Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Pencinta tulisan renyah nan inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Permata Kata Ibu Pertiwi, Temukan Kembali Bahasa Indonesia yang Memikat Hati

3 Juli 2025   07:25 Diperbarui: 5 Juli 2025   10:32 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa bisa kembali lewat tatap dan tawa. Di sinilah permata kata menemukan rumah: di antara ibu dan anak. (edsavi30/Pixabay)

Mungkin bukan makna, mungkin bukan pemahaman penuh. Mungkin itu benih rasa— yang suatu hari akan tumbuh menjadi bahasa jiwanya sendiri.

"Ibu, wanodya itu aku?" tanyanya memecah hening.
"Ya, Nak. Wanodya itu gadis remaja sepertimu."
"Kalau Arunika, aku tahu," katanya cepat. "Itu cahaya matahari yang muncul setelah terbit, kan? Itu juga ... namaku!"
Aku tersenyum. "Betul, Run. Bagi Ibu, kamu akan selalu menjadi cahaya Ibu."

Arun mengecup pipiku sebelum kembali bertanya,"Kalau wiyata? Kayak pernah denger, tapi Arun lupa artinya."
"Wiyata itu pelajaran. Bersamamu, Ibu belajar lebih banyak hal tentang hidup."
"Ah, baiklah. Arun pun begitu."

Binar matanya menyiratkan ketulusan. Aku mengelus gelombang rambut ikalnya, lembut.
"Ibu suka sekali kata sandikala. Orang biasa menyebutnya senja kala— campuran merah, kuning, dan jingga, yang hadir saat matahari mulai pulang ke peraduan."

"Iya, cantik, ya? Kayak Arunika. Namaku, hehehe." Kami pun tertawa bersama, menyambut 'narsis manis'-nya.

Obrolan kami terhenti sejenak ketika cerek listrik berbunyi. Kami beranjak ke dapur untuk membuat coklat hangat. Sajian yang pas untuk pagi yang dingin ini.

Kami pun duduk kembali di ruang tengah, membawa dua cangkir coklat hangat. Uapnya melambai-lambai seperti ingin ikut mendengar percakapan kami.

"Bu," katanya pelan, sambil memandang puisiku yang tadi kubacakan, "apa itu ... cempala?"

"Cempala itu alat pemukul kotak wayang, Sayang. Dalam pergelaran wayang kulit, cempala dipukul sebagai isyarat. Tahu wayang, kan?"
Kulanjutkan kalimatku setelah melihat Arun mengangguk. "Tapi, di puisi Ibu, itu bukan tentang wayang. Itu tentang suara yang tak sempat Ibu keluarkan. Ekspresi yang tertahan."

"Ooo ...." Ia menyeruput coklatnya, matanya seperti tengah menimbang makna. "Terus, dersik?"
"Dersik itu suara lembut. Biasanya dari angin, atau desir kecil di antara daun. Lembut sekali. Hampir tak terdengar."
"Hmm ... kayak suara bayu ya?"
"Ya. Kadang bukan cuma terdengar, tapi juga terasa."

Ia manggut-manggut. Lalu, dengan wajah yang sangat penasaran, ia bertanya kembali, "Kalau petrikor?"
"Ah, itu aroma yang muncul setelah hujan pertama menyapa tanah kering."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun