Aku marah sekaligus menyesal. Bukankah seharusnya ia menegur langsung, agar si bapak itu malu dan berhenti? Namun, aku juga tak bisa membantah logikanya.
Bukti memang hampir mustahil, apalagi dalam situasi penuh sesak.
Di sinilah letak masalah besarnya: banyak korban lebih memilih diam, menanggung sendiri ketidaknyamanan, demi menghindari risiko dituduh berlebihan atau bahkan balik disalahkan.
Dampaknya bukan sekadar rasa tidak nyaman, tetapi juga terkikisnya rasa aman di ruang publik. Ketika rasa aman hilang, perjalanan sehari-hari pun berubah menjadi perjuangan mental yang melelahkan.
Upaya Operator dan Batasannya
Memahami adanya tantangan ini, operator transportasi tidak tinggal diam. KAI Commuter gencar melakukan kampanye anti-pelecehan di KRL.
Suara pengumuman rutin diperdengarkan, poster ditempel di stasiun dan gerbong, bahkan kanal pengaduan disediakan untuk memudahkan penumpang melapor.
Dalam kasus tertentu, tindakan nyata pun diambil. Seorang pelaku yang terbukti melakukan pelecehan di KRL sempat diberitakan mendapat sanksi tegas hingga masuk daftar hitam penumpang.
Langkah ini menunjukkan bahwa masalah ini tidak bisa dianggap sepele dan operator berupaya menegakkan aturan demi terciptanya ruang yang lebih aman.
Namun, tantangannya tidak kecil. Bukti kerap sulit didapat, apalagi bila pelecehan dilakukan secara terselubung di tengah keramaian. Petugas pun tidak mungkin mengawasi setiap gerbong dalam setiap perjalanan.
Pada akhirnya, upaya pencegahan ini sangat bergantung pada keberanian korban untuk bersuara serta dukungan penumpang lain sebagai saksi.
Satu orang yang berani menegur bisa mengubah suasana gerbong; keheningan sebaliknya hanya memperpanjang ruang gerak pelaku.