Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Seru dan Amannya Empat Hari Jelajah Papua

11 Desember 2019   17:15 Diperbarui: 11 Desember 2019   17:20 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan Desember adalah bulan yang paling menegangkan untuk berkunjung ke Papua. Pasalnya setiap tanggal 1 Desember biasanya diperingati sebagai hari ulang tahun OPM. Sampai-sampai ada anekdot, kalau tidak ada keramaian pada tanggal tersebut, dipastikan kondisi Papua dalam keadaan aman. Beberapa kali saya ditugaskan di bulan Desember ke Papua karena teman-teman lain tidak ada yang berani berangkat pada bulan tersebut.

Demikian pula tahun ini, lagi-lagi saya kebagian tugas ke Papua. Apalagi beberapa bulan lalu sempat terjadi kerusuhan yang meluas di hampir seluruh wilayah, membuat teman-teman lain semakin takut untuk berkunjung ke sana. Sayapun juga sempat was-was kalau-kalau terjadi sesuatu di sana dan tidak bisa kembali lagi. Akhirnya saya mengikuti petuah bijak tadi, lihat kondisi tanggal 1 Desember, kalau aman berangkat sudah.

Mentari Pagi di Ufuk Papua (Dokpri)
Mentari Pagi di Ufuk Papua (Dokpri)

Alhamdulillah, tanggal 1 Desember berlalu tanpa ada berita merisaukan. Sayapun nekad berangkat dengan penerbangan malam hari ke Merauke sebagai tujuan pertama. Pesawat lepas landas pukul 22.30 WIB dan tiba di Makassar sekitar pukul 01.28 dinihari WITA. Cuaca dalam perjalanan cukup bervariasi sehingga mengganggu tidur karena kuatnya goncangan dalam pesawat. Akhirnya saya nonton film tanpa suara saja untuk mempercepat tidur.

Transit di Bandara Sentani (Dokpri)
Transit di Bandara Sentani (Dokpri)

Setelah transit sekitar satu jam pesawat kembali terbang menuju Jayapura pukul 02.22 WITA. Kali ini cuaca agak tenang karena saya bisa tidur nyenyak, atau mungkin karena terlalu lelah akibat kurang tidur sebelumnya. Setengah jam menjelang mendarat saya terbangun karena terkena sorotan sinar mentari pagi yang mulai menyengat. Cuaca kembali tidak stabil, goncangan kembali terjadi saat hendak mendarat, pesawat sempat berputar menunggu antrian turun ke landasan. Udara Papua memang terkenal ketidakstabilannya sehingga cukup banyak pesawat jatuh terutama pesawat kecil di daerah pegunungan.

Bandar Udara Mopah Merauke (Dokpri)
Bandar Udara Mopah Merauke (Dokpri)

Tepat pukul 06.45 pesawat mendarat mulus di Jayapura. Para penumpang dipersilakan keluar pesawat untuk rehat sejenak tanpa harus membawa barang bawaan. Tanpa ragu sayapun langsung menuju toilet untuk menggelontorkan ampas yang mengeluarkan gas ketika dalam pesawat tadi. Masish ada waktu pula buat sekedar ngopi-ngopi cantik di lounge sebelum kembali terbang pukul 07.50 WIT. Pukul 08.11 pesawat meluncur menuju destinasi terakhir ke Merauke. Cuaca agak bagus nyaris tanpa goncangan berarti hingga tiba di Merauke pukul 09.23 WIT. Total sembilan jam terbang termasuk transit dua jam, kalau ke luar negeri sudah sampai Arab Saudi dengan waktu yang sama.

Kuburan Warna Warni (Dokpri)
Kuburan Warna Warni (Dokpri)

Sengatan matahari langsung menyambut kami begitu turun dari pesawat. Wajarlah kalau suasananya gampang memanas, lha wong cuacanya juga panas, lebih panas dari Jakarta. Tanggung capek, kami langsung survei ke lapangan setelah mampir sejenak ke kantor dinas setempat untuk melaporkan aktivitas kami. Ternyata di depan kantor dinas ada taman kuburan warna warni sehingga memancing saya untuk mampir sejenak. Kalau di Malang ada kampung warna warni, di sini kuburanpun dibuat serupa.

Baca Juga: Menguak Misteri Makam Warna Warni di Merauke

Tugu Nol Kilometer Merauke (Dokpri)
Tugu Nol Kilometer Merauke (Dokpri)

Tak terasa waktu sudah semakin sore sehingga kami harus buru-buru menuju ke Sota, desa perbatasan dengan Papua Nugini sebagai salah satu obyek wisata paling menarik di Merauke. Jarak 83 Km dilalap dalam waktu 40 menit saja, maklum kondisi jalan mulus seperti jalan tol dan nyaris tak ada papasan dengan kendaraan lain. Matahari menjelang terbenam ketika kami tiba di sana. Suasananya jauh berbeda dengan tiga tahun lalu ketika saya berkunjung ke tempat yang sama. Tak ada lagi tugu buatan seorang polisi di batas negeri, berganti dengan pos perbatasan yang megah. Ironisnya, di sisi Papua Nugini justru tak ada apapun selain patok tanda batas negara dan rumah semut yang dipagar. Sepertinya mereka tak butuh-butuh amat pos yang megah, tapi jelas marka batasnya.

Patok Batas PNG (Dokpri)
Patok Batas PNG (Dokpri)

Tak lama kami berada di perbatasan karena mentari sudah tak tampak lagi batang hidungnya. Perjalanan kembali menembus gelap gulita taman nasional Wasur yang sunyi senyap. Dalam perjalanan supir bercerita bahwa kondisi Merauke berbeda dengan Papua lainnya. Di sini relatif aman dan nyaris tak ada bentrok warga karena sebagian besar sudah diisi oleh pendatang. Para pendatang inilah yang menghidupkan kota dan menjadi pendorong tumbuhnya ekonomi di wilayah tersebut.

Pegunungan Jayawijaya (Dokpri)
Pegunungan Jayawijaya (Dokpri)

Esoknya perjalanan dilanjutkan menuju Timika via Jayapura. Cukup lama kami transit di Jayapura, sekitar dua jam karena harus berganti pesawat. Sebenarnya semua pesawat tujuan akhirnya Jakarta, hanya yang dari Merauke tidak melalui Timika tapi langsung ke Makassar. Jadi kami naik pesawat Jayapura - Jakarta melalui Timika dan Makassar. Sekitar 55 menit saja penerbangan dari Bandara Sentani menuju Bandara Moses Kilangin, namun cukup ngeri juga ketika pesawat melewati pegunungan Jayawijaya yang terkenal angker tersebut, membelah Papua bagian utara dan selatan.

Truk Bus Bandara (Dokpri)
Truk Bus Bandara (Dokpri)

Sampai di Timika, kami disambut truk bus yang mengangkut penumpang dari apron ke terminal kedatangan. Lucu juga bentuknya melihat truk yang dimodifikasi menjadi angkutan penumpang. Dari bandara kami langsung ke lapangan survei lokasi hingga menjelang Maghrib. Di tengah perjalanan suasana agak mencekam ketika melewati kerumunan massa yang sedang melakukan upacara bakar batu. Saya agak khawatir juga mengingat acaranya berdekatan dengan 1 Desember, namun tampak aparat kepolisian sigap menjaga mereka untuk tidak berbuat macam-macam.

Tugu Perdamaian di Timika (Dokpri)
Tugu Perdamaian di Timika (Dokpri)

Pulang dari survei, kami kembali melalui lapangan yang digunakan untuk upacara bakar batu tadi. Menurut sopir yang mengantar kami, mereka yang melakukan upacara biasanya berasal dari pegunungan, sementara Timika sendiri sebenarnya merupakan daerah pantai. Hal itu tampak dari postur tubuh yang pendek, menandakan mereka berasal dari pegunungan. Berbeda dengan orang pantai yang postur tubuhnya lebih tinggi. Bubaran massa tersebut memacetkan jalan yang kami lalui dan terpaksa mengalah daripada mengundang keributan.

Timika sendiri kondisinya sudah cukup kondusif karena ketegasan aparat di sana. Awalnya saya mengira suasananya seperti kota-kota eks tambang di Kalimantan, ternyata sama saja dengan Merauke atau Wamena. Mungkin bule-bulenya banyak yang tinggal di Kuala Kencana, bukan di Timika. Hanya memang tampak ketimpangan antara karyawan tambang dengan non tambang sangat jauh. Harga makanan di sini cukup mahal karena menyesuaikan dengan gaji para petambang, namun menjadi tak terjangkau oleh mereka yang bekerja di sektor non tambang.

Bandara Douw Aturure Nabire (Dokpri)
Bandara Douw Aturure Nabire (Dokpri)

Pagi harinya kami kembali terbang menuju Nabire yang merupakan lokasi survei terakhir. Di sini tak lama, hanya sekitar lima jam saja karena sorenya harus terbang menuju Biak. Padahal jika punya waktu panjang kita bisa melihat Hiu dan Paus di perairan pantainya. Laiknya kota-kota besar di Papua, seperti Jayapura, Merauke, Timika, Nabire juga banyak diisi para pendatang yang sebagian besar berasal dari Sulawesi (Makassar, Toraja) dan Jawa yang merupakan eks transmigran. Para pendatang umumnya sudah tinggal puluhan tahun dan berbaur dengan penduduk lokal sehingga tidak tampak lagi perbedaan di antara mereka.

