Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Tan Ek Tjoan, Roti Legendaris Bogor Sejak 1920

8 Oktober 2025   07:35 Diperbarui: 8 Oktober 2025   17:14 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harganya pun masih bersahabat: sembilan ribu rupiah untuk roti isi, delapan belas ribu untuk roti tawar. Di tengah gempuran toko roti kekinian yang menjual cita rasa Eropa, Tan Ek Tjoan tetap mempertahankan kesederhanaannya, termasuk pada menu andalannya, roti gambang, yang selalu laris diburu para pencari nostalgia sejati.

Mungkin di situlah daya tariknya: roti ini terasa dekat, seperti teman lama yang tak pernah berubah.

Yang menarik, Cipinang bukan satu-satunya titik singgah. Ada tiga lokasi lain di Jakarta Timur—Pondok Kelapa, Rawamangun, dan Pondok Gede—yang juga menjadi pusat distribusi roti Tan Ek Tjoan.

Semua rumah kontrakan itu berfungsi serupa: tempat singgah roti segar sebelum dijajakan ke berbagai penjuru kota. Dari sana, gerobak-gerobak kaca berangkat setiap pagi, seolah membentuk jaringan kecil yang menjaga denyut hidup roti jadul ini.

Mereka adalah bagian dari ekosistem kuliner tradisional yang diam-diam masih bertahan di tengah modernisasi kota besar.

Tanpa sosok seperti Jerry, mungkin Tan Ek Tjoan hanya akan menjadi nama besar yang tersimpan dalam arsip kuliner lama. Namun, berkat tangan-tangan seperti miliknya, aroma roti panggang itu masih bisa tercium di gang-gang kecil, di depan sekolah, atau di pasar pagi yang sibuk.

Ada sesuatu yang menenangkan dari pemandangan itu—gerobak kaca yang perlahan lewat, membangunkan kenangan akan masa ketika roti sederhana sudah cukup membuat hari terasa manis.

Roti gambang khas Tan Ek Tjoan yang bikin kangen. (Foto: Dok. Pribadi)
Roti gambang khas Tan Ek Tjoan yang bikin kangen. (Foto: Dok. Pribadi)
Mungkin itulah keindahan roti jadul: ia bukan sekadar makanan, melainkan pengikat kenangan. Setiap gigitan Tan Ek Tjoan membawa kita kembali pada masa ketika hidup berjalan lebih pelan: roti isi kismis yang dulu jadi bekal sekolah, roti gambang yang menemani obrolan sore dengan orang tua, atau roti tawar yang dioles mentega hangat saat listrik padam.

Nostalgia itu bukan sekadar soal rasa, melainkan juga cara jualannya, interaksi hangat dengan penjual, dan perjalanan panjang yang menghubungkan generasi demi generasi.

Roti Tan Ek Tjoan bertahan bukan karena strategi pemasaran besar, melainkan karena kesetiaan pada kesahajaan. Ia hadir di jalanan dengan kesederhanaan yang tak dibuat-buat, dibawa oleh orang-orang yang mungkin tak banyak disebut, tetapi punya peran penting menjaga ingatan kolektif kita tentang masa lalu.

Mungkin yang kita cari bukan hanya rotinya. Yang kita rindukan adalah cerita di baliknya—tentang kesetiaan pada tradisi, tentang kerja keras yang sunyi, dan tentang kehangatan yang muncul dari kenangan yang terus dibagikan di jalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun