Mohon tunggu...
Mahendra Dilegant
Mahendra Dilegant Mohon Tunggu... Mahasiswa - Cerpenis, Catatan Perjalanan dan Filosofis Esai.

Membebaskan diri dari segala belenggu duniawi dengan menulis. Menyukai kebebasan tulisan yang mengandung sarkasme dan liberal.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kelakar Tuan Tanah, "Ada Hikmah di Balik Peci Uang Itu, tuanku"

31 Oktober 2022   04:03 Diperbarui: 31 Oktober 2022   06:34 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Baju bergaris-garis itu baju-ku. "Bila ketemu engkau dengan pemangku hukum, orang pertama yang harus disalahkan karena kebodohan adalah orang yang paling pendiam."

Muhammad Salih, nama nya lahir dari kandang bambu yang ditinggali sepasang madu dari Kebumen. Ia mengangguk-ngangguk selama Sekolah Dasar karena tak punya buku, sepatunya hanya sepasang jahitan karet yang ditambal dengan goni, bajunya juga lusuh tak tergosok, baju besar seukuran anak kelas enam ia pakai sedari duduk di bangku kelas tujuh. Bagaimana tak sakit mata sang guru melihat Salih yang menunjuk-nunjuk papan tulis, berujarlah sang guru, "Nak, kalian sekolah harus niat, ya! Belajarlah kalian di rumah! Jangan jadi orang bodoh!" Tapi tak dielusnya ujar sang ibu, Salih bisa sekolah saja syukurnya bukan main.

Bila terbit matahari pagi, yang pertama kali Salih lakukan adalah mengikat kayu-kayu dengan daun pandan kering di samping rumah, kayu-kayu ini adalah makanan pokok bagi ia sekeluarga. Ayahnya mengumpulkan ranting sore hari, selepas memijit sawah yang tidak dialiri air, anak ku, air mahal harganya, cukuplah kita tanam sawah dengan jewawut, tanah yang tiga jengkal ini memang tak akan menghasilkan uang banyak, namun ia selalu cukup untuk membuat kita sekeluarga masih hidup.

Rabiul Awwal tiba, menyambut hari lahir sang nabi agung, Salih dan bapak pergi ke surau, niat hati untuk menguntil makanan yang dipajang seiring ceramah berlangsung. Hampir  dua jam acara dimulai, Ustadz Habibullah baru naik ke podium. Dilihatnya raut-raut wajah jama'ah yang mengincar hidangan maulidan. Tertawalah sang ustadz, mulai ia berbicara, berujar ia tentang kekayaan Allah SWT. Tuhan seisi langit, pemilik segala keindahan dan perhiasan. Salih melihat dirinya, tak ada satupun perhiasan menempel pada badannya, tidak emas, tidak kulit putih mulus, tidak juga wajah yang tampan atau pakaian yang berkilauan. Bertanya ia dalam hati, bila aku mati miskin, maka yang salah aku atau Allah. Bila Allah kaya, maka boleh lah sekiranya ia dandan aku ini, ingin sekali aku anggun sebagaimana pesan-pesan Ustadz Habibullah.

Berbait puisi diujarkan oleh sang ustadz, menambah khidmat hari Maulid ini. Namun hingga penghujung acara, Salih tak sesekali mengantongi sesaji, ia masih ingin mendengar syair-syair ustadz Habibulallah, ingin ia bertanya langsung sebenarnya tuhan ini sekaya apa dan seadil apa ia dalam mendistribusikan kekayaanya. Bila Tuhan maha adil, maka bohong ada orang kaya dan orang miskin, juga bohong kalau Salih hanya memakai sepatu usang, disandingkan nasibnya dengan ucapan bu guru di sekolah, oo... Tuhan... engkau ini nyata apa tidak? Kering mulut ku menyebut nama-mu, menyangdingkan engkau dengan dunia fatamorgana yang ada di otak-ku ini.

Salih merambat maju, dilawannya segala rasa takut, juga dipecundanginya rayuan-rayuan ke-Tuhanan yang memintanya berbeda antara ia dengan ustadz Habibullah. Berdiri ia, tegak tanpa sedikitpun rasa takut, matanya memerah memandangi ustadz Habibullah, orang yang mengarang cerita-cerita ilahi yang jelas-jelas tak benar baginya. Salih mengusap liur nya, petentengan langkahnya melebihi preman di pasar kecamatan, ia juga melangkah sedikit sombong, baru ia kalahkan rasa syukur yang jelas-jelas menyakiti nurani.

"Ustadz, Allah itu Tuhan-nya Muhammad saja atau Tuhan semua orang? Bila kau jawab ia, maka aku akan menanyai-mu ribuan aduan dari hidup-ku yang malang??" 

Ditantangnya ustadz Habibullah. Jangan anggap seseorang yang sudah dizolimi akan takut kepada utusan orang yang mendzoliminya. 'Salih sudah dizolimi Tuhan'. Ia tak hidup sebagaimana orang lain, ia juga tak tahu apakah benar-benar ada kekaaan yang Tuhan berikan kepadanya. Bukankah orang kaya tahu bahwa ia kaya? Namun Salih, ia yang dikarunia kekayaan oleh Tuhan yang maha kaya tak pernah sedikitpun merasa kelebihan uang, yang ada hanyalah ikhwan siksaan-siksaan batin melihat bapak yang selalu menangis saat makan nasi, berapakah kekayaan Tuhan selanjutnya? Apakah adil menanyai Tuhan secara langsung mengenai hal ini??

......

**Konten berlanjut---***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun