Hari Anak Nasional mengingatkan kita: masa kecil adalah taman yang harus dirawat dengan cinta dan kebebasan, bukan sekadar ruang tunggu kedewasaan.
Dahulu, tawa anak-anak mengudara dari lapangan kosong, jalanan kecil, atau tanah lapang penuh debu. Mereka berlari mengejar bayangan sendiri, menantang batas lewat bentengan, atau duduk berjajar main congklak sambil berbagi cerita.
Tak ada layar. Tak ada skor digital. Yang ada hanya tubuh yang bergerak, suara yang bersahut, dan hati yang belajar banyak hal dalam senangnya bermain.
Mereka belajar memimpin lewat bentengan. Belajar sabar lewat congklak. Belajar kerja sama lewat gobak sodor. Dan, hari ini? Banyak yang hanya belajar menang lewat game yang tak ajarkan tentang kalah dengan kepala tegak.
Kini, banyak rumah terasa lebih sunyi—meski penghuninya ramai. Anak-anak tak lagi memanggil teman dari pagar, tetapi sibuk mengetik pesan di dunia maya. Mereka mengenal lebih banyak karakter di gim daring daripada nama tetangga sebayanya.
Tawa mereka masih ada, tetapi lebih sering tersedot ke layar 6 inci, jauh dari tanah dan angin.
Apakah mereka bahagia?
Atau, tanpa sadar, kita mengganti bentuk kebahagiaan mereka—dan mengikis jiwanya?
Hari Anak Nasional adalah waktu yang tepat untuk bertanya:
Apakah anak-anak kita masih punya tanah untuk berlari, teman untuk berseru, dan waktu untuk bermain tanpa harus membuktikan apa-apa?
Krisis Bermain di Era Gadget
Dunia anak hari ini tak lagi terletak di tanah lapang atau lorong kampung, tetapi di layar 6 inci yang bisa dibawa ke mana-mana.Â
Bermain kini berarti duduk diam, mata terpaku, dan jari menekan layar tanpa jeda. Gerakan tubuh digantikan animasi. Suara teman digantikan efek suara digital. Interaksi langsung digantikan koneksi yang dingin.
Padahal, tubuh anak-anak dirancang untuk bergerak. Otak mereka tumbuh dari pengalaman sensorik: merasakan tanah, berlari mengejar bola, tertawa karena terjatuh.