Pagi hari itu kami memulai matkul Pendidikan Pancasila dengan online lagi. Dosen menjelaskan kepada kita bahwa bila tidak ada pembelajaran maka kita akan membuat catatan berupa komentar dari sebuah artikel. Beliau juga menanyakan tentang apakah kelompok dari setiap kelas sudah siap untuk presentasi. Karna belum ada yang siap beliau memberi tugas pada kami.Â
Artikel yang saya pilih berjudul *Kemiskinan Moral dalam Komunikasi Politik: Dari Wakil Rakyat ke Warga Negara*. Artikel ini menghadirkan kritik tajam terhadap cara komunikasi politik yang terjadi antara wakil rakyat dan warga negara, terutama ketika wakil rakyat memakai bahasa kasar, penghinaan, dan retorika serangan ketimbang dialog etis dan argumentatif. Penulis menyebut bahwa semua itu bukan hanya soal kesalahan gaya, melainkan sebuah kemiskinan moral yaitu hilangnya etika, kehormatan pribadi, dan kepercayaan publik.
Dari sudut pandang saya, ada beberapa hal penting yang muncul dan patut disorot:
1. Ketiadaan penghormatan terhadap martabat publik
Ketika seorang anggota dewan melepas pernyataan kasar seperti "Orang yang bubarkan DPR orang tolol sedunia," itu bukan hanya soal emosi atau kekesalan sesaat, melainkan menunjukkan bahwa komunikasi politik yang seharusnya mendidik dan membina, telah berubah menjadi lahan saling menjatuhkan dan mendominasi. Martabat publik baik bagi yang berbicara maupun yang mendengarkan terganggu.
2. Hilangkan jembatan dialog
Komunikasi politik idealnya menjadi penghubung antara wakil rakyat dan rakyat. Tetapi ketika bahasa dipenuhi cacian dan hinaan, bukan hanya dialog yang runtuh, melainkan muncul jarak, sinisme, dan ketidakpercayaan. Rakyat merasa tidak didengar, atau bahkan diperlakukan dengan rendah.
3. Kerusakan legitimasi
Penulis menyebut bahwa penggunaan retorika kasar oleh wakil rakyat melepaskan mereka dari legitimasinya. Formalnya mereka tetap wakil rakyat tapi secara moral dan dari sisi kepercayaan publik, mereka kehilangan "modal" utama: kepercayaan dan wibawa. Tanpa elemen-elemen itu, wakil rakyat mungkin jabatannya tetap ada di atas kertas, tetapi menjadi kosong makna bagi rakyat yang seharusnya diwakili.
4. Kurang imajinasi politik dan empati
Artikel ini menengarai bahwa serangan verbal dan hinaan sesungguhnya mencerminkan kelemahan cara berpikir politik: tidak ada usaha membangun gagasan, merangkul keberagaman, atau mengedepankan empati terhadap rakyat yang berbeda pandangan atau latar belakang. Sebaliknya, pilihan jatuh ke penghinaan karena sepertinya "lebih mudah," cepat, dan menghasilkan efek emosional.