Setiap kali melakukan transaksi keuangan di merchant favorit, kita dihadapkan pada dua pilihan sederhana: memindai kode QRIS di meja kasir, atau menggesek kartu debit berlogo prinsipal global di dompet. Dua pilihan ini tampak setara di permukaan – keduanya memindahkan uang dari kantong kita ke kasir – namun di balik layar, ada narasi besar tentang kedaulatan sistem pembayaran nasional. Dalam beberapa hari terakhir, isu tentang QRIS, GPN, dan dominasi jaringan global terus bergulir dengan simpang-siur informasi. Sebagai bagian dari masyarakat dan pengguna layanan keuangan, kita merasa penting untuk memahami dan mengkritisi perkembangan ini dari sudut pandang pribadi. Bagaimana sebenarnya upaya Indonesia membangun kedaulatan pembayaran? Mengapa kita perlu peduli siapa yang mengendalikan jaringan transaksi kita? Mari kita telusuri lebih dalam secara santai namun kritis.
Mengenal QRIS dan GPN: Standar Lokal di Bawah Bayang-Bayang Global
Pada tahun 2019, Bank Indonesia memperkenalkan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) – sebuah standar nasional untuk pembayaran digital berbasis QR code. Tujuannya sederhana namun ambisius: menyatukan berbagai aplikasi pembayaran (dari dompet digital hingga mobile banking) ke dalam satu kode QR universal. Dengan QRIS, pedagang cukup menempel satu stiker QR dan pelanggan apa pun dapat membayar dengan aplikasi pilihan mereka. Bagi kita, pengguna awam, ini jelas memudahkan. Tak perlu tanya, “Bisa pakai bank/fintech masing-masing?” – cukup scan QRIS dan pembayaran beres.
Sementara itu lebih dahulu, pada 2017, Indonesia meluncurkan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). GPN adalah infrastruktur national payment gateway yang dirancang untuk mengintegrasikan berbagai kanal pembayaran domestik. Secara praktis, GPN memungkinkan transaksi kartu debit antar bank diproses di dalam negeri. Sebelum GPN ada, transaksi kartu debit kita yang domestik sekali pun sering melalui jaringan global yang notabene berbasis di luar negeri. GPN mencoba “menasionalisasi” proses itu: “melokalisasi sistem pembayaran perbankan di Indonesia yang sebelumnya terkonsentrasi pada produk pembayaran internasional” . Dengan kata lain, GPN lahir untuk mengurangi ketergantungan pada jaringan global dalam transaksi domestik.
QRIS sebenarnya bukan berdiri sendiri, tapi salah satu bagian dari Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) — sistem pembayaran terintegrasi yang dibangun untuk memproses transaksi dalam negeri lewat infrastruktur lokal. QRIS menjadi wajah digitalnya, yang akrab kita jumpai di warung atau toko, sementara GPN adalah fondasi teknis di belakang layar yang mengatur jalur transaksi kartu dan switching antar bank. Keduanya dikembangkan agar kita tidak terus bergantung pada jaringan luar, yang selama ini mendominasi.
Dominasi Global dan Simpang Siur di Lapangan
Tidak dapat dipungkiri, dominasi global telah lama membayangi sistem pembayaran di Indonesia. Hampir setiap kartu kredit atau debit dari bank besar berlogo salah satu dari jaringan ini. Dominasi ini membawa dua wajah bagi kita sebagai pengguna. Di satu sisi, jaringan global memberi kenyamanan – kartu kita bisa dipakai dimana-mana, dari Jakarta hingga New York. Infrastruktur dan teknologi mereka sudah terbukti andal secara internasional.
Namun di sisi lain, dominasi global ini membuat kita bertanya-tanya: apakah Indonesia kehilangan kedaulatan atas sistem pembayarannya sendiri? Pertanyaan inilah yang memicu banyak isu simpang-siur. Misalnya, ketika GPN diluncurkan, beredar kekhawatiran: Apakah kartu berlogo GPN bakal diterima di merchant? Apakah nasabah perlu punya dua kartu secara terpisah? Lalu muncul diskusi tentang biaya MDR (merchant discount rate) – konon biaya transaksi via GPN lebih murah, sehingga menguntungkan pedagang kecil. Ada pula rumor bahwa bank global atau prinsipal global “tak senang” dengan GPN, walau sebenarnya mereka tetap beroperasi berdampingan dengan GPN dalam ekosistem perbankan kita.
Isu lain yang sempat ramai adalah seputar QRIS. Misalnya, sebagian pedagang kecil mengira penggunaan QRIS akan dipungut biaya tinggi, padahal untuk usaha mikro transaksinya bebas biaya MDR hingga nominal tertentu. Lalu ada cerita-cerita di media sosial: “Jika semua pakai QRIS, apakah pemerintah bisa mengintip transaksi kita?” Kekhawatiran soal privasi dan kontrol data ini wajar muncul di era digital. Di titik ini, penting bagi regulator melakukan edukasi bahwa standar QRIS justru dibuat agar transaksi digital terstandardisasi, aman, dan diawasi otoritas dalam negeri – bukan oleh perusahaan global.
Dominasi global juga disorot ketika terjadi insiden internasional, misalnya sanksi ke Rusia. Bagi sebagian pengamat di Indonesia, ini jadi lampu kuning jika (amit-amit) suatu saat terjadi gejolak geopolitik atau konflik kepentingan, apakah Indonesia juga rentan “dicabut colokannya” oleh jaringan global? Kekhawatiran inilah yang kerap diangkat dalam diskusi kedaulatan sistem pembayaran belakangan ini.
Mengapa Kedaulatan Sistem Pembayaran Penting?
Melihat berbagai dinamika di atas, pertanyaan krusialnya - Kenapa sih kita harus peduli pada kedaulatan sistem pembayaran? Sebagai pengguna awam, mungkin kita merasa yang penting transaksi lancar. Namun, kedaulatan di bidang ini ternyata berdampak luas ke ekonomi dan keamanan nasional. Beberapa alasannya:
- Kontrol dan Keamanan: Dengan infrastruktur dan standar lokal, Indonesia memegang kendali penuh atas sistem pembayaran domestik. Artinya, jika terjadi krisis politik atau ekonomi, transaksi dalam negeri tetap bisa berjalan di jaringan kita sendiri. Contoh nyata adalah Rusia yang terpaksa membangun jaringan Mir setelah terkena sanksi internasional – langkah darurat untuk menghindari ketergantungan pada pengguna jaringan switching global yang diblokir. Kedaulatan memastikan kontrol ada di tangan regulator nasional, bukan di entitas luar negeri.
- Efisiensi Biaya dan Inovasi: Jaringan pembayaran lokal cenderung bisa menekan biaya transaksi. Tanpa perantara global, biaya switching bisa lebih murah dan fee yang biasanya lari ke luar bisa dihemat. Ini berarti tarif MDR lebih rendah untuk pedagang dan potensi biaya lebih murah bagi konsumen. Di India, misalnya, kartu domestik RuPay mampu menawarkan biaya transaksi lebih efisien, sehingga cepat diadopsi luas. Hasilnya, pangsa pasar RuPay melesat di tahun 2018 – bukti bahwa inovasi lokal yang efisien akan didukung pengguna. Bagi Indonesia, efisiensi ini juga membuka ruang inovasi: perusahaan fintech lokal dapat tumbuh di atas rail (rel) QRIS atau GPN tanpa terhambat monopoli infrastruktur global.
- Keberlanjutan Ekosistem Domestik: Dengan sistem pembayaran yang berdaulat, data dan value dari setiap transaksi sebagian besar tinggal di dalam negeri. Ini berarti bank, fintech, hingga regulator dapat memanfaatkan data tersebut untuk pengambilan kebijakan yang tepat sasaran (tentu dengan tetap menjaga privasi). Selain itu, biaya transaksi yang biasanya menjadi pendapatan prinsipal ini dapat berputar kembali di ekonomi domestik – entah dalam bentuk investasi teknologi baru atau peningkatan layanan. Ekosistem pembayaran yang mandiri juga lebih tahan banting terhadap perubahan kebijakan luar; misal, jika suatu hari mereka mengubah skema bisnis globalnya, dampaknya ke Indonesia minim karena pondasi lokal sudah kuat.
Kebijakan Regulator dan Perkembangan Terbaru
Bank Indonesia (BI) sebagai regulator telah mengambil berbagai langkah konkret untuk mendorong kedaulatan sistem pembayaran ini. Peluncuran GPN di 2017 disusul dengan kebijakan bahwa transaksi kartu debit domestik harus diproses lewat jaringan domestik. Artinya, kalau kita gesek kartu debit BCA di mesin EDC BRI dalam negeri, idealnya transaksi itu tak lagi mengalir ke luar negeri. BI juga mendorong bank-bank menerbitkan kartu berlogo GPN untuk nasabah, di samping kartu berlogo prinsipal global untuk keperluan internasional. Hasilnya, hanya dalam beberapa tahun, jutaan kartu GPN beredar. Nasabah pun mulai terbiasa melihat logo burung Garuda di kartunya – sebuah logo yang melambangkan kemandirian sebuah bangsa.
Di ranah QRIS, perkembangan tak kalah pesat. Setelah standar QRIS diperkenalkan 2019, adopsinya meroket terutama saat pandemi COVID-19 mempercepat digitalisasi pembayaran. Pemerintah dan BI gencar mendorong UMKM menggunakan QRIS; cukup dengan ponsel, pedagang kaki lima hingga tukang parkir kini bisa terima pembayaran cashless. Per akhir 2024 (misalnya), BI mencatat lebih dari 30 juta merchant telah mengadopsi QRIS dan volume transaksinya tumbuh berlipat setiap tahun. Ini menandakan tingginya kepercayaan pelaku usaha kecil pada infrastruktur lokal ini. Tak hanya itu, BI menerapkan kebijakan tiered pricing untuk MDR QRIS – bahkan pelaku usaha yang tergolong dalam ultra mikro (UMi) tidak dikenakan biaya MDR apabila transaksi di bawah Rp500.000,-
Momentum kedaulatan sistem pembayaran makin menguat ketika isu geopolitik global mengemuka. Awal 2023, tersiar kabar bahwa otoritas Indonesia (bahkan Presiden) mengimbau agar lembaga pemerintah dan BUMN mulai mengedepankan kedaulatan sistem pembayaran domestik. Salah satu wujud nyatanya: penerbitan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) domestik untuk belanja instansi. Dengan kartu ini, transaksi kementerian/lembaga bisa diproses via jaringan GPN atau mekanisme lokal lain. Ini sinyal kuat: pemerintah memberi contoh dalam penggunaan jaringan pembayaran nasional. BI pun diberitakan sedang menyiapkan skema kartu kredit nasional yang dapat digunakan publik luas nantinya, melengkapi ekosistem GPN (sejauh ini GPN baru mengkover debit/ATM).
Selain itu, Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030 milik BI menekankan integrasi end-to-end ekosistem pembayaran domestik yang aman, efisien, dan andal. Dalam blueprint tersebut, QRIS dikembangkan lebih lanjut (termasuk fitur offline, tarik tunai, transfer antar orang dengan QRIS TTS), GPN diperkuat, dan layanan kliring instan BI-Fast diluncurkan untuk transfer dana real-time antarbank dengan biaya murah. Semua ini menunjukan visi regulator bahwa sistem pembayaran Indonesia harus dikendalikan dan dimiliki Indonesia sendiri.
Tidak hanya di dalam negeri, BI juga aktif menjalin kerja sama regional untuk memperkuat kedaulatan sekaligus konektivitas. Contohnya, Indonesia telah menghubungkan QRIS dengan sistem QR code negara-negara ASEAN. Turis Indonesia di Thailand kini dapat scan QR antarnegara di merchant Thailand, sebaliknya turis Thailand bisa scan pembayaran QR di Bali, dan transaksi terkoneksi langsung antar bank sentral. Kerja sama semacam ini diluncurkan antara BI–Bank Sentral Thailand, BI–Bank Sentral Malaysia, BI-Bank Sentral Singapore dan ke depannya negara seperti Jepang, Korea, serta Tiongkok dapat menikmati fitur serupa. Hasilnya, wisatawan tak lagi selalu bergantung pada switching global atau uang tunai saat bertransaksi lintas negara ASEAN. Ini sebuah langkah strategis: regionalisasi pembayaran untuk mengurangi dominasi jaringan global, sekaligus meningkatkan efisiensi transaksi antar negara. Bagi Indonesia, hal ini memperluas manfaat QRIS sekaligus menunjukkan bahwa sistem lokal kita cukup mumpuni untuk terhubung secara internasional tanpa perantara jaringan global.
Dinamika Internasional: Antara Kolaborasi dan Kompetisi
Perjuangan Indonesia dalam kedaulatan sistem pembayaran bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Secara global, ada tren negara-negara membangun jaringan pembayaran domestik demi melindungi kepentingan ekonominya. Selain Rusia dengan Mir dan India dengan RuPay yang telah disinggung, Tiongkok sejak lama punya UnionPay yang kini menjadi jaringan kartu terbesar di dunia dari sisi jumlah kartu beredar.
Bagaimana para pemain prinsipal global menanggapi tren ini? Secara terbuka, kedua raksasa tersebut jarang mengomentari kebijakan domestik negara lain. Mereka tentu tetap mengedepankan keunggulan jaringan global mereka: keamanan siber kelas dunia, jangkauan internasional, serta berbagai program loyalty/reward yang menarik bagi konsumen. Di Indonesia, prinsipal global masih dan akan terus memainkan peran penting terutama untuk kartu kredit dan transaksi internasional. Namun, tak bisa dipungkiri, secara bisnis semua pihak harus tetap beradaptasi.
Menariknya, inisiatif Indonesia memperkuat GPN dan QRIS mendapat perhatian positif dari sejumlah pihak internasional. Dalam forum G20 misalnya, upaya Indonesia membangun konektivitas pembayaran regional dan mendorong inklusi keuangan diapresiasi sebagai langkah maju. Alih-alih dianggap proteksionis, langkah ini dilihat sebagai bagian dari resiliensi sistem keuangan – pelajaran yang dipetik pasca krisis finansial dan gejolak geopolitik. Tentu, ada pula tantangan tersirat: misalnya, standarisasi teknologi harus tetap mengacu pada best practice global agar keamanan terjaga dan interoperabilitas (kesalingterhubungan) dengan dunia luar tetap mungkin.
Bagi para pelaku industri di dalam negeri, dinamika ini juga memacu peningkatan kualitas. Bank-bank lokal dan switching provider domestik dituntut terus meningkatkan kemampuan infrastruktur GPN agar setara dengan standar global. Demikian pula, QRIS harus dijaga keandalannya – jangan sampai konsumen kapok gara-gara sistem down. Persaingan “halus” dengan jaringan global ini, jika dikelola baik, justru akan menguntungkan nasabah: kita mendapat pilihan layanan yang lebih variatif, biaya kompetitif, dan inovasi yang terus muncul.
Menuju Ekosistem Pembayaran yang Berdaulat dan Berdaya
Sebagai pengguna sekaligus warga negara, kita menyadari bahwa pembahasan soal QRIS, GPN, atau dominasi global bukan sekadar perkara teknis perbankan – ini menyangkut kedaulatan ekonomi digital Indonesia. Sistem pembayaran adalah tulang punggung transaksi ekonomi. Siapa yang menguasai “tulang punggung” itu, otomatis punya pengaruh besar. Upaya Indonesia melalui QRIS dan GPN untuk mengambil kembali kendali ini patut diapresiasi dan terus dikritisi secara konstruktif.
Dari sudut pandang pribadi, saya melihat kemajuan nyata: kini kita lebih sering membayar dengan QRIS di warung kecil, sesuatu yang lima tahun lalu mungkin tak terbayangkan. Kartu debit GPN di dompet kita pun bekerja mulus saat belanja di pasar swalayan, tak kalah dengan kartu berlogo internasional. Ada rasa bangga tersendiri menggunakan infrastruktur negeri sendiri. Tentu, perjalanan ini masih panjang. Tantangannya beragam, mulai dari edukasi masyarakat agar paham manfaat sistem pembayaran lokal, hingga memastikan teknologi dan keamanannya selalu sigap menghadapi ancaman.
Pada akhirnya, memiliki sistem pembayaran yang berdaulat bukan berarti menutup diri dari dunia. Ini tentang memastikan pondasi domestik kita kuat, sehingga ketika bersinergi dengan jaringan global pun posisi kita sejajar, tidak sekadar menjadi penumpang. Kedaulatan sistem pembayaran akan memberi ruang bagi Indonesia untuk menentukan arah kebijakan ekonomi dengan lebih leluasa, meningkatkan efisiensi biaya bagi pelaku usaha, dan melindungi kepentingan nasional di tengah pusaran ekonomi digital global.
Sebagai masyarakat, kita dapat mendukung kedaulatan ini dengan langkah-langkah sederhana namun bermakna: gunakan QRIS saat tersedia, manfaatkan kartu berlogo GPN untuk transaksi sehari-hari, dan percayalah pada inovasi lokal. Bukan soal antipati terhadap jaringan global, namun soal membangun kemandirian yang sehat. Dengan begitu, kita ikut memastikan ekosistem sistem pembayaran Indonesia tumbuh kuat di rumah sendiri – berdaulat, efisien, dan berkelanjutan – di tengah gempuran arus globalisasi finansial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI