Bank Indonesia (BI) sebagai regulator telah mengambil berbagai langkah konkret untuk mendorong kedaulatan sistem pembayaran ini. Peluncuran GPN di 2017 disusul dengan kebijakan bahwa transaksi kartu debit domestik harus diproses lewat jaringan domestik. Artinya, kalau kita gesek kartu debit BCA di mesin EDC BRI dalam negeri, idealnya transaksi itu tak lagi mengalir ke luar negeri. BI juga mendorong bank-bank menerbitkan kartu berlogo GPN untuk nasabah, di samping kartu berlogo prinsipal global untuk keperluan internasional. Hasilnya, hanya dalam beberapa tahun, jutaan kartu GPN beredar. Nasabah pun mulai terbiasa melihat logo burung Garuda di kartunya – sebuah logo yang melambangkan kemandirian sebuah bangsa.
Di ranah QRIS, perkembangan tak kalah pesat. Setelah standar QRIS diperkenalkan 2019, adopsinya meroket terutama saat pandemi COVID-19 mempercepat digitalisasi pembayaran. Pemerintah dan BI gencar mendorong UMKM menggunakan QRIS; cukup dengan ponsel, pedagang kaki lima hingga tukang parkir kini bisa terima pembayaran cashless. Per akhir 2024 (misalnya), BI mencatat lebih dari 30 juta merchant telah mengadopsi QRIS dan volume transaksinya tumbuh berlipat setiap tahun. Ini menandakan tingginya kepercayaan pelaku usaha kecil pada infrastruktur lokal ini. Tak hanya itu, BI menerapkan kebijakan tiered pricing untuk MDR QRIS – bahkan pelaku usaha yang tergolong dalam ultra mikro (UMi) tidak dikenakan biaya MDR apabila transaksi di bawah Rp500.000,-
Momentum kedaulatan sistem pembayaran makin menguat ketika isu geopolitik global mengemuka. Awal 2023, tersiar kabar bahwa otoritas Indonesia (bahkan Presiden) mengimbau agar lembaga pemerintah dan BUMN mulai mengedepankan kedaulatan sistem pembayaran domestik. Salah satu wujud nyatanya: penerbitan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) domestik untuk belanja instansi. Dengan kartu ini, transaksi kementerian/lembaga bisa diproses via jaringan GPN atau mekanisme lokal lain. Ini sinyal kuat: pemerintah memberi contoh dalam penggunaan jaringan pembayaran nasional. BI pun diberitakan sedang menyiapkan skema kartu kredit nasional yang dapat digunakan publik luas nantinya, melengkapi ekosistem GPN (sejauh ini GPN baru mengkover debit/ATM).
Selain itu, Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030 milik BI menekankan integrasi end-to-end ekosistem pembayaran domestik yang aman, efisien, dan andal. Dalam blueprint tersebut, QRIS dikembangkan lebih lanjut (termasuk fitur offline, tarik tunai, transfer antar orang dengan QRIS TTS), GPN diperkuat, dan layanan kliring instan BI-Fast diluncurkan untuk transfer dana real-time antarbank dengan biaya murah. Semua ini menunjukan visi regulator bahwa sistem pembayaran Indonesia harus dikendalikan dan dimiliki Indonesia sendiri.
Tidak hanya di dalam negeri, BI juga aktif menjalin kerja sama regional untuk memperkuat kedaulatan sekaligus konektivitas. Contohnya, Indonesia telah menghubungkan QRIS dengan sistem QR code negara-negara ASEAN. Turis Indonesia di Thailand kini dapat scan QR antarnegara di merchant Thailand, sebaliknya turis Thailand bisa scan pembayaran QR di Bali, dan transaksi terkoneksi langsung antar bank sentral. Kerja sama semacam ini diluncurkan antara BI–Bank Sentral Thailand, BI–Bank Sentral Malaysia, BI-Bank Sentral Singapore dan ke depannya negara seperti Jepang, Korea, serta Tiongkok dapat menikmati fitur serupa. Hasilnya, wisatawan tak lagi selalu bergantung pada switching global atau uang tunai saat bertransaksi lintas negara ASEAN. Ini sebuah langkah strategis: regionalisasi pembayaran untuk mengurangi dominasi jaringan global, sekaligus meningkatkan efisiensi transaksi antar negara. Bagi Indonesia, hal ini memperluas manfaat QRIS sekaligus menunjukkan bahwa sistem lokal kita cukup mumpuni untuk terhubung secara internasional tanpa perantara jaringan global.
Dinamika Internasional: Antara Kolaborasi dan Kompetisi
Perjuangan Indonesia dalam kedaulatan sistem pembayaran bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Secara global, ada tren negara-negara membangun jaringan pembayaran domestik demi melindungi kepentingan ekonominya. Selain Rusia dengan Mir dan India dengan RuPay yang telah disinggung, Tiongkok sejak lama punya UnionPay yang kini menjadi jaringan kartu terbesar di dunia dari sisi jumlah kartu beredar.
Bagaimana para pemain prinsipal global menanggapi tren ini? Secara terbuka, kedua raksasa tersebut jarang mengomentari kebijakan domestik negara lain. Mereka tentu tetap mengedepankan keunggulan jaringan global mereka: keamanan siber kelas dunia, jangkauan internasional, serta berbagai program loyalty/reward yang menarik bagi konsumen. Di Indonesia, prinsipal global masih dan akan terus memainkan peran penting terutama untuk kartu kredit dan transaksi internasional. Namun, tak bisa dipungkiri, secara bisnis semua pihak harus tetap beradaptasi.
Menariknya, inisiatif Indonesia memperkuat GPN dan QRIS mendapat perhatian positif dari sejumlah pihak internasional. Dalam forum G20 misalnya, upaya Indonesia membangun konektivitas pembayaran regional dan mendorong inklusi keuangan diapresiasi sebagai langkah maju. Alih-alih dianggap proteksionis, langkah ini dilihat sebagai bagian dari resiliensi sistem keuangan – pelajaran yang dipetik pasca krisis finansial dan gejolak geopolitik. Tentu, ada pula tantangan tersirat: misalnya, standarisasi teknologi harus tetap mengacu pada best practice global agar keamanan terjaga dan interoperabilitas (kesalingterhubungan) dengan dunia luar tetap mungkin.
Bagi para pelaku industri di dalam negeri, dinamika ini juga memacu peningkatan kualitas. Bank-bank lokal dan switching provider domestik dituntut terus meningkatkan kemampuan infrastruktur GPN agar setara dengan standar global. Demikian pula, QRIS harus dijaga keandalannya – jangan sampai konsumen kapok gara-gara sistem down. Persaingan “halus” dengan jaringan global ini, jika dikelola baik, justru akan menguntungkan nasabah: kita mendapat pilihan layanan yang lebih variatif, biaya kompetitif, dan inovasi yang terus muncul.
Menuju Ekosistem Pembayaran yang Berdaulat dan Berdaya
Sebagai pengguna sekaligus warga negara, kita menyadari bahwa pembahasan soal QRIS, GPN, atau dominasi global bukan sekadar perkara teknis perbankan – ini menyangkut kedaulatan ekonomi digital Indonesia. Sistem pembayaran adalah tulang punggung transaksi ekonomi. Siapa yang menguasai “tulang punggung” itu, otomatis punya pengaruh besar. Upaya Indonesia melalui QRIS dan GPN untuk mengambil kembali kendali ini patut diapresiasi dan terus dikritisi secara konstruktif.
Dari sudut pandang pribadi, saya melihat kemajuan nyata: kini kita lebih sering membayar dengan QRIS di warung kecil, sesuatu yang lima tahun lalu mungkin tak terbayangkan. Kartu debit GPN di dompet kita pun bekerja mulus saat belanja di pasar swalayan, tak kalah dengan kartu berlogo internasional. Ada rasa bangga tersendiri menggunakan infrastruktur negeri sendiri. Tentu, perjalanan ini masih panjang. Tantangannya beragam, mulai dari edukasi masyarakat agar paham manfaat sistem pembayaran lokal, hingga memastikan teknologi dan keamanannya selalu sigap menghadapi ancaman.