Aku berhenti sejenak. "Bagi Ibu, itu seperti aroma pulang. Hangat. Bersahaja."
Dia tersenyum kecil. "Aku suka itu," katanya. "Petrikor. Aku pernah nyium aromanya, tapi nggak tahu namanya."
Aku mengangguk, dan dengan perlahan menggenggam tangannya.
"Itulah gunanya kata-kata, Run. Memberi nama untuk rasa yang dulu hanya bisa kita simpan diam-diam."
"Terakhir, Bu ... renjana. Itu cinta, ya?"
Aku tersenyum. "Renjana itu lebih dari cinta. Ia hasrat yang dalam. Keinginan yang tumbuh dari hati dan jiwa. Tidak hanya ingin, tetapi ingin sekali ... sampai kau rela menjalaninya sepenuh hati."
Ia terdiam. Lama. Lalu bersandar di pundakku.
"Kalau begitu, Ibu ... renjana-ku mungkin adalah menulis puisi."
Aku memeluknya pelan.
"Dan kamu, Run ... adalah renjana yang tak pernah Ibu minta, tapi syukuri setiap hari."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI