Mohon tunggu...
Money

Perkembangan Fintech dalam Usaha Mikro di Indonesia

8 Mei 2019   21:53 Diperbarui: 9 Mei 2019   08:43 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Perekonomian global tahun 2018 bisa dikatakan kurang menguntungkan, dibuktikan dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia dari 3.8% pada 2017 menjadi 3.7% pada 2018. Namun Indonesia tercatat memiliki peningkatan nilai pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 sebesar 1% dibandingkan pada tahun 2017 (Bank Indonesia,2018). Pertumbuhan ekonomi Indonesia ini memberikan kesempatan untuk memperbaiki tingkat penganguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial di Indonesia. Saat ini, tingkat kemiskinan Indonesia pada Maret 2018 adalah 9.82% dan pada September 2018 sebesar 9.66% dengan total penduduk miskin Indonesia sebesar 25.67 Juta, maka pada September 2018 berhasil menurunkan 910 ribu jiwa penduduk miskin dibandingkan dengan September 2017.  (Bank Indonesia,2018). 

Sehingga dewasa ini, pemerintah sedang gencar-gencarnya mendorong aktifitas industri di Indonesia yang dianggap menjadi penggerak utama dalam pembangunan ekonomi Indonesia, salah satunya adalah dengan mendorong perbaikan faktor produksi. Namun jika dilihat lebih jauh lagi, peningkatan faktor produksi ini tidaklah terlepas dengan tingkat ketersediaan modal bagi penggiat usaha. Faktanya hanya kurang lebih sebesar 22% penduduk Indonesia yang terkoneksi dengan institusi finansial formal, sisanya 81.5% penduduk Indonesia tidak memiliki akses permodalan yang cukup dengan institusi finansial formal. (KPMG,2015)

Berdasarkan kondisi diatas, tidaklah mengherankan, walaupun populasi penduduk miskin di Indonesia telah berkurang namun tetap menjadi jumlah yang besar. Kurangnya permodalan menjadi salah satu akar dari kemiskinan, modal yang kurang akan menyebabkan masyarakat kurang produktif, terkendalanya perkembangan usaha sehingga pendapatan masyarakat pun rendah . Pendapatan rendah menyebabkan kurangnya kemampuan mencukupi nutrisi dan pendidikan anak dalam keluarga miskin yang pada akhirnya akan menjadi genarasi dengan SDM yang rendah. SDM rendah yang tercipta akan kembali pada siklus tidak adanya akses permodalan sebagai penggerak perekonomian dan kemiskinan akan terus terjadi seperti siklus yang tak pernah terputus.

Menyadari dari kondisi ini, hadirlah istilah microfinance sebagai jawaban pelayanan finansial pada segmen masyarakat dengan pendapatan rendah termasuk didalamnya adalah sistem micro credit, micro saving, dan micro-insurance. Melalui microfinance ini dapat lebih menaungi masyarakat pendapatan rendah untuk mendapatkan modal, diawali oleh usaha pemerintah melalui didirikannya BRI pada tahun 1895 sebagai bank bagi masyarakat era kini sudah banyak inovasi untuk dalam bidang microfinance. Kemudian dari segi penyedia layanan microfinance juga semakin bertambah baik dari segi micro-credit, micro saving, ataupun micro insurance. Akhirnya diharapkan melalui bantuan sistem microfinance ini kemiskinan penduduk indonesia dapat lebih cepat menurun dan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pun dapat lebih menanjak kembali.

1. Usaha Mikro Finance 

Dalam era kini, beragam usaha ekonomi berkembang di masyarakat, mulai dari usaha mikro hingga usaha makro. Keduanya memegang peranan penting dalam perekonomian di Indonesia karena melibatkan berbagai kalangan pengusaha baik perorangan maupun lingkup perusahaan internasional. Konsep usaha mikro dan makro di Indonesia dijelaskan melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2008. UU tersebut menjelaskan tentang usaha mikro, kecil, dan menengah. Berdasarkan UU tersebut usaha mikro merupakan usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro. Adapun kriteria usaha mikro yaitu memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Sedangkan, usaha makro yang dalam hal ini disebut usaha besar dalam bab 1 pasal 1 poin 4 UU No.20 Tahun 2008 adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha yang jumlah kekayaan bersihnya atau hasil penjualan tahunan usaha lebih besar dari usaha menengah. Usaha besar/makro meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Kedua jenis usaha tersebut sama-sama bertujuan untuk membangun perekonomian nasional.

Perlu diketahui terdapat berbagai jenis usaha mikro yang banyak berkembang di masyarakat diantaranya usaha pertanian (petani dan penggarap), peternakan, perikanan, pembudidaya, selain itu yang marak berkembang saat ini adalah industri kuliner, mode, elektronik, dan usaha digital kreatif.  Terkait pengembangan usaha mikro tersebut, para pengusaha kecil ataupun pemula dapat memanfaatkan 'microfinance' sebagai sumber permodalan. Menurut Asian Development Bank (ADB), lembaga keuangan mikro atau microfinance adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan, kredit , pembayaran berbagai transaksi jasa serta transfer dana yang ditujukan bagi masyarakat kurang mampu dan pengusaha kecil. Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro atau dalam hal ini disebut microfinance merupakan kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak seratus juta rupiah per tahun. Adapun di Indonesia terdapat lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro umumnya disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang juga menggunakan konsep microfinance.

Misi utama dari microfinance adalah memberikan dana bantuan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (microcredit), sehingga mampu menjadi sarana pemberantas kemiskinan, mewujudkan pendidikan sesuai cita-cita nasional, mengembangkan jiwa kewirausahaan, dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat untuk membentuk UMKM. Hadirnya konsep microfinance ini mampu menjadi alternatif bagi masyarakat yang berasal dari lapisan ekonomi kelas bawah untuk memperoleh pinjaman, sebab persyaratan dalam proses peminjaman cenderung lebih mudah dan prosedur sederhana.

2. Jenis Usaha Mikro Fintek di Indonesia

Salah satu perkembangan industri fintek yang membawa perubahan ke dalam keseluruhan industri keuangan global termasuk Indonesia yakni PT Amartha Fintek (Amartha). Salah satu pilihan produk investasi yang dikembangkan adalah investasi dengan konsep Peer-To-Peer (P2P) micro lending sejak tahun 2016 dimana sebelumnya pada tahun 2010 berbasis lembaga keuangan mikro. Amartha menawarkan peluang bagi investor yang ingin memberikan akses permodalan, untuk terhubung dengan pengusaha mikro di pedesaan yang membutuhkan pendanaan.

Perkembangan industri P2P micro lending diprediksi akan terus bertambah sejalan dengan potensi pasar yang masih besar. Berdasarkan data lembaga riset Morgan Stanley, dana yang beredar di P2P micro lending global akan meningkat signifikan pada tahun 2020 dengan capaian nilai sebesar US 150-490 miliar. Indonesia fintek disambut dengan baik oleh pemerintah dan regulator. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berusaha mendorong pertumbuhan dan mengawasi industri ini dengan cara memitigasi risiko lebih dini maka terbitlah Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi atau Peer-to-Peer (P2P) Lending, peraturan tersebut akan disusul dengan ketentuan lain terkait fintek agar regulasi semakin jjelas dan juga lengkap (Supriadi, 2017).

3. Komponen Pendukung Mikro Fintech

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memberikan dampak yang baik bagi masyarakat di era informasi ini. Masyarakat telah dimudahkan untuk mencari berbagai macam informasi dengan adanya Teknologi Informasi dan Komunikasi (Porter, 2001). Salah satu contohnya yaitu Platform Online. Platform Online merupakan salah satu komponen pendukung suksesnya mikro fintek. Pembuatan Platform online untuk orang-orang yang tidak memiliki akun bank merupakan salah satu upaya untuk mendukung mikro fintek ini terus berjalan. Dengan membuat platform online diharapkan mikro fintek ini dapat dimanfaatkan oleh semua kalangan, mulai dari kalangan bawah hingga kalangan atas.

            Pembuatan platform online dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat. Ada 3 komponen penting yang mendasari keberjalanan suatu usaha mikro fintek, diantaranya yaitu jejak sosial, teknologi, dan skala keberlanjutan. Jejak sosial menjadi komponen penting dalam pembuatan platform online, karena dengan mengetahui latar belakang konsumen mikro fintek, pembuatan platform online dapat menyesuaikan. Ke-tiga komponen diatas memiliki keterkaitan satu sama lain yang tidak bisa dipisahkan. Teknologi menjadi dasar dalam mengetahui jejak sosial dan keberlanjutan yang diinginkan akan diperoleh.

4. Kelebihan dan Kelemahan Microlending Berbasis Microfintech

Usaha microlending yang berbasis mikro fintech memiliki lebih banyak kelebihan dibanding kelemahan. Kelebihan dari konsep ini adalah masyarakat menengah kebawah yang membutuhkan modal untuk UKMnya masing-masing bisa mendapatkan akses terhadap permodalan secara mudah. Kemudahan ini berbanding terbalik dengan konsep permodalan konservatif yang selama ini diterapkan, dimana jumlahnya ditentukan dalam jumlah dan juga jaminan yang diperlukan biasanya cukup besar nilainya. Dengan adanya microlending yang berbasis mikro fintech ini, para pengusaha menengah kebawah dapat meminjam modal dalam jumlah yang terjangkau. Sementara dari sisi microfintechnya, kelebihannya adalah kepraktisan akses. Ketika akses mudah, maka masyarakat akan semakin termotivasi untuk bekerja mengembangkan usahanya (Muchlis, 2018).

Namun bukan berarti konsep ini tidak memiliki kelemahan. Mayoritas sasaran dari microlending berbasis mikro fintech ini adalah pengusaha-pengusaha kecil di desa-desa yang selama ini kurang terexpose terhadap teknologi digital. Sehingga untuk memperkenalkan teknis dari micro fintech ini sendiri dibutuhkan usaha yang cukup serius, seperti cara mengoperasikan gawai untuk mengakses micro fintech ini. Namun dengan usaha yang optimal serta antusiasme masyarakat, pada akhirnya hal ini seharusnya tidak menjadi halangan yang besar (Muchlis, 2018).

5. Standar Halal Usaha Fintech

            Fintech yang dibahas dalam makalah ini berupa microfintech dengan fokus microlending. Sistem yang dijalankan adalah Peer-to-peer lending (P2P lending), yaitu wadah basis online yang mempertemukan banyak orang yang sedang butuh pinjaman (sebagai borrower) dengan banyak orang lainnya yang bersedia memberikan pinjaman (investor) (Sarwono, 2015).  Sistem P2P lending yang berjalan sepenuhnya berbasis online membuat perusahaan perusahaan penyedia jasa P2P Lending dapat berjalan dengan biaya operasional yang murah dan menawarkan jasa mereka dengan biaya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan perusahaan perbankan biasa. Sebagai hasilnya, pemberi pinjaman dapat keuntungan lebih besar dibanding di lembaga keuangan biasa. Tidak hanya pemberi pinjaman, pihak peminjam juga dapat merasakan keuntungan jika mereka melakukan pinjam meminjam uang melalui P2P Lending. Para peminjam dapat meminjam uang dengan suku bunga yang rendah, bahkan setelah perusahaan penyedia jasa P2P Lending sudah memotong biaya layanan jasa mereka, seperti biaya platform dan pemeriksaan kondisi keuangan sang peminjam (Ghazali & Yasuoka, 2018).

            Kemajuan teknologi membuat proses peminjaman modal usaha berkembang karena terjadinya permintaan masyarakat akan kemudahan dalam segala hal termasuk di sektor teknologi finansial. Meningkatnya fintech di pasar global juga menuntut sektor keuangan islam untuk berinovasi Penerapan fintech tidak bertentangan dengan hukum Islam, selama transaksi jual beli dilakukan dengan proses ijab kabul atau dengan prinsip ketertarikan antara penjual dan pembeli. Fungsi fintech yang ditujukan dalam memudahkan kegiatan keuangan manusia dapat diterapkan dalam ekonomi islam karena fintech syariah dimaksudkan dalam membantu UMKM dalam mendapatkan modal dan sertifikat halal bagi produk yang dijual. Penerapan fintech Syariah memiliki potensi yang bagus karena penduduk Indonesia 85% mayoritas muslim. Namun, jumlah dari fintech syariah di Indonesia masih sangat kecil. Fintech didominasi oleh bisnis finansial konvensional (Rumondang, 2018).

Startup fintech di Indonesia masih kurang. Namun, tahun 2015 beberapa perusahaan mulai mendirikan fintech Syariah seperti Paytren dan SyarQ. Paytren adalah fintech local syariah terbesar di Indonesia yang menerapkan hukum Syariah. Keuntungan dari fintech Syariah harus diukur secara kuantitatif. Keuntungan ini diterima dari pengguna fintech Syariah berdasarkan pengalaman dan kepuasan pengguna karena dapat merasakan positif dari produk yang digunakan (Ganesan, 1994).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun