Kampanye lewat pengumuman suara, poster di stasiun maupun gerbong, serta ancaman sanksi memang langkah awal yang penting. Namun, apakah itu cukup?
Nyatanya, rasa aman di transportasi publik tidak hanya ditentukan oleh operator, melainkan juga oleh sikap penumpang itu sendiri. Masih banyak korban yang memilih diam karena takut dianggap berlebihan.
Di sinilah edukasi menjadi krusial: mengajarkan bahwa bereaksi bukan berarti mencari masalah, melainkan menjaga martabat diri.Â
Dukungan penumpang lain juga sangat dibutuhkan. Kehadiran satu orang saksi yang berani menegur bisa mengubah situasi, memberi kekuatan pada korban, sekaligus membuat pelaku berpikir ulang.
Teknologi pun bisa jadi penopang. CCTV di gerbong, jalur pelaporan yang cepat, hingga respons sigap petugas akan membantu memperkuat bukti dan memperkecil ruang gerak pelaku.
Namun, yang lebih penting, tumbuhnya kesadaran kolektif: menjaga keamanan adalah tanggung jawab bersama.
Pelecehan seksual di transportasi publik bukan sekadar gangguan kecil yang bisa diabaikan, melainkan ancaman nyata yang merampas hak rasa aman setiap penumpang.
Langkah kampanye yang dilakukan operator adalah awal yang baik, tetapi semua itu akan sia-sia bila tidak dibarengi keberanian korban untuk menyatakan kebenaran dan solidaritas penumpang lain untuk saling melindungi.
Kita tidak bisa menormalisasi pelecehan dengan menganggapnya sebagai risiko wajar dalam perjalanan. Transportasi publik seharusnya menjadi ruang aman, tempat orang bisa berpindah tanpa rasa curiga atau takut disentuh secara tidak pantas.
Oleh karena itu, kampanye anti-pelecehan bukan hanya tugas operator. Ia adalah tanggung jawab kita semua.
Diam berarti membiarkan. Hanya dengan ketegasan bereaksi dan kepedulian saling menjaga, kita bisa memutus rantai pelecehan. Rasa aman bukanlah bonus dalam perjalanan, melainkan hak yang tak bisa ditawar.