Pantai Nabire (Dokpri)
Pantai Nabire (Dokpri)

Cuacanyapun sama-sama panas, lebih panas dari Jakarta, sekitar 32-35 derajat Celsius di siang hari. Namun keamanan tetap terjamin di sini, jauh dari aroma kerusuhan seperti di Jayapura dan Wamena. Kotanya juga tidak terlalu ramai dan lebih banyak didominasi oleh perdagangan hasil bumi lokal. Seperti Merauke, Nabire juga menjadi daerah tujuan transmigrasi sehingga banyak wajah-wajah Jawa bertebaran di pusat kota, di samping orang Makassar dan Toraja.

Sorenya perjalanan dilanjutkan menuju Biak. Uniknya, pesawat yang kami naiki dari Timika ke Nabire tadi adalah juga pesawat yang menuju Biak. Rupanya rute pesawat tersebut adalah Biak - Nabire - Timika - Nabire - Jayapura - Nabire - Biak, jadi mereka sempat ke Jayapura dulu saat kami berjibaku di Nabire. Pramugarinyapun masih ingat dengan wajah lugu kami dan tersenyum simpul melihat kami kembali bersama mereka. Sebenarnya kami ke Biak hanya transit untuk melanjutkan perjalanan ke Jakarta esok harinya, karena tak ada pesawat langsung dari Nabire.

Jejak Jepang di Biak (Dokpri)
Jejak Jepang di Biak (Dokpri)

Biak adalah pulau tersendiri yang lepas dari daratan Papua. Pulau Biak terkenal saat perang dunia karena menjadi salah satu pijakan kodok (leap frog) pasukan MacArthur saat mengalahkan Jepang di medan perang Pasifik. Landasannya merupakan yang terpanjang keempat di Indonesia dan mampu didarati pesawat berbadan besar. Maklum bekas bandara militer yang mengangkut peralatan perang seperti tank. Dulu pernah ada rute Garuda tujuan Los Angeles dengan transit di Biak dan Honolulu, namun karena terus merugi rute tersebut ditutup.

Bandara Frans Kaisiepo Biak (Dokpri)
Bandara Frans Kaisiepo Biak (Dokpri)

Namun gedung bandaranya tak sepadan dengan panjang landasannya, ibarat rumah mungil dengan halaman luas sekali. Terminalnya sempit dan berhimpitan dengan jalan raya yang juga kecil menuju bandara. Kondisinya lebih mirip bandara perintis ketimbang bandara internasional yang disandangnya. Lagipula karena bukan kota tujuan, kemungkinan tidak akan dikembangkan lebih besar lagi seperti Timika.

Pintu Masuk Gua Jepang (Dokpri)
Pintu Masuk Gua Jepang (Dokpri)

Kotanya sendiri juga tidak terlalu besar namun bersih, mungkin yang paling bersih di antara kota-kota lain di Papua. Wisata di sini lebih mengandalkan peninggalan perang dunia kedua seperti gua Jepang dan pantainya yang indah. Selebihnya menjadi tumpuan pertahanan wilayah karena disinilah berkumpul tiga angkatan sekaligus untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI. Posisinya memang strategis untuk menangkal serangan musuh sebelum masuk ke daratan Papua.

Sunset di Pantai Biak (Dokpri)
Sunset di Pantai Biak (Dokpri)

Kami hanya bersantai menikmati pantai sore hari dan berwisata ke goa Jepang esok harinya sambil menunggu penerbangan ke Jakarta. Jepang sendiri meninggalkan cukup banyak jejak selain goa Jepang. Namun karena terbatasnya waktu kami tak sempat mengeksplorasi lebih jauh lagi. Selesai keliling kota kami langsung menuju bandara untuk terbang kembali ke Jakarta pukul 10.50 WIT dan tiba di Cengkareng tepat pukul 14.30 WIB termasuk transit di Makassar selama 50 menit. Berakhir sudah petualangan kami selama empat hari empat malam ke Papua.

Stalaktit di Gua Jepang (Dokpri)
Stalaktit di Gua Jepang (Dokpri)

Bicara keamanan, sebenarnya suasananya cukup kondusif, yang penting selama di kota kita ditemani oleh penduduk setempat untuk menjembatani komunikasi dengan warga lokal. Misalnya saat makan siang atau malam, atau saat mengunjungi obyek wisata dan berkeliling kota. Pendamping kami biasanya menjelaskan maksud kedatangan kami dengan bahasa yang lebih familiar buat mereka, karena kadang suka timbul salah paham kalau dijelaskan langsung. Pendamping tersebut juga bisa melindungi bilamana ada orang iseng yang hendak mengganggu aktivitas kita.

Jadi, jangan takut datang Papua. Izakod Bekai Izakod Kai, Satu Hati Satu Tujuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun