Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Pencinta tulisan renyah nan inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Etika KRL: Antara Sarden, Super Women, dan Kucing Oyen

16 Agustus 2025   07:45 Diperbarui: 16 Agustus 2025   15:20 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerbong penuh? Bagi 'super women' KRL, selalu ada ruang ... entah di mana. (Foto: Zoshua Colah/Unsplash)

Naik KRL bukan cuma soal pindah dari stasiun A ke stasiun B. Buat jutaan orang, ini adalah potret kecil kehidupan yang penuh warna. Aturan resminya jelas, tetapi praktiknya ... kadang sungguh unik.

Di sinilah muncul cerita-cerita yang bikin kita menghela napas, nyengir, atau bahkan tertawa di tengah kepadatan.

Kalau mau tahu sifat asli manusia, lupakan seminar motivasi. Naiklah KRL saat jam pulang kantor—dalam lima detik, kamu akan melihat panggung kehidupan mini yang penuh drama, komedi, dan etika tak tertulis.

Pagar Hidup KRL: Seni Menghalangi Pintu dengan Sempurna

Kalau kamu sering naik KRL, pasti paham satu momen klasik ini: kereta berhenti di stasiun, pintu terbuka ... tetapi ada satu atau dua orang yang berdiri pas banget di depan pintu. Nggak mau keluar, nggak mau minggir, cuma jadi "pagar hidup" yang bikin arus penumpang macet.

Kadang yang nongkrong di pintu itu malah sibuk main HP, earphone nempel, nggak peduli di belakangnya sudah ada penumpang yang mau keluar sambil bawa tas besar. Kalau diibaratkan, pintu KRL itu kayak gerbang tol gratis—harusnya bikin lancar, tetapi malah jadi titik macet.

Pernah sekali aku lihat seorang bapak harus bilang tiga kali "permisi" dengan nada makin keras, baru orang di pintu itu geser sedikit. Rasanya pengen bawa peluit kayak wasit futsal, terus teriak: "Minggir dulu, biar orang bisa keluar!"

Ini bukan cuma soal malas minggir, tetapi juga tanda kalau kadang kita lupa peka sama sekitar. Yang berdiri di pintu itu kayak bikin "gelembung pribadi" di tengah arus manusia, lupa kalau ruang publik itu, ya, harus dibagi bareng jutaan orang lain tiap hari.

Begitu juga dengan penumpang yang hendak naik, tidak sabar berebut masuk. Padahal, aturan tak tertulisnya sederhana: biarkan penumpang keluar dulu, baru kita masuk. Selain bikin proses lebih cepat, ini juga mengurangi risiko senggolan atau insiden "sikut-sikutan" yang bikin suasana panas.

Etika kecil seperti ini mungkin terdengar sepele, tetapi efeknya besar. Satu orang mau cepat bergeser bisa bikin arus penumpang keluar lebih lancar. Bersabar sedikit menunggu penumpang keluar, yang lain bisa masuk tanpa drama dorong-dorongan.

Episode Sarden: Berdiri Tanpa Pegangan

Ada satu momen ajaib yang cuma bisa dirasakan di KRL pas jam sibuk: berdiri tanpa harus pegang tiang atau gantungan. Badan tegak bukan karena core training—karena tubuh kita "terjepit" rapi di antara penumpang lain. Kanan ada bapak-bapak, kiri ada mbak-mbak, depan ada tas ransel, belakang ada jaket tebal. Selesai—kita sudah jadi bagian dari "formasi sarden" yang kokoh.

Sensasinya campur aduk: hangat karena desakan manusia, tetapi juga deg-degan karena gerakan sekecil apa pun bisa bikin kita jadi "akrab" mendadak dengan orang asing. Kadang aku sampai berpikir, kalau ini diukur pakai GPS, jarak antar-penumpang pasti di bawah 10 cm.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun