Mohon tunggu...
Dionisius Riandika
Dionisius Riandika Mohon Tunggu... www.dionisiusriandika.com

Lahir di Kota Ambarawa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stigmata St. Fransiskus Assisi

16 September 2025   12:45 Diperbarui: 16 September 2025   12:45 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fransikus Assisi menerima stigmata.

Di puncak kesunyian La Verna, pada suatu pagi yang hening ditingkahi napas angin, seorang lelaki berpakaian serba papa duduk berlama-lama di hadapan salib. Ia bernama Fransiskus, si miskin dari Assisi yang sepanjang hidupnya telah belajar mencintai Tuhan lewat hal-hal yang paling kecil: sebutir gandum, canda burung, dan wajah saudara yang terluka. Ziarah rohaninya bukanlah perjalanan spektakuler penuh bendera dan riuh; ia adalah melangkah dalam kehampaan hingga hati jadi lapang untuk menerima suatu misteri.

Keheningan itulah yang membuka pintu pengalaman yang tak terduga: sebuah penglihatan, serafim berwajah salib yang menandai tubuh Fransiskus dengan luka-luka Kristus. Bukan sekadar tanda luar; stigmata pada Fransiskus berlaku sebagai penggenapan spiritual: cinta yang telah begitu melekat sehingga tubuh pun ikut "menerjemahkan" kasih itu mewujud bekas-bekas luka. Para biografer awal, seperti Thomas dari Celano dan kemudian Bonaventura, mencatatnya bukan sebagai sensasi aneh semata, melainkan sebagai kulminasi dari hidup doa, puasa, dan penyerahan diri yang tanpa kompromi.

Spiritualitas Fransiskus yang mengarah pada stigmata memiliki beberapa nada yang saling bersinergi: kemiskinan radikal, kasih yang mengidentifikasi diri dengan yang menderita, dan kepekaan terhadap penciptaan sebagai kitab ilahi. Dalam Canticle of the Sun, sajak doa yang ia panjatkan dari sebuah kamar yang sunyi, kita mendengar suara yang sama yang kemudian mendaratkan stigmata: segala ciptaan adalah cermin Tuhan, dan dengan mengenal ciptaan dengan penuh syukur, hati terbuka untuk mengenal Sang Penderita. Maka stigmata bukanlah keanehan yang muncul dari ketiadaan konteks; ia adalah buah dari sebuah cara hidup yang merawat luka-luka dunia sebagai milik sendiri.

Bayangkan, seorang pengembara rohani yang bertahun-tahun mempraktikkan doa, menyederhanakan kebutuhan, dan merendahkan diri. Ia tidak mencari tanda-tanda untuk meneguhkan kebesaran dirinya; sebaliknya, kebersahajaan yang jujur dapat melahirkan persekutuan sedalam itu dengan Kristus yang tersalib. Bonaventura merumuskan pengalaman ini sebagai transformasi yang intim: kasih Kristus mengubah sang pecinta sehingga rupa dan tubuhnya memancarkan gambar kasih itu. Dalam konteks ini, luka-luka Fransiskus menjadi saksi: bukan kemegahan supranatural, melainkan lambang keterikatan total pada Misteri Salib.

Ada sisi biografi yang menyentuh: Fransiskus, setelah menerima stigmata, sensitif terhadap malu dan berusaha menyembunyikannya. Bukan karena takut dicemooh, melainkan karena ia takut pesona tanda luarnya mengalihkan orang dari inti panggilannya: menjadi orang yang membawa damai. Dalam catatan para sahabatnya terdapat gambaran seorang yang hampir canggung atas perhatian yang tiba-tiba mengerumuninya. Ia menginginkan agar orang melihat Kristus, bukan lukanya sendiri. Ketulusan ini menambah berat makna stigmata: bukan tanda status, melainkan tanda pelayanan.

Bagi kita yang membaca cerita ini hari ini, pada atau menjelang 17 September, stigmata Fransiskus menjadi undangan reflektif. Apa yang dimaksud dengan "menerima luka"? Apakah kita siap melihat penderitaan sebagai panggilan untuk kasih yang nyata, bukan sekadar simpati yang lewat? Fransiskus mengajarkan sebuah praktik: hadirlah di dunia dengan tangan yang kosong, telinga yang siap mendengar, dan hati yang berani terluka demi yang lain. Stigmata bukan formula magis yang mesti ditiru; ia adalah simbol ekstrem dari konsekuensi ketika iman dijalani sampai ke puncaknya.

Refleksi pribadi ini bisa dimulai dari hal-hal kecil: menjadikan doa sebagai rongga yang menampung kegundahan, melakukan puasa dari sikap yang menghakimi, dan melihat sesama bukan sebagai masalah tetapi sebagai misteri ilahi. Bila Fransiskus belajar membaca wajah Tuhan dalam ciptaan, kita pun dipanggil membaca wajah Tuhan dalam sesama yang tersingkir. Stigmata mengingatkan kita bahwa kasih sejati tidak aman dari luka; justru, ia rela masuk ke dalam luka itu supaya penyembuhan menjadi mungkin.

Ziarah Fransiskus menuju stigmata adalah pelajaran tentang kebisuan yang produktif: diam yang melahirkan sambutan ilahi. Dalam sunyi yang rendah hati, kata-kata Tuhan menemukan celah untuk turun dan di sana kasih yang menderita menandai tubuh seorang manusia biasa. Peringatan 17 September menjadi undangan untuk senantiasa merendahkan diri, mengasihi tanpa syarat, dan berani menerima luka sebagai jalan menuju cinta yang menyembuhkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun