Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Pencinta tulisan renyah nan inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Cinta, Tanggung Jawab, dan Harapan Baru

3 Juni 2025   13:30 Diperbarui: 3 Juni 2025   13:13 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Catatan Penulis:
Artikel kedua dari seri "Generasi Sandwich".
Masih dari napas yang sama dengan tulisan saya sebelumnya—tentang generasi yang berdiri di tengah, memikul dua arah kehidupan.

Saya sering mendengar kalimat ini: "Orang tua dulu bisa membesarkan lebih dari lima anak tanpa bantuan siapa-siapa, masa kamu cuma satu atau dua anak saja kewalahan?"

Kalimat yang sekilas penuh kebanggaan, tetapi menyimpan luka tak terlihat. Generasi orang tua kita banyak berkorban, sering kali tanpa ruang untuk bersuara. Mereka kuat, iya. Namun, banyak di antara mereka yang menua dengan kepahitan bahkan kesepian.


Kita mewarisi cinta mereka, sekaligus luka yang tak sempat mereka sembuhkan.

 
Saat Anak Menjadi Sandaran
Kita dibesarkan dengan satu ekspektasi keluarga, bisa membalas jasa orang tua. Hal yang wajar jika saat ini kita harus menjaga orang tua yang makin sensitif psikis dan fisiknya, sambil tetap mengurus anak-anak yang belum selesai sekolah, belum juga mandiri.

Kita sangat mencintai mereka, tetapi sering kali kita justru lupa mencintai diri sendiri. Hidup terasa seperti tali tambang yang ditarik dari dua arah. Makin kita berusaha kuat, makin orang lain berpikir kita baik-baik saja … padahal tidak.


Ketangguhan itu kadang membuat kita tak terlihat bahkan oleh orang-orang terdekat.

 
Dilema Peran Ganda
Kita tumbuh dalam budaya yang menjunjung pengorbanan. Mengabaikan diri sendiri dianggap mulia. Menunda kebutuhan pribadi demi keluarga dianggap bentuk cinta. Namun, lama-lama saya mulai bertanya. Jika semua kebutuhan saya kesampingkan, siapa yang akan menjaga saya tetap waras?

Beban finansial itu nyata, tetapi yang lebih berat lagi adalah beban emosional yang tak pernah sempat dibicarakan. Rasanya seperti terus-menerus diminta memberi, tanpa tahu kapan boleh menerima. Sering kali, bukan karena orang tua menuntut, melainkan karena ekspektasi itu sudah tertanam sejak kecil.


Menjaga diri bukan bentuk egois—justru itulah cara kita bisa tetap hadir dengan cinta.

 
Menyusun Ulang Harapan
Saya mulai berpikir ulang. Apakah saya ingin anak-anak saya menjalani hidup yang sama? Apakah saya ingin mereka tumbuh dengan rasa bersalah jika tak bisa membantu saya nanti? Jawaban saya jelas: tidak! Oleh karena itu, saya pun mulai mengubah cara pandang saya tentang keluarga, tentang pensiun, bahkan tentang arti sukses.

Saya tidak ingin mereka menjadi generasi sandwich berikutnya. Itu artinya, saya harus berhenti menambal semua celah. Saya harus mulai mempercayai mereka membuat pilihan, bahkan jika tidak sesuai dengan harapan saya. Saya pun mulai terbuka bicara soal batasan, tentang keinginan saya di masa tua nanti.


Kita tak bisa mengubah masa lalu bersama orang tua kita, tetapi kita bisa menciptakan masa depan yang berbeda untuk anak-anak kita.

 
Ketika Anak Melihat Lelah Kita
Kita membesarkan anak-anak di tengah perjuangan yang mereka lihat setiap hari—bukan hanya mendengar lewat nasihat. Mereka tumbuh menyaksikan kita kelelahan, menunda mimpi, menahan keluh, dan tetap “kuat” karena merasa tidak punya pilihan. Kita pikir mereka belum cukup umur untuk memahami. Padahal, justru karena mereka melihat, bukan sekadar mendengar, mereka menyerap semuanya lebih dalam.

Lalu, kita mulai mendengar kalimat seperti: “Aku takut nikah.”; “Nggak yakin mau punya anak.”; “Punya keluarga kok kayaknya capek banget, ya?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun