Pernahkah kita menghitung, berapa banyak “tiket kebutuhan” yang harus kita bayar setiap bulan—bukan cuma untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang tua dan anak-anak? Jika iya, selamat datang di realitas generasi sandwich.
Generasi yang diposisikan sebagai tumpuan dua arah: menopang hidup keluarga di atas dan keluarga di bawah, sekaligus mencoba bertahan untuk diri sendiri.
Saya Gen X. Usia saya sudah masuk kepala lima. Di saat sebagian teman mulai bicara soal pensiun atau menikmati masa tua, saya justru masih sibuk menyeimbangkan dua ujung kehidupan.
Orang tua saya yang makin rentan dan butuh perhatian penuh, sementara anak-anak saya—ada yang milenial, ada yang Gen Z—masih butuh banyak dukungan, dari biaya pendidikan sampai arah hidup.
Di tengah semua ini, saya mulai bertanya ke diri sendiri: apakah mimpi untuk pensiun masih mungkin … atau justru makin jauh dari jangkauan?
Dilema Gen X
Hidup sebagai Gen X berarti berada di persimpangan yang rumit. Di satu sisi, kami tetap anak dari orang tua yang mulai kehilangan kemandirian.
Di sisi lain, kami orang tua dari anak-anak yang sedang merintis hidup di dunia yang makin kompetitif. Rasanya seperti jadi jembatan yang memikul dua sisi—masa lalu bersama orang tua dan masa depan bersama anak-anak. Tertarik di antara dua tali kehidupan yang terus menuntut arah.
Terkadang muncul perasaan lelah, meski bukan berarti menyerah. Ini bukan soal mengeluh, melainkan mengakui adanya batas.
Mengakui realitas bukan tanda kelemahan—itu langkah pertama menuju keputusan yang lebih sehat.
Impian Masa Lalu yang Ingin Saya Percaya Lagi
Saya ingat dulu membayangkan usia 55 sebagai waktu pensiun. Pikiran saya saat itu: saya akan punya cukup tabungan, tinggal di tempat yang tenang, dan punya waktu untuk diri sendiri. Kenyataannya, realitas seringkali tak seindah imajinasi masa muda.