Editor dalam diriku mungkin tidak pernah bisa benar-benar diam. Dia akan selalu hadir, mengingatkan agar lebih teliti, lebih rapi, lebih jelas. Tentu saja aku berterima kasih padanya, karena tanpanya mungkin tulisanku akan berantakan.
Di sisi lain, aku juga belajar memberi ruang pada penulis dalam diriku—yang butuh kebebasan untuk menulis tanpa sensor, untuk mengalir apa adanya, untuk menuntaskan cerita meski belum sempurna.
Kini aku mencoba berdamai dengan dua sisi itu. Aku memberi jadwal untuk mengedit, tetapi juga memberi waktu untuk menulis tanpa diganggu.
Aku mengizinkan diriku untuk menayangkan tulisan, meski masih ada bagian yang menurutku bisa lebih baik. Karena aku tahu, pembaca tidak menunggu kesempurnaan, mereka menunggu kehadiran.
Pada akhirnya, mungkin itulah esensi menulis: bukan soal bebas dari salah, tetapi soal berani berbagi. Bukan soal seberapa rapi susunannya, tetapi seberapa tulus makna yang hadir. Jika satu tulisan bisa menemani satu hati, semua keraguan akan terbayar.
Aku terus menulis, terus mengedit, terus belajar melepaskan—menulis adalah caraku berdialog dengan dunia, dan editor dalam diriku hanyalah rekan yang menolong perjalanan ini.
Yang penting, aku tidak lagi membiarkan dia menjadi penghalang. Aku ingin setiap kata tetap meluncur, agar pesan yang kubawa bisa sampai kepada siapa pun yang sedang membutuhkannya.
Pada akhirnya, tulisan bukanlah milikku seorang. Ia adalah jembatan—antara aku dan pembaca, antara hati yang menulis dan hati yang membaca. Yang pasti, jembatan itu hanya bisa berfungsi jika aku berani menapakinya, meski tidak sempurna.
***
Catatan kaki:
Kini, setelah melewati fase menulis dan mengedit, aku sadar bahwa dialog dengan pembaca inilah tujuan akhirnya. Ia menjadi resolusi dari semua pergulatan identitas dan teknis yang telah kulalui.