Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Aku suka menulis apa saja yang singgah di kepala: fiksi, humaniora, sampai lyfe writing. Kadang renyah, kadang reflektif, dan selalu kuselipkan warna. Seperti hidup: tak satu rasa, tetapi selalu ada makna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Korban Pelecehan Seksual di KRL Memilih Diam?

17 September 2025   14:47 Diperbarui: 17 September 2025   18:01 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berani bereaksi, saling menjaga: kunci memutus pelecehan di ruang publik. (Foto: Findy Tia/Wikimedia Commons)

Kampanye lewat pengumuman suara, poster di stasiun maupun gerbong, serta ancaman sanksi memang langkah awal yang penting. Namun, apakah itu cukup?

Nyatanya, rasa aman di transportasi publik tidak hanya ditentukan oleh operator, melainkan juga oleh sikap penumpang itu sendiri. Masih banyak korban yang memilih diam karena takut dianggap berlebihan.

Di sinilah edukasi menjadi krusial: mengajarkan bahwa bereaksi bukan berarti mencari masalah, melainkan menjaga martabat diri. 

Dukungan penumpang lain juga sangat dibutuhkan. Kehadiran satu orang saksi yang berani menegur bisa mengubah situasi, memberi kekuatan pada korban, sekaligus membuat pelaku berpikir ulang.

Teknologi pun bisa jadi penopang. CCTV di gerbong, jalur pelaporan yang cepat, hingga respons sigap petugas akan membantu memperkuat bukti dan memperkecil ruang gerak pelaku.

Namun, yang lebih penting, tumbuhnya kesadaran kolektif: menjaga keamanan adalah tanggung jawab bersama.

Pelecehan seksual di transportasi publik bukan sekadar gangguan kecil yang bisa diabaikan, melainkan ancaman nyata yang merampas hak rasa aman setiap penumpang.

Langkah kampanye yang dilakukan operator adalah awal yang baik, tetapi semua itu akan sia-sia bila tidak dibarengi keberanian korban untuk menyatakan kebenaran dan solidaritas penumpang lain untuk saling melindungi.

Kita tidak bisa menormalisasi pelecehan dengan menganggapnya sebagai risiko wajar dalam perjalanan. Transportasi publik seharusnya menjadi ruang aman, tempat orang bisa berpindah tanpa rasa curiga atau takut disentuh secara tidak pantas.

Oleh karena itu, kampanye anti-pelecehan bukan hanya tugas operator. Ia adalah tanggung jawab kita semua.

Diam berarti membiarkan. Hanya dengan ketegasan bereaksi dan kepedulian saling menjaga, kita bisa memutus rantai pelecehan. Rasa aman bukanlah bonus dalam perjalanan, melainkan hak yang tak bisa ditawar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun