ini ? Caranya adalah dengan merevolusi mindset berpikir kita dalam menyelanggarakan pembelajaran. 

Di zaman sekarang ini, bukan saatnya lagi terlalu mengandalkan hafalan. Peran guru sangat krusial dalam membentuk karakter dan pola pikir peserta didik dalam belajar. 

Hal ini bisa dimulai dengan menyusun soal yang membutuhkan skill berpikir kritis di semua bidang studi tanpa memandang jurusannya. 

Contoh, untuk mata pelajaran sejarah. Saat ini misalnya kita belajar tentang sejarah proklamasi. Mungkin kita mengenal sejarah penculikan Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok oleh tokoh golongan muda. 

Nah, kita bisa buat sesi diskusi atau pertanyaan untuk anak didik kita, seperti "Mengapa Rengasdengklok yang dipilih? Bagaimana jika tempat yang dipilih bukan Rengasdengklok, seperti di Sumedang misalnya?" Atau "Bagaimana jika negara Indonesia tidak berbentuk republik ?" dan sebagainya. 

Bahasan itu sering didiskusikan di forum-forum di tingkat perguruan tinggi atau profesional, namun akan lebih seru jika diterapkan di kelas. 

Tentu, pertanyaan atau masalah yang diangkat disesuaikan dengan kapasitas guru dan peserta didik sesuai levelnya dan juga bisa dikembangkan dalam suatu media pembelajaran yang menarik (seperti permainan studi kasus dan sebagainya). 

Kalau di mata pelajaran bahasa Inggris, ada yang namanya teks deskriptif (descriptive text), teks laporan (report text), atau teks eksplanasi (explanation text). Ketiganya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk melaporkan/menjelaskan sesuatu. 

Namun, mengapa ketiga teks tersebut dibedakan? Atau pertanyaan seperti "Seberapa penting grammar di dalam kehidupan sehari-hari ?"

Dari situlah mereka akan berpikir dan terdorong untuk mencari sumber informasi dan insight sebanyak-banyaknya dari lingkungan sekitar mereka. 

Sebenarnya, masih banyak mata pelajaran yang lain yang bisa dikombinasikan dengan kemampuan berpikir kritis.

Pembelajaran Tatap Muka | Sumber: disway.id
Pembelajaran Tatap Muka | Sumber: disway.id

Menerapkan apalagi membangun mindset berpikir kritis anak bukan perkara mudah. Banyak tantangan yang mesti dihadapi. 

Sejauh ini, pemerintah sudah menerapkannya melalui penyusunan ujian berbasis Higher Order Thinking Skills (HOTS), seperti dengan diterapkannya AKM (Asesmen Kompetensi Minimum) atau Asesmen Nasional. Namun faktanya, jenis kemampuan berpikir kritis kurang dieksplorasi dan ditanamkan pada anak di kelas. 

Para peserta didik lebih sering dituntut agar memiliki nilai AKM yang tinggi tanpa dibimbing untuk memahami esensi dari Asesmen Nasional itu sendiri. Apalagi, hal tersebut diperparah dengan kurangnya budaya literasi di masyarakat kita. 

Peran guru di sekolah penting untuk menanamkan pentingnya berpikir kritis. Ini bisa dimulai dengan mengembangkan media pembelajaran yang autentik dan sesuai dengan realita di kehidupan sehari-hari. 

Dan yang paling penting, para guru harus menjadi pionir dalam upaya mengubah konsep berpikir kritis agar menjadi lebih fleksibel, aplikatif, dan mampu menjawab berbagai persoalan dan tantangan hidup tanpa dibatasi oleh sekat disiplin ilmu IPA, IPS, Bahasa dan sebagainya. 

Kemudian, guru dan orang tua juga bisa bekerja sama untuk mengajak anak agar selalu kritis dengan mempertanyakan, memilah, dan mengecek kebenaran dari suatu informasi yang didapat dari internet atau masyarakat sekitarnya, serta bijak dalam menggunakan sosial media, menumbuhkan minat baca, dan senantiasa mendampingi setiap proses belajar dan tumbuh kembang anak. 

Dengan menanamkan prinsip tersebut, stigma jurusan di SMA perlahan luntur dan muncul generasi-generasi cerdas dan kritis yang siap membangun bangsa ini menjadi lebih baik.

REFERENSI : 

Jurusan di SMA Dihapus, Pakar Bilang: Bisa Kemajuan, Bisa Kemunduran

Fahim, M., Bagherkazemi, M., & Alemi, M. (2010). The relationship between test takers' critical thinking ability and their performance on the reading section of TOEFL. Journal of Language Teaching and Research, 1(6), 830.

Oktariani, O., & Ekadiansyah, E. (2020). Peran Literasi dalam Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis. JURNAL PENELITIAN PENDIDIKAN, PSIKOLOGI DAN KESEHATAN (J-P3K), 1(1), 23-33.

Fijar, N. A., & Saptono, S. (2019). Implementation of Guided Inquiry Learning To Improve The Critical Thinking Skills of Junior High School Students. Journal of Innovative Science Education, 8(3), 306-314.

Saputro, H., Hidayat, A., & Munzil. (2016). Profil Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP 7 Pasuruan. Pros. Semnas Pend. IPA Pascasarjana UM, 1(1), 943-949.

Murtadho, F. (2021). Metacognitive and critical thinking practices in developing EFL students' argumentative writing skills. Indonesian Journal of Applied Linguistics, 10(3).

Bassham, G., Irwin. W., Nardone. H & Wallace, J., M. (2011). Critical thinking-a student's introduction (4th ed). New York: McGraw-Hill.

Nugroho, R. (2021). HOTS (Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi) Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun