"Ibu, aku nemu puisi ini. Bagus banget, tapi banyak kata yang aku nggak ngerti. Padahal bahasa Indonesia, lo."
Ia duduk di sampingku, ponsel di tangannya menyala. Layar itu menampilkan puisi berlatarkan langit jingga. Mungkin tangkapan layar dari Pinterest, atau dari seseorang yang baru saja jatuh cinta pada kata. Aku membacanya perlahan.
Langit yang Tak Sempat Kita Namai
Ada salindia yang terjatuh di pagi buta,
tayangan kenangan yang tak sempat kusebut namanya.
Di atas langit lazuardi, kutuliskan rinduku---
pada peluk yang tak selesai, pada tanya yang tak terjawab.
Kita pernah berjalan di jalan rumpil,
memunguti pendar cahaya dari sisa-sisa hari.
Tapi sendu datang tanpa suara,
duduk di beranda, menyeruput sepi perlahan.
Lalu senja menutup lembayungnya,
dan aku tak tahu lagi
apakah itu luka ... atau hanya musim yang berpindah.
Tak puas sekali, kuulang kembali menikmati puisi itu. Kata demi kata mungkin asing bagi generasinya, tetapi begitu akrab bagi batinku. Aku menatap wajahnya—mata yang penasaran, hati yang belum terbiasa dengan keindahan sunyi.
"Salindia itu apa, Bu?"
"Itu padanan baru untuk 'slide' atau gambar tayang. Tapi di sini, artinya seperti potongan kenangan yang bergerak pelan."
"Lazuardi?"
"Langit biru yang terang. Bukan biru biasa—yang ini seperti menggambarkan harapan."
"Rumpil?"
"Jalan kecil yang tidak rata. Seperti perjalanan hidup."
"Sendu?"
"Sedih yang lembut. Tanpa isak, tanpa ribut."
"Lembayung?"
"Itu warna senja antara ungu dan jingga. Waktu langit menutup harinya dengan pelan."
Ia mencatat semuanya. Tangannya bergerak cepat dalam diam—seperti sedang menyerap tidak hanya arti, tetapi rasa.
Malam itu, saat ia tertidur, aku menulis sebuah puisi. Bukan untuk tugas sekolah. Bukan untuk media sosial. Kubuat khusus untuknya—untuk wanodyaku, anak perempuanku, yang membawa pulang kata-kata yang hampir kami lupakan.
Bahasa yang Merawat Diri
Wanodyaku,
Kau hadir bak arunika,
membawa kehangatan dan keindahan hidup.
Hari-hari bersamamu adalah wiyata:
bahagia, tawa, ceria ... dan juga tangis.
Hingga aku belajar
menyebut luka dengan bahasa yang lembut.
Di antara sandikala berganti dan tilas kenangan,
aku pernah menyimpan sunyi
dalam tengadah yang tak dimengerti siapa pun.
Namun,
hari ini, saat kau menyebut kata-kata yang tenang,
jiwaku yang lelah ... seperti disentuh embun.
Kini, izinkan Ibu bicara dengan bahasa sendiri:
tentang cempala yang tak sempat Ibu mainkan,
tentang dersik yang terdengar kala bayu bermain,
tentang petrikor yang hadir saat hujan menyapa tanah,
tentang renjana yang ingin kau raih sepenuh hati.
Jadi, Nak ...
tak apa kau pakai kata yang mungkin terdengar usang.
Karena justru di sanalah,
kita bisa menemukan diri
yang jujur menari bersama aksara.
Esok paginya, aku bacakan puisi itu padanya.
Ia tak banyak bicara, hanya tersenyum kecil. Namun, dalam senyum dan binar matanya, aku tahu kata-kata itu telah menenun sesuatu.
Mungkin bukan makna, mungkin bukan pemahaman penuh. Mungkin itu benih rasa— yang suatu hari akan tumbuh menjadi bahasa jiwanya sendiri.
"Ibu, wanodya itu aku?" tanyanya memecah hening.
"Ya, Nak. Wanodya itu gadis remaja sepertimu."
"Kalau Arunika, aku tahu," katanya cepat. "Itu cahaya matahari yang muncul setelah terbit, kan? Itu juga ... namaku!"
Aku tersenyum. "Betul, Run. Bagi Ibu, kamu akan selalu menjadi cahaya Ibu."
Arun mengecup pipiku sebelum kembali bertanya,"Kalau wiyata? Kayak pernah denger, tapi Arun lupa artinya."
"Wiyata itu pelajaran. Bersamamu, Ibu belajar lebih banyak hal tentang hidup."
"Ah, baiklah. Arun pun begitu."
Binar matanya menyiratkan ketulusan. Aku mengelus gelombang rambut ikalnya, lembut.
"Ibu suka sekali kata sandikala. Orang biasa menyebutnya senja kala— campuran merah, kuning, dan jingga, yang hadir saat matahari mulai pulang ke peraduan."
"Iya, cantik, ya? Kayak Arunika. Namaku, hehehe." Kami pun tertawa bersama, menyambut 'narsis manis'-nya.
Obrolan kami terhenti sejenak ketika cerek listrik berbunyi. Kami beranjak ke dapur untuk membuat coklat hangat. Sajian yang pas untuk pagi yang dingin ini.
Kami pun duduk kembali di ruang tengah, membawa dua cangkir coklat hangat. Uapnya melambai-lambai seperti ingin ikut mendengar percakapan kami.
"Bu," katanya pelan, sambil memandang puisiku yang tadi kubacakan, "apa itu ... cempala?"
"Cempala itu alat pemukul kotak wayang, Sayang. Dalam pergelaran wayang kulit, cempala dipukul sebagai isyarat. Tahu wayang, kan?"
Kulanjutkan kalimatku setelah melihat Arun mengangguk. "Tapi, di puisi Ibu, itu bukan tentang wayang. Itu tentang suara yang tak sempat Ibu keluarkan. Ekspresi yang tertahan."
"Ooo ...." Ia menyeruput coklatnya, matanya seperti tengah menimbang makna. "Terus, dersik?"
"Dersik itu suara lembut. Biasanya dari angin, atau desir kecil di antara daun. Lembut sekali. Hampir tak terdengar."
"Hmm ... kayak suara bayu ya?"
"Ya. Kadang bukan cuma terdengar, tapi juga terasa."
Ia manggut-manggut. Lalu, dengan wajah yang sangat penasaran, ia bertanya kembali, "Kalau petrikor?"
"Ah, itu aroma yang muncul setelah hujan pertama menyapa tanah kering."
Aku berhenti sejenak. "Bagi Ibu, itu seperti aroma pulang. Hangat. Bersahaja."
Dia tersenyum kecil. "Aku suka itu," katanya. "Petrikor. Aku pernah nyium aromanya, tapi nggak tahu namanya."
Aku mengangguk, dan dengan perlahan menggenggam tangannya.
"Itulah gunanya kata-kata, Run. Memberi nama untuk rasa yang dulu hanya bisa kita simpan diam-diam."
"Terakhir, Bu ... renjana. Itu cinta, ya?"
Aku tersenyum. "Renjana itu lebih dari cinta. Ia hasrat yang dalam. Keinginan yang tumbuh dari hati dan jiwa. Tidak hanya ingin, tetapi ingin sekali ... sampai kau rela menjalaninya sepenuh hati."
Ia terdiam. Lama. Lalu bersandar di pundakku.
"Kalau begitu, Ibu ... renjana-ku mungkin adalah menulis puisi."
Aku memeluknya pelan.
"Dan kamu, Run ... adalah renjana yang tak pernah Ibu minta, tapi syukuri setiap hari."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI