Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Pencinta tulisan renyah nan inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gotong Royong Ojol dan Warga Kembalikan Wajah Halte Transjakarta Senen

5 September 2025   06:44 Diperbarui: 5 September 2025   06:48 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin pagi, 1 September 2025, suasana berbeda hadir di Halte Transjakarta Senen yang sebelumnya porak-poranda akibat demo. Bukan lagi teriakan massa atau dentuman gas air mata, melainkan suara sapu lidi yang bergesekan dengan aspal, aroma cat baru yang menutup coretan vandalisme, dan ember berisi air yang dioper dari satu tangan ke tangan lain.

Rasa lelah bercampur senyum kecil menghiasi wajah-wajah yang bekerja, seolah udara hari itu membawa nadi baru bagi kota yang sempat retak.

Para pengemudi ojek online, pelajar berseragam olahraga, pedagang pasar, hingga petugas PPSU berdiri berdampingan. Mereka tak saling mengenal, tetapi disatukan oleh satu tujuan: memulihkan wajah kota yang sempat tercoreng.

Kerja bakti itu menjadi simbol baru dari sebuah demo. Dari kerusakan lahirlah perbaikan, dari rasa marah lahir solidaritas, dan dari jalanan yang porak-poranda lahir harapan akan sebuah kota yang lebih tangguh.

Jejak Kerusuhan di Ruang Publik

Demo besar yang berlangsung pekan lalu meninggalkan jejak kerusakan di beberapa titik vital transportasi Jakarta—menjadi saksi bisu bagaimana ekspresi kemarahan bisa berujung pada hilangnya rasa nyaman publik.

Kaca-kaca pecah, dinding berlumur coretan, kursi tunggu hangus terbakar, bahkan tiang penyangga dipenuhi noda arang dan debu sisa api.

Bagi warga yang sehari-hari bergantung pada fasilitas itu, kerusakan bukan sekadar soal fisik. Ia menjadi simbol keterputusan ritme hidup: orang yang biasanya menunggu bus dengan aman, kini harus mencari jalan lain; pejalan kaki yang mengandalkan JPO, kini merasa ragu menyeberang.

Namun, di balik kesuraman itu, lahirlah inisiatif bersama. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera bergerak, bukan hanya dengan alat berat atau kontraktor, melainkan dengan melibatkan masyarakat. Sebuah panggilan gotong royong disambut hangat: dari ojol yang sehari-hari mengais rezeki di jalanan, sampai pelajar yang ingin merasakan pengalaman kolektif.

Warga yang Turun Tangan

Lebih dari dua ratus orang turun tangan di kawasan Senen pada hari itu. Mereka datang dari latar belakang yang beragam, tetapi bersatu dalam satu semangat yang sama: memperbaiki rumah bersama bernama Jakarta.

Barisan paling menonjol tentu saja para pengemudi ojek online. Dengan jaket hijau yang biasanya hanya terlihat di tengah lalu lintas, mereka kali ini membawa sapu, ember, dan kuas cat.

Kehadiran mereka memberi pesan kuat: bahwa rakyat kecil yang sering dipandang sebelah mata justru menjadi ujung tombak solidaritas.

Tak kalah mencuri perhatian, para pelajar dengan seragam olahraga SMK ikut memungut pecahan kaca, mengangkut puing, hingga menyapu lantai halte yang masih berdebu arang. Gerak mereka lincah, penuh semangat, seolah energi muda itu menemukan ruang baru: menjaga dan merawat fasilitas kota.

Tak hanya itu, beberapa alumni STM pun sengaja datang, merasa terpanggil untuk ikut melindungi ruang publik yang sehari-hari mereka gunakan.

Petugas PPSU, sopir oplet, pedagang pasar, hingga warga sekitar pun menyatu dalam barisan. Mereka bekerja tanpa sekat profesi atau status. Tak ada yang lebih penting atau lebih rendah; semua memegang peran masing-masing, dari mengangkut sampah hingga mengecat ulang dinding halte.

Aksi bersama itu seolah melukiskan ulang wajah Indonesia: beragam, tetapi bisa berdiri sejajar saat kepentingan bersama dipertaruhkan.

Gotong Royong di Tengah Puing

Sejak pagi, kawasan Senen yang biasanya hiruk pikuk oleh lalu lintas berubah menjadi arena gotong royong. Di depan Halte Transjakarta Senen, para ojol terlihat bahu-membahu bersama para pelajar menyapu sisa pecahan kaca dan debu arang, lalu mengangkutnya ke truk sampah.

Di sisi lain, beberapa warga mencampur cat putih dalam ember, lalu bersama-sama menutup bekas coretan di dinding halte. Sementara itu, petugas PPSU memanjat tiang JPO untuk membersihkan sisa api yang menghitamkan besi penyangga. Bahkan ada sopir oplet yang rela meninggalkan penumpang sejenak demi ikut mengangkat besi kerangka halte yang berserakan.

Suasana aksi bersama itu tak kalah ramai dengan demo sebelumnya, tetapi kali ini energi yang hadir berbeda: bukan amarah, melainkan ketulusan. Ada yang bercanda di sela-sela menyapu, ada yang saling menyodorkan botol air minum, ada pula yang tak segan memberi tepukan semangat di punggung teman barunya.

Yang tadinya puing berserakan, perlahan berubah menjadi sarana transportasi yang kembali bisa digunakan. Dari abu kerusuhan, perlahan lahir kembali kenyamanan bagi ribuan pengguna transportasi umum.

Suara Warga Kota

Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno tidak sekadar hadir, tetapi benar-benar ikut terlibat dalam gotong royong. Tindakannya menjadi simbol bahwa pemulihan ruang publik adalah kerja bersama, tanpa memandang jabatan.

"Ini bukan sekadar aksi kebersihan, tapi bentuk terapi sosial kolektif. Aspirasi boleh disampaikan, tapi jangan sampai merusak fasilitas yang kita pakai bersama," ucap Rano di sela-sela kerja bakti.

Kerusakan fasilitas umum memang berimbas luas: anak sekolah bisa terlambat, pekerja harus memutar lebih jauh, pedagang kehilangan pelanggan.

Kehadiran dan aksi langsung Rano seolah menegaskan kembali betapa pentingnya menjaga fasilitas publik agar tetap bisa dinikmati semua lapisan masyarakat.

Pelajar SMK dan alumni STM yang ikut serta juga tampak memungut pecahan kaca, mengangkat puing, dan menyapu sisa arang yang menghitam di lantai fasilitas publik tersebut. Bagi mereka, pengalaman ini menghadirkan kebanggaan baru—bukan hanya sebagai pengguna, tetapi juga penjaga fasilitas umum.

Hal serupa terasa dari keterlibatan para ojol. Halte dan jalanan bukan hanya ruang transit penumpang, melainkan juga bagian dari ruang hidup mereka sehari-hari.

Jika fasilitas rusak, yang terdampak bukan hanya warga kota, tetapi juga mereka yang menggantungkan penghidupan di jalan. Karena itu, kehadiran mereka dalam aksi sosial ini menunjukkan kepedulian dan tanggung jawab, sebuah wujud nyata solidaritas warga kota.

Suara-suara itu menyatu, membentuk pesan bahwa kota bukanlah milik pemerintah semata, melainkan milik semua orang yang menghuninya—merawatnya, adalah tanggung jawab bersama.

Makna Kebersamaan

Aksi sukarela pascademo di Halte Senen menyimpan makna lebih dari sekadar membersihkan puing. Ia menjadi penanda bahwa di balik kerusakan selalu ada peluang untuk memperbaiki, dan di balik konflik selalu ada ruang untuk membangun solidaritas.

Gotong royong ini menunjukkan wajah lain masyarakat kota: bukan hanya penonton atau korban dari peristiwa, tetapi juga agen aktif yang mampu menghidupkan kembali ruang publik.

Bagi para pelajar, keterlibatan ini menjadi pendidikan karakter yang jauh lebih nyata dibandingkan teori di kelas—belajar langsung bagaimana merawat fasilitas bersama.

Bagi para ojol, aksi ini mengukuhkan bahwa pekerjaan mereka tak bisa dipisahkan dari kualitas ruang kota.

Dampaknya segera terasa: halte yang sehari sebelumnya gelap, kotor, dan penuh arang, kini kembali bisa digunakan. Namun lebih dari itu, ada dampak yang bersifat sosial—rasa percaya bahwa warga bisa bersatu ketika krisis terjadi.

Kehadiran pemerintah di tengah masyarakat, berpadu dengan aksi sukarela warga, menghadirkan energi kebersamaan yang jarang muncul di tengah hiruk-pikuk politik jalanan.

Kerja bakti ini seolah mengingatkan: demokrasi tak hanya soal turun ke jalan menyuarakan aspirasi, tetapi juga soal turun ke jalan merawat ruang yang kita gunakan bersama.

Dari puing kerusakan, tumbuh kembali keyakinan bahwa kota bisa lebih tangguh bila dirawat dengan gotong royong.

Harapan untuk Kota

Pagi itu, Senen bukan hanya jadi saksi kerusuhan sebelumnya, tetapi juga saksi kebangkitan solidaritas. Sarana transportasi yang sempat luluh lantak kembali berdiri lebih bersih, dan wajah-wajah lelah bercampur senyum menjadi penanda bahwa kota ini tidak pernah benar-benar runtuh selama warganya masih mau merawatnya.

Kerja bakti yang dilakukan oleh ojol, pelajar, pedagang, hingga pejabat, memberi harapan bahwa ruang publik Jakarta bisa menjadi ruang hidup bersama yang lebih manusiawi.

Ia memperlihatkan bahwa gotong royong bukan sekadar jargon masa lalu, melainkan kekuatan nyata yang masih relevan hari ini.

Harapannya, momentum ini tidak berhenti di Senen saja. Dari halte ke halte, dari taman ke trotoar, dari pasar ke jembatan, semangat merawat kota bisa terus tumbuh.

Pada akhirnya, kota bukan hanya deretan gedung dan jalan, melainkan cerminan dari warganya. Kota yang dijaga bersama, akan selalu punya daya untuk pulih dari luka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun