Perubahan dan perkembangan ekonomi global menuntut adanya sistem keuangan nasional yang adaptif, transparan, dan mampu menjamin stabilitas ekonomi secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, pembahasan mengenai Revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Keuangan menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Salah satu isu utama yang mencuat dari revisi tersebut adalah mengenai keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap kinerja dan kebijakan Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral. Persoalan ini menimbulkan perdebatan luas karena menyentuh ranah independensi BI dan keseimbangan kekuasaan antara lembaga eksekutif, legislatif, dan otoritas moneter.
Konteks dan Latar Belakang Revisi
RUU Sistem Keuangan (RUU SKN) disusun sebagai upaya pembaruan regulasi sektor keuangan Indonesia agar lebih tangguh menghadapi berbagai tantangan, baik domestik maupun global. Krisis ekonomi yang terjadi di berbagai negara membuktikan pentingnya koordinasi antar-lembaga dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Indonesia sendiri pernah mengalami guncangan keuangan besar pada masa krisis moneter 1998 dan pandemi COVID-19 yang memperlihatkan kerentanan struktur keuangan nasional terhadap tekanan eksternal.
Namun, dalam draf revisi RUU tersebut, terdapat pasal-pasal yang menimbulkan perdebatan, terutama yang menyangkut penguatan peran DPR dalam mengawasi dan memberi masukan terhadap kebijakan Bank Indonesia. Beberapa pihak menilai bahwa langkah ini merupakan bentuk penguatan akuntabilitas publik terhadap lembaga independen. Di sisi lain, banyak yang menganggap bahwa hal ini berpotensi mengganggu independensi BI dalam menjalankan fungsi dan kebijakan moneter.
 Independensi Bank Indonesia: Pilar Stabilitas Moneter
Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, lembaga ini diberi status sebagai lembaga independen. Artinya, BI memiliki kewenangan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter secara bebas dari intervensi pemerintah maupun pihak lain. Independensi ini dianggap penting untuk memastikan bahwa kebijakan moneter dijalankan berdasarkan pertimbangan ekonomi yang rasional, bukan kepentingan politik jangka pendek.
Independensi BI terbukti membawa dampak positif terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Selama dua dekade terakhir, inflasi cenderung terkendali, nilai tukar relatif stabil, dan kepercayaan investor meningkat. Oleh karena itu, banyak kalangan menilai bahwa mengurangi independensi BI melalui revisi RUU berpotensi melemahkan efektivitas kebijakan moneter, terutama dalam menghadapi gejolak global yang membutuhkan respons cepat dan profesional.
Namun demikian, independensi bukan berarti BI berada di luar sistem demokrasi dan akuntabilitas. BI tetap wajib memberikan laporan kepada publik, DPR, dan pemerintah mengenai pelaksanaan kebijakannya. Artinya, transparansi tetap dijaga, tetapi tanpa menghilangkan otonomi profesional dalam pengambilan keputusan.
Keterlibatan DPR: Antara Pengawasan dan Intervensi
Dalam sistem demokrasi, DPR memiliki fungsi pengawasan terhadap berbagai lembaga negara, termasuk BI. Keterlibatan DPR dapat dimaknai sebagai bentuk checks and balances yang wajar agar kebijakan moneter dan keuangan nasional tetap sejalan dengan kepentingan rakyat. DPR memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa kebijakan keuangan tidak hanya berpihak pada stabilitas makroekonomi, tetapi juga pada kesejahteraan sosial.
Namun, persoalan muncul ketika batas antara pengawasan dan intervensi menjadi kabur. Bila revisi RUU memberikan kewenangan lebih besar kepada DPR untuk memengaruhi arah kebijakan moneter BI, maka hal itu bisa mengancam prinsip independensi. Risiko yang dikhawatirkan adalah politisasi kebijakan moneter, di mana keputusan-keputusan penting seperti penetapan suku bunga, intervensi nilai tukar, atau cadangan devisa dipengaruhi oleh kepentingan politik jangka pendek, terutama menjelang pemilu